Oleh: Pecundang Berjaket Almamater
Tahun 1998, mahasiswa menjadi tonggak reformasi di negeri ini. Kebijakan rezim Orde Baru yang saat itu dianggap hanya menguntungkan satu pihak membuat mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan keresahannya. Mahasiswa saat itu kompak satu suara untuk menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Masyarakat pun turut turun ke jalan untuk mendukung perjuangan mahasiswa. Situasi kacau terjadi di mana-mana, banyak mahasiswa menjadi korban kekerasan dari aparat, bahkan menimbulkan korban jiwa.
Pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa dari Universitas Trisakti kehilangan nyawa akibat peluru tajam yang dilepaskan oleh aparat. Sejak saat itu, pergerakan mahasiswa semakin besar dengan semangat yang semakin membara untuk menggulingkan rezim Orde Baru, agar pengorbanan keempat mahasiswa Trisakti tidak sia-sia. Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto lengser dari jabatannya, menjadi puncak keberhasilan pergerakan mahasiswa.
Kejadian tersebut membuat mahasiswa mendapatkan julukan “Agent of Change,” di mana kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa meningkat sangat tinggi. Mahasiswa dianggap sebagai penyambung lidah masyarakat untuk menyuarakan keresahan yang terjadi. Hal ini terus berlanjut dan melekat pada mahasiswa. Banyak perubahan yang dilahirkan oleh mahasiswa, baik di ranah hukum, ekonomi, sosial budaya, maupun politik.
Namun, seiring berjalannya waktu, mahasiswa mulai kehilangan antusiasmenya untuk melihat realitas yang terjadi di masyarakat saat ini. Julukan “Agent of Change” yang selalu disebutkan saat pengkaderan, dalam materi atau dalam berbagai kesempatan, tampaknya sudah tidak lagi pantas dilekatkan pada mahasiswa sekarang. Isu nasional yang besar dan memberikan penderitaan kepada masyarakat dari Sabang sampai Merauke hanya direspons seperti angin lalu oleh mahasiswa saat ini.
Penulis yang sesekali mencoba membuka diskusi mengenai isu nasional dengan beberapa mahasiswa hukum hanya mendapat respons singkat seperti “iya,” “ooo,” dan “oke.” Saat berdiskusi, dari raut wajah mereka terlihat jelas ketidaktertarikan terhadap apa yang terjadi di masyarakat saat ini. Namun, ketika dipantik dengan gosip artis atau tren TikTok, raut wajah mereka berubah penuh ketertarikan, seolah itu adalah suatu kewajiban.
Akhir-akhir ini, sudah banyak isu nasional yang berkembang, seperti “PERINGATAN DARURAT,” “INDONESIA GELAP,” dan yang terbaru “TOLAK REVISI UU TNI.” Isu yang seharusnya sangat dekat dengan mahasiswa hukum, tetapi realitanya mahasiswa hukum di Fakultas Hukum Unhas menutup telinga, seolah tidak terjadi apa-apa. “INDONESIA GELAP” membahas tentang efisiensi anggaran dan dampaknya terhadap masyarakat, bahkan juga berdampak pada mahasiswa itu sendiri, seperti kenaikan UKT dan PHK besar-besaran di berbagai sektor.
Hal tersebut seharusnya bisa menggerakkan naluri seorang mahasiswa hukum yang saat di kelas sangat pandai berteori dan berkata, “tidak sesuai antara das sollen dan das sein-nya, Prof,” tetapi buta terhadap realitas yang ada. Mahasiswa hukum sekarang lebih senang berkutat dengan politik kampus yang tak ada habisnya, politik yang hanya saling menjatuhkan dan menyombongkan diri demi mendapatkan panggilan “Pres” saat disapa, untuk bisa berpidato di hadapan banyak mahasiswa lainnya, tetapi tidak berbuat apa-apa ketika masyarakat membutuhkan mereka.
Satu momen yang sangat miris terjadi pada 18 Maret 2025. Saat itu, penulis bertemu dengan seorang wanita yang merupakan kawan dari para buruh. Dalam diskusi santai, kawan tersebut mulai bercerita tentang kondisi para buruh di salah satu pabrik di Makassar. Ia mengisahkan kehidupan para buruh yang sangat miris dan penuh ketidakadilan, terutama bagi perempuan. Buruh perempuan diupah berdasarkan hitungan per volume, yakni Rp240 per kilogram, dengan hari kerja tanpa libur.
Pelecehan seksual juga kerap terjadi, bahkan dilakukan oleh pengawas pabrik itu sendiri. Konsekuensi bagi buruh perempuan yang melaporkan pelecehan tersebut adalah pemecatan dengan alasan yang tidak berdasar. Hal yang paling memalukan adalah ketika kawan buruh ini menceritakan hal tersebut kepada beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Unhas, mereka justru tertawa dan tidak peduli. Ini merupakan tamparan besar bagi Fakultas Hukum Unhas, yang dikenal sebagai salah satu fakultas hukum terbaik di Indonesia.
Mahasiswa hukum yang sangat lihai membahas teori di kelas, tetapi justru tertawa ketika mengetahui bahwa teori yang mereka pelajari tidak sesuai dengan realitas adalah keadaan yang sangat miris. Seharusnya mereka bersedih atau prihatin atas hal tersebut, bukan justru menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu dan pantas untuk ditertawakan.
Isu yang hangat saat ini adalah Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang digodok secara terburu-buru dan tertutup (RUU tersebut telah disahkan pukul 10.00 pagi pada Kamis, 20 Maret 2024). Hal ini sangat dekat dengan mahasiswa hukum yang setiap harinya dihadapkan dengan teori hukum, kesesuaian hukum, dan dampak hukum. Harapan penulis adalah agar momen ini menjadi titik balik bagi mahasiswa Fakultas Hukum Unhas untuk kembali mendapatkan semangat perjuangannya dan menyuarakan ketidakadilan yang terjadi saat ini.
Sebagai mahasiswa, khususnya di Fakultas Hukum, kita memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya memahami teori, tetapi juga mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Sikap apatis terhadap isu-isu nasional dan ketidakadilan di sekitar kita hanya akan menjadikan status “Agent of Change” sebagai sekadar slogan tanpa makna. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan besar lahir dari keberanian mahasiswa dalam bersuara dan bertindak. Sudah saatnya kita kembali menyalakan semangat perjuangan, membuka mata terhadap realitas yang ada, dan mengambil peran sebagai garda terdepan dalam membela keadilan. Jika kita terus diam dan tak acuh, maka bukan hanya masyarakat yang akan kehilangan harapan, tetapi kita juga akan kehilangan jati diri sebagai mahasiswa yang seharusnya menjadi harapan bangsa.
“Apabila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan mengerti akan kehidupan hanya berdiam diri, maka celakalah masa depan bangsa ini” – Tan Malaka.