web analytics
header

Lingkar Setara Unhas Adakan Diskusi Publik, Bahas Permendikbud 55 2024 dan UU TPKS

Sumber: Dokumentasi Lingkar Setara

Makassar, Eksepsi Online – (17/03) Komite Kerja Lingkar Setara Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar diskusi publik bertajuk “Apakah Permendikbud PPKS Sejalan dengan UU TPKS?” pada Sabtu (15/03). Acara yang berlangsung di Panggung Pinggir Danau Unhas Pintu Satu ini menghadirkan tiga pemantik dari berbagai latar belakang, yaitu Mirayanti Amin dari LBH Makassar, Fadhilah Meisya dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) Unhas, serta Santi dari Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Unhas.

Diskusi yang berlangsung dari pukul 15.00 hingga 18.00 WITA ini diawali dengan kegiatan lapakan buku, diikuti dengan diskusi publik, dan diakhiri dengan buka puasa bersama.

Ahkamul Ihkam Mada, selaku moderator, membuka diskusi dengan menegaskan bahwa acara ini lahir dari konsolidasi beberapa hari sebelumnya di Unhas.

“Kawan-kawan yang hadir konsol tentu mengetahui hal tersebut, dan dikonsolidasi tersebut kita membahas beberapa hal penting. Utamanya tentang kekerasan seksual di dalam kampus Unhas itu sendiri,” ujar Ihkam.

Ia menjelaskan bahwa permasalahan yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana Permendikbud No. 30 Tahun 2021 hadir lebih dulu sebagai dasar penanganan kekerasan seksual sebelum disahkannya UU TPKS tahun 2022. Namun, setelah UU tersebut hadir, Permendikbud yang menjadi landasan berdirinya Satgas PPKS kemudian direvisi melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2024.

Fadhilah Meisya yang akrab disapa Famei dari FMN Unhas mengawali sesi pemantik dengan membahas banyaknya kasus kekerasan seksual di kampus yang penyelesaiannya masih belum maksimal, baik oleh pihak kampus maupun kepolisian.

“Bagaimana perempuan ketika mendapatkan kekerasan seksual, menjadi korban dua kali karena sudah menjadi korban kekerasan seksual pun akan juga mendapatkan sanksi-sanksi sosial seperti bagaimana pakaian dan tutur katanya,” ujarnya.

Famei menjelaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan memiliki akar sejarah panjang, di mana perempuan sejak dulu dianggap sebagai secondary gender dan lebih banyak diberi peran dalam ranah domestik, sementara laki-laki dominan dalam aktivitas publik.

Kemudian, sesi diskusi dilanjutkan oleh Mirayanti Amin dari LBH Makassar, yang membahas bagaimana kekerasan seksual tidak hanya terjadi karena niat individu, tetapi juga karena sistem sosial yang mendukungnya.

“KS itu terjadi secara struktural karena ada peran-peran, baik pelaku maupun lingkungan sosialnya yang mendukung terjadinya KS,” ujarnya.

Mira juga menjelaskan bagaimana Satgas PPKS yang dibentuk di kampus-kampus sering tidak berjalan efektif.

“Berdasarkan pemantauan dari teman-teman LBH Makassar, bahwa semenjak ada Permendikbud Ristek dengan hari ini tahun 2024 direvisi berkali-kali itu belum ada satupun kampus di Sulawesi Selatan khususnya di Makassar yang melampirkan laporan soal penanganan kasus kekerasan seksual atau minimal bagaimana implementasi Permendikbud Ristek,” jelasnya.

Mira menegaskan bahwa Permendikbud PPKS hanya mengatur penyelesaian administratif di internal kampus, bukan tindak pidana, sehingga beberapa kampus lebih memilih menyelesaikan kasus kekerasan seksual melalui Satgas PPKS daripada menempuh jalur hukum.

Ihkam di sisi lain membahas mengenai Permendikbud 55, pasal 23 yang menyebutkan bahwa Satgas PPKS bertanggung jawab kepada wakil pimpinan perguruan tinggi.

“Bagaimana kalau ketua Satgas adalah wakil pemimpin perguruan tinggi itu sendiri? Jadi dia bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. YOI KEREN SEKALI MEMANG,” ujarnya dengan nada sarkastik.

Santi dari Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas menjelaskan bagaimana kasus kekerasan seksual di Unhas belakangan ini mulai meredup.

“Saya sendiri pun rasa rada-rada turun semangatku untuk membahas permasalahan KS di kampus karena ya dilihat dari respons pihak kampus, respons dari teman-teman, secara tidak langsung mempengaruhi semangatnya kita,” ujarnya.

Santi juga menambahkan bahwa sejak pembentukan Satgas PPKS di Unhas pada 2022, banyak prosedur yang menyalahi aturan, termasuk penunjukan ketua yang tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam Permendikbud. Ia menegaskan bahwa setelah adanya revisi Permendikbud, kekerasan seksual kini hanya dikategorikan sebagai kekerasan umum, yang berpotensi melemahkan penanganannya. Ia juga menyayangkan bagaimana kampus tidak benar-benar berkomitmen dalam menangani kasus kekerasan seksual.

“Sekelas Unhas yang jauh koar-koar Satgasnya sampai keluar kota, ‘sampai sini kita tangani kasus, segini kasus yang kita tangani, kita buat tempelan-tempelan di setiap fakultas, kita sediakan CCTV.’ PRETT MANA?” tegasnya.

Diskusi ini merupakan bentuk refleksi bagi mahasiswa Unhas untuk bagaimana mengawal isu kekerasan seksual di lingkungan kampus, terutama dalam hal ini memastikan regulasi benar-benar berpihak kepada korban dan tidak menjadi alat legitimasi bagi institusi untuk menutupi kasus-kasus yang terjadi. (Tod)

Related posts: