Penulis: Muhammad Abi Dzarr (Mahasiswa)
Sebelum berpotensi jadi kontroversi, ini hanyalah sebuah alegori.
Keluarga Mahasiswa atau KEMA atau KM, yang sejatinya terhimpun dalam satu wadah gesellschaft atau paguyuban (kembali) menunjukkan kemerosotannya. Lembaga tinggi sebagai payung dari lembaga-lembaga mahasiswa yang berhimpun di dalamnya tidak lagi menjadi episentrum keberpihakan, tidak lagi berupaya mewujudkan utopia yang sinergis dan harmonis.
Di beberapa Universitas, jikalau merujuk pada konsensus di sebuah file .pdf dengan judul “Konstitusi KEMA” atau judul serupa, maka dapat ditemukan bahwa lembaga ini terbagi atas tiga pembagian kekuasaan: eksekutif, legislatif juga yudikatif; seperti halnya sebuah negara. Namun hari ini, eksistensinya nampak tidak jauh dari gunjingan warga sekretariat lembaga yang dinaungi. Dari bilik-bilik sekretariat terdengar sayup keluh dari pengurus lembaga unit kegiatan ihwal tanda tangan rekomendasi kegiatan mereka yang tak kunjung ditandatangani. Begitu pula dengan paguyuban lain yang membutuhkan solidaritas dari representasi mahasiswa tersebut.
Lembaga tinggi hari ini umum terlihat serupa mesin birokrasi yang mandul, yang sibuk dengan ritual-ritual formal tanpa dampak nyata bagi mahasiswa. Ruang-ruang yang seharusnya menjadi wadah aspirasi dan aksi kolektif malah tereduksi menjadi kerja-kerja birokrasi. Dalam beberapa kasus, mereka hanya menjadi lembaga penyedia ajang pengembangan minat dan bakat yang di mana seharusnya menjadi kerja dari unit kegiatan yang memiliki spesifikasi di bidangnya. Ada isu penting pun mereka hanya sekadar mengeluarkan pernyataan sikap tanpa tindak lanjut yang jelas.
Bahkan, kontestasi demokrasi elektoral lembaga tinggi yang selalu dijunjung setiap akhir periode kepengurusan sudah tidak lagi menjadi meja tarung gagasan. Warga KEMA justru disuguhkan atas simfoni testimoni dan pertarungan politik praktis seperti pola dari organisasi eksternal yang memayunginya.
Alih-alih menjadi episentrum pergerakan mahasiswa, Lembaga tinggi hari ini hanya menjadi hiposentrum yang sarat akan kepentingan segelintir kelompok. Utopia yang didambakan mahasiswa kini menjadi distopia dengan politik dan intrik tanpa titik.
Perangkat legislasi bersamaan dengan perangkat konstitusi yang tersedia juga tidak beda jauh dalam perannya untuk gagal secara sistemik mewakili aspirasi KEMA, berbagai kepentingan merasuki setiap sendi dan nadi tiap cabang kekuasaan. Sehingga lahirlah berbagai produk hukum yang cacat. Banyak hal substansial yang semestinya menjadi catatan, namun yang diamanatkan sedang repot bersolek dan bermain peran. Ada yang asyik bermain “presiden-presidenan”, terjebak dalam “dewan-dewanan” dan ada pula yang tenggelam dalam perkara “hakim-hakiman”.
Penulis sedikit mencatat bagaimana pola kaderisasi turut serta memengaruhi dinamika yang terjadi. Budaya feodal yang dibangun sejak awal secara tidak langsung membentuk sikap mahasiswa yang pragmatis dan tak acuh mengenai kondisi hari ini. Hierarki yang terlalu kaku dalam organisasi kemahasiswaan melahirkan pengalaman yang mengecewakan bagi mahasiswa baru.
Implikasinya, mahasiswa baru hanya menjadi “roda penggerak” tanpa pernah diberikan ruang yang cukup untuk berpikir kritis, mengambil inisiatif, atau bahkan mempertanyakan kebijakan yang diberikan. Akibatnya, idealisme yang seharusnya menjadi pilar dari keberpihakan mahasiswa kepada rakyat mulai luntur, digantikan oleh mentalitas “ikut arus” demi menjaga posisi atau mendapatkan pengakuan.
Semua keresahan tersebut tersaji dalam dagelan bernama Keluarga Mahasiswa, sebuah entitas yang utopianya menjadi episentrum aspirasi, kini berserupa arena pertarungan ego dan kepentingan sesaat. Lembaga yang seyogianya hadir menginisiasi partisipasi malah menciptakan jarak antara dirinya dengan warga yang dinaungi, sehingga eksistensinya menjadi semakin tidak relevan. Dengan kata lain, mereka merangkak menuju pintu kematiannya.
Di rumah ini, proses demokrasi bak alat legitimasi bagi kelompok yang membutuhkan validasi. Taman bermain bagi istilah-istilah besar: “advokasi”, “representasi”, “keadilan”, “ideal”. Pada akhirnya, semua itu hanya retorika kosong yang tak pernah menyentuh realitas mahasiswa dan masyarakat umum banyak. Padahal, banyak dari mereka menunggu suaranya untuk teramplifikasi.
Sebenarnya penulis tidak bermaksud menyalahkan situasi. Jika dibandingkan dengan para pendahulu, kepengurusan mereka terbentuk dan dipersatukan oleh prakondisi masa krisis. Toh mereka juga punya musuh bersama yang menjadi perekat solidaritas. Berbeda dengan hari ini; ibarat Ouroboros, kita yang ada justru menggigit ekor kita sendiri—terjebak dalam siklus konflik internal yang tak berujung.
Sebagai penutup, sekali lagi ini hanyalah alegori; jika ada kesamaan nama, tempat, dan cerita, tolong introspeksi diri.
Politia Legem Regit, Non Lex Politiam – Politik (yang hari ini) mengatur hukum, bukan hukum yang mengatur politik.
Siapalah penulis hari ini di senja pengabdiannya pada almamater karunia ilahi?
Apakah yang dicari di dunia ini selain bersujud pada-Nya?