Oleh: Rastiawaty (Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Fenomena seks pranikah di Indonesia menunjukkan tren peningkatan, terutama di kalangan remaja dan dewasa. Aktivitas seksual tanpa ikatan perkawinan yang sah ini sering kali berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan, menghasilkan kelahiran anak di luar perkawinan. Dalam konteks hukum Indonesia, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dikenal sebagai “anak luar kawin” atau “anak tidak sah”.
Permasalahan hukum muncul ketika ayah biologis tidak mengakui anak yang lahir di luar perkawinan sah. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi norma agama dan sosial, anak-anak yang lahir dari hubungan semacam ini sering kali menghadapi stigma dan diskriminasi. Dari sudut pandang hukum, status anak luar kawin menimbulkan perdebatan mengenai hak-hak perdata dan perlindungan hukum yang seharusnya mereka terima.
Menurut Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah memperluas pengertian ini dengan menyatakan bahwa anak luar kawin juga dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, asalkan dapat dibuktikan secara ilmiah dan hukum adanya hubungan darah antara keduanya.
Untuk memperoleh pengakuan hukum dari ayah biologis, anak luar kawin dapat melalui dua mekanisme, yakni: pengakuan dan pengesahan. Pengakuan anak luar kawin diatur dalam Pasal 280 hingga 289 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang memungkinkan ayah biologis mengakui anaknya melalui akta otentik atau pernyataan resmi. Sementara itu, pengesahan anak luar kawin terjadi apabila kedua orang tua menikah setelah kelahiran anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 272 hingga 279 KUHPerdata. Proses ini penting untuk memberikan kepastian hukum dan hak-hak perdata kepada anak, termasuk hak waris dan identitas hukum yang jelas.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak atas identitas, status hukum, dan perlindungan dari diskriminasi. Hal ini menunjukkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak anak, termasuk anak luar kawin, agar mereka tidak mengalami perlakuan yang tidak adil.
Meskipun terdapat mekanisme hukum untuk pengakuan anak luar kawin, praktiknya tidak selalu mudah. Banyak ayah biologis yang enggan mengakui anaknya karena alasan sosial, ekonomi, atau reputasi. Dalam kasus seperti ini, ibu dari anak tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pengakuan dari ayah biologis, dengan dasar bukti-bukti yang kuat seperti hasil tes DNA. Namun, proses hukum ini seringkali memakan waktu dan biaya, serta menghadapi stigma sosial yang dapat mempengaruhi kesejahteraan anak.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 merupakan langkah progresif dalam perlindungan hak anak luar kawin. Dengan pengakuan hubungan perdata antara anak dan ayah biologisnya, anak luar kawin berhak atas identitas hukum, hak waris, dan perlindungan hukum lainnya. Namun, implementasi putusan ini memerlukan kesadaran hukum masyarakat dan dukungan dari lembaga hukum terkait untuk memastikan kepentingan terbaik bagi anak terlindungi secara efektif.
Salah satu contoh kasus pengakuan anak luar kawin dalam Putusan Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung Nomor 12/Pdt.P/2015, di mana seorang pria bernama Pan Cheng-Chih mengajukan permohonan untuk mengakui anak laki-laki bernama Lazuardi Tegar Kusuma sebagai anaknya yang lahir dari hubungan dengan seorang perempuan bernama Alpiyah. Pengadilan mengabulkan permohonan tersebut dan memerintahkan pencatatan pengakuan anak tersebut di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat. Kasus ini menunjukkan bahwa pengakuan anak luar kawin melalui jalur hukum dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak anak.
Demikian pula, dalam Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 1594 K/Pdt/2018, pengadilan mengabulkan hak waris kepada anak luar kawin yang lahir di luar nikah. Meskipun bertentangan dengan ketentuan Pasal 272 KUHPerdata, putusan ini menunjukkan bahwa pengadilan dapat mempertimbangkan kepentingan terbaik anak dan memberikan perlindungan hukum yang adil, terlepas dari status kelahirannya.
Dalam menghadapi realitas sosial yang terus berkembang, hukum tidak dapat bersikap statis. Fenomena anak luar kawin sebagai konsekuensi dari seks pranikah menuntut respons hukum yang adaptif dan berkeadilan. Meskipun Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah membuka jalan bagi pengakuan hubungan perdata antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk stigma sosial dan prosedur hukum yang kompleks.
Negara wajib hadir untuk memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang status kelahirannya, mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Hal ini mencakup akses terhadap identitas hukum, hak waris, dan pengakuan dari kedua orang tuanya. Untuk itu, diperlukan sinergitas antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk menciptakan sistem hukum yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan anak luar kawin. Hanya dengan demikian, prinsip keadilan dan perlindungan anak dapat terwujud secara nyata dalam kehidupan masyarakat.