Oleh: Rastiawaty (Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Medio April 2025, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mengungkap temuan sembilan produk jajanan anak yang mengandung unsur babi (porcine), meskipun tujuh di antaranya telah bersertifikat halal. Produk-produk ini, berasal dari produsen luar negeri seperti China dan Filipina, serta telah beredar luas di pasaran Indonesia, termasuk melalui platform daring. Temuan ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat, terutama umat Muslim yang mengandalkan label halal sebagai jaminan kehalalan produk.
Temuan jajanan anak yang mengandung unsur babi, meskipun berlabel halal, menimbulkan keprihatinan mendalam. Produk-produk tersebut dirancang dengan kemasan menarik dan harga terjangkau, menjadikannya sangat dekat dengan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak hanya menyangkut aspek kesehatan dan keagamaan, tetapi juga menyentuh perlindungan terhadap konsumen anak-anak yang rentan.
Anak-anak merupakan kelompok konsumen yang sangat rentan terhadap paparan produk yang tidak sesuai dengan standar keamanan dan kehalalan. Produk-produk makanan dengan kemasan menarik dan rasa yang disukai anak-anak seringkali menjadi sasaran utama produsen, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan perkembangan anak.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pelanggaran terhadap hak-hak ini, termasuk melalui penyediaan produk yang tidak aman atau menyesatkan, merupakan bentuk kekerasan tidak langsung yang dapat merugikan anak secara fisik dan psikologis.
Penemuan produk pangan olahan yang mengandung unsur babi, oleh BPOM dan BPJPH mengindikasikan adanya kegagalan dalam sistem sertifikasi halal di Indonesia. Kegagalan ini tidak hanya merugikan konsumen Muslim yang mengandalkan label halal sebagai jaminan kehalalan produk, tetapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap lembaga sertifikasi dan pengawasan pangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menegaskan bahwa setiap konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pemberian label halal pada produk yang mengandung unsur haram merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen atas informasi yang akurat dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum bagi pelaku usaha yang terlibat.
Dalam konteks hukum, pelaku usaha yang dengan sengaja atau lalai dalam memastikan kehalalan produknya dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, lembaga sertifikasi halal juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan verifikasi yang ketat terhadap produk yang mereka sertifikasi. Kegagalan dalam menjalankan fungsi ini dapat mengakibatkan kerugian bagi konsumen dan menurunkan kredibilitas lembaga tersebut di mata publik.
Kasus serupa menimpa pula Malaysia, di mana otoritas setempat segera menarik produk makanan impor dari Indonesia yang mengandung babi meskipun berlabel halal. Langkah cepat dan tegas ini menunjukkan pentingnya respons yang proaktif dalam menangani pelanggaran terhadap standar kehalalan produk, guna melindungi konsumen dan menjaga integritas sistem sertifikasi halal.
Perlindungan anak harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan publik, termasuk dalam pengawasan dan sertifikasi produk makanan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran, khususnya yang ditujukan untuk konsumsi anak-anak. Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya membaca label dan memahami kandungan produk juga harus ditingkatkan.
Kolaborasi antara pemerintah, lembaga sertifikasi, pelaku usaha, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi anak-anak. Dengan demikian, kasus-kasus seperti peredaran produk berlabel halal yang mengandung unsur haram dapat diminimalisir, dan hak-hak anak sebagai konsumen dapat terlindungi secara optimal.
Kasus peredaran produk jajanan anak yang mengandung unsur babi meskipun berlabel halal merupakan alarm keras bagi sistem perlindungan konsumen di Indonesia, khususnya bagi anak-anak sebagai kelompok paling rentan. Kejadian ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam proses sertifikasi halal dan pengawasan produk pangan yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga kepercayaan publik.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap produk yang beredar, terutama yang dikonsumsi oleh anak-anak, memenuhi standar kehalalan yang ketat. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya menjadi landasan kuat dalam menegakkan keadilan dan memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang lalai atau sengaja melanggar ketentuan tersebut.
Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, kasus ini menyentuh aspek kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Anak-anak, yang seharusnya dilindungi dari konsumsi produk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan kesehatan, justru menjadi korban dari kelalaian sistemik. Oleh karena itu, diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem sertifikasi halal, termasuk peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap proses produksi dan distribusi produk makanan.
Kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat komitmen bersama dalam melindungi anak-anak dari paparan produk yang tidak aman. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh elemen masyarakat dan negara. Hanya dengan langkah konkret dan sinergi yang kuat, kita dapat memastikan bahwa setiap anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan sesuai dengan nilai-nilai yang kita junjung tinggi.