web analytics
header

Peringati May Day, Buruh dan Mahasiswa Makassar Kecam Ketidakadilan Struktural

Sumber: Dokumentasi Reporter Eksepsi

Makassar, Eksepsi Online — (02/05) Persatuan buruh dan mahasiswa di Makassar turun ke jalan memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) pada Kamis (01/05) yang bertitik di Jalan Layang Pettarani. Aksi yang tergabung dalam Aliansi Persatuan Rakyat Makassar (PRAM), menyoroti krisis tenaga kerja, penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Omnibus Law), serta keterlibatan militer di ruang sipil.


Jo, salah seorang perwakilan mahasiswa Universitas Hasanuddin, memberitahukan bahwa salah satu tuntutan yang dibawa berkaitan dengan lonjakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak yang terjadi di berbagai sektor.


“Di mana-mana kita lihat di Instagram, sosial media, bahkan di lingkungan terdekat kita sendiri kalau ada keluarga kita yang buruh pasti kita mendapatkan PHK dimana-mana, … tapi yang (sering) terjadi saat ini malahan PHK secara sepihak. Maka dalam memperingati hari May Day, isu itu yang dibawa,” ungkap Jo.


Ia menekankan bahwa PHK bukan hanya isu permukaan, melainkan dampak krisis kapitalisme yang mengakibatkan eksploitasi upah rendah dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Selain itu, aksi juga menuntut efisiensi anggaran negara dan penolakan militerisasi di ruang sipil.


“PHK itu adalah isu permukaan dari krisis kapitalisme. Misalnya kita berbicara gaji buruh yang sangat rendah, kemudian disusul oleh bahan-bahan pokok yang semakin mahal. Di hari ini tuntutan kami itu banyak. Efisiensi anggaran, kemudian ada isu militerisme, dan semua isu-isu itu semua menampung dan mendorong krisis yang lebih mengakar lagi dan lebih mencabang-cabang lagi. Pendidikan terdesak, PHK meledak, dan militer mulai masuk ke ruang-ruang sipil,” lanjutnya.


Sementara itu, Salim sebagai perwakilan buruh menyebut penolakan UU Cipta Kerja sebagai salah satu tuntutan para buruh. Menurutnya, undang-undang tersebut memperparah kondisi buruh dan mempersulit penyelesaian sengketa tenaga kerja. Tercatat ada 15 perusahaan di Sulawesi Selatan yang hingga kini belum menyelesaikan kasus perburuhan pasca pemberlakuan UU Cipta kerja.


“… sahkan UU Ketenagakerjaan yang pro buruh, … selain itu, harapan kami juga bagaimana kasus-kasus, atau masalah-masalah perburuhan yang terjadi itu bisa mendapatkan solusi jalan penyelesaian yang efektif. Tidak berlarut-larut, seperti yang kami alami saat ini,” pinta Salim.


Selama berjalannya aksi, Jo mengkritik respons aparat yang dinilai tidak peduli terhadap tuntutan aksi. Polisi disebut lebih fokus memotret peserta aksi yang membawa spanduk daripada mendengarkan isi tuntutan.


“Masalahnya polisi ini suka foto-foto. Pas anak-anak lagi sebarkan spanduk, yang difoto itu malah orangnya yang pegang spanduk, bukan isi tuntutan dari spanduk itu. Padahal harusnya kan isi tuntutan dari spanduk itu. Jadi ini sama saja halnya bahwa pemerintah itu tuli telinganya. Sudah buta matanya, tuli lagi telinganya,” protes Jo.

Aksi berakhir dengan lancar dan menyisakan harapan agar semua masyarakat dapat bersatu untuk melawan ketidakadilan.


“Selama masih ada suara selama masih ada pengetahuan, selama masih bisa kita berpikir melihat ketidakadilan cukup empati dan simpati, pasti tergerak. Setiap manusia, beragama atau tidak beragama,” harap Jo. (Sal)

Related posts: