Oleh: Verlyn Thesman
Perkembangan Akal Imitasi (AI) telah mengubah banyak wajah industri, tak terkecuali dunia jurnalistik. Jika dahulu produksi berita identik dengan kerja keras manual dan tenggat yang menekan, kini AI hadir sebagai rekan kerja yang mampu mempercepat proses, meningkatkan akurasi, dan memperluas posibilitas kreativitas dalam menyampaikan pesan-pesan yang ingin disalurkan. Namun, di balik semua kemudahan itu, ada satu catatan penting yang perlu ditekankan sejak awal, yaitu sepatutnya AI bukanlah pengganti jurnalis. Hanya sebatas alat bantu yang tetap harus digunakan dengan bijak.
Berbagai platform berbasis AI seperti mulai diadopsi dalam ruang-ruang redaksi. Mereka membantu jurnalis dalam menyusun naskah cepat, memperbaiki tata bahasa, hingga menawarkan alternatif-alternatif dalam penentuan sudut pandang (angle) dan judul berita. Untuk berita berbasis data atau laporan kejadian rutin, peran AI terasa sangat signifikan, memangkas waktu tanpa mengorbankan struktur dasar informasi.
Namun demikian, pekerjaan jurnalis tidak berhenti pada penyusunan kata. Di sinilah batas antara mesin dan manusia mulai terlihat. AI belum mampu menandingi kepekaan manusia dalam membaca konteks sosial, menerapkan etika, dan menyisipkan empati dalam tulisan. Investigasi mendalam, penelusuran narasumber, hingga verifikasi fakta adalah medan yang sejatinya tetap memerlukan sentuhan dan intuisi manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kecepatan dan akurasi dalam membaca peta isu inilah yang menjadikan AI alat strategis dalam perencanaan konten. AI juga berperan dalam aspek distribusi konten. Media-media digital seperti Kompas.com, Detik, bahkan CNN Indonesia memanfaatkan algoritma untuk menjangkau pembaca sesuai dengan hal-hal yang mereka minati. Dengan pendekatan ini, media membangun relasi yang lebih personal dengan pembacanya.
Melalui postingan Instagram Dewan Pers, mereka menekankan sikap dalam penggunaan AI dalam pembuatan produk jurnalistik adalah “Terbuka, tapi Tetap Tegas”. Dewan Pers menyampaikan bahwa media didorong untuk beradaptasi dengan teknologi (termasuk AI), selama tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik. Tetap diperlukan akurasi, independensi, dan akuntabilitas. Ini adalah sinyal bahwa inovasi bukanlah musuh, asalkan dijalankan tanpa meninggalkan etika dasar jurnalisme.
Selama jurnalis tetap memegang kendali dan prinsip, kolaborasi antara manusia dan mesin justru akan membawa dunia media ke arah yang lebih dinamis, inklusif, dan relevan dengan zaman. AI bukan musuh jurnalisme.