Makassar, Eksepsi Online – (19/04) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar memutuskan dalam perkara Nomor: 124/G/2024/PTUN.MKS menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh Alhaidi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), terkait sanksi skorsing satu semester yang dijatuhkan oleh Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Namun, putusan ini menuai sorotan tajam dari kuasa hukum Alhaidi serta pihak-pihak terkait yang menilai hakim gagal melihat substansi permasalahan.
Hutomo Mandala Putra, kuasa hukum Alhaidi, menjelaskan bahwa akses ke Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Makassar sempat mengalami gangguan beberapa kali, sehingga pihaknya kesulitan memperoleh informasi resmi. Meski demikian, mereka akhirnya mendapatkan salinan putusan melalui e-court, yang membenarkan bahwa gugatan Alhaidi ditolak secara keseluruhan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa SK skorsing yang diterbitkan oleh Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan telah sejalan dengan aturan yang ada dan sesuai dengan Surat Edaran (SE) No. 2591. Surat edaran tersebut menjadi dasar penindakan terhadap Alhaidi, yang dianggap melanggar aturan karena menggelar aksi protes tanpa izin birokrasi kampus setidaknya 3×24 jam sebelumnya.
Hutomo menegaskan bahwa SE 2591 sendiri tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan bertentangan dengan konstitusi serta prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kami menilai SE 2591 tidak memiliki landaan yang kuat sehingga membatasi ruang demokrasi di lingkupkampus UIN Alauddin Makassar. Hal tersebut menjadi pemicu, surat edaran yang bertolak belakang dengan konstitusi serta prinsip HAM, bagaimana mungkin dijadikan bahan pertimbangan,” tegas Hutomo dalam siaran pers YLBHI Makassar pada Kamis (19/04).
Lebih lanjut, Hutomo juga menyoroti fakta bahwa Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan tidak memberikan tembusan SK skorsing kepada orang tua atau wali Alhaidi, yang merupakan bagian dari prosedur administratif.
“Majelis Hakim enggan mempertimbangkan pelanggaran bahwa Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan tidak memberikan tebusan objek gugatan kepada orang tua wali Alhaidi, padahal ini jelas bagian dari prosedur terbitnya objek gugatan, karena itu kami menilai hakim lepas tangan atas sebagian prosedur terbitnya objek sengketa yang dilanggar oleh Tergugat,” tambahnya.
Dalam proses penilaian dugaan pelanggaran tata tertib oleh DKU (Dewan Kehormatan Universitas) UINAM, Alhaidi juga mengalami ketidakadilan prosedural. Panggilan sidang DKU diserahkan pada pukul 16.05 WITA tanggal 23 Agustus 2024, dengan permintaan kehadiran pada hari yang sama. Hal ini dinilai tidak proporsional dan melanggar asas pelayanan yang baik, karena tidak memberikan waktu yang memadai bagi Alhaidi sehingga tidak dapat hadir dalam panggilan tersebut.Dengan demikian, tidak ada kesempatan bagi Alhaidi untuk memberikan klarifikasi sebelum sanksi dijatuhkan.
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan langsung menerbitkan sanksi skorsing selama satu semester melalui Surat Keputusan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Nomor 4039 Tahun 2024 tanpa memeriksa Alhaidi di sidang DKU atau memberikan ruang klarifikasi.
“Kami menyayangkan pertimbangan hakim yang menyatakan Tergugat dapat langsung menjatuhkan sanksi kepada Alhaidi tanpa perlu diperiksa baik oleh DKU maupun Tergugat, karena ini dapat menghilangkan hak bagi Alhaidi untuk memberikan klarifikasi atas tuduhan pelanggaran yang dituduhkan. Menurut kami, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan melanggar Asas Ketidakberpihakan dalam AAUPB, yang tentu ini mengarah kepada pelanggaran HAM, yaitu pemberian sanksi kepada Alhaidi yang sedang menyalurkan hak berekspresinya,” ungkap Hutomo.
Alhaidi, dalam kesempatannya yang diberikan, menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap sistem hukum di Indonesia. Menurutnya, putusan ini memperlihatkan ketidakadilan struktural di mana hukum cenderung tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
“Keputusan ini cukup membuat saya kecewa, seharusnya hakim betul-betul ada pada pendiriannya yang mendukung keberlangsungan demokrasi di manapun, lebih-lebih di kampus. Namun nyatanya sekarang hukum di Indonesia, lebih-lebih di PTUN betul-betul saya rasakan tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” ujar Alhaidi. (Sal—Red)