Makassar, Eksepsi Online — (16/07) Sejumlah massa yang menyatukan suara melalui Solidaritas untuk Buruh KIBA (Kawasan Industri Bantaeng) menggelar aksi serentak untuk mengawal hak buruh pada hari Senin (14/07), pukul 09.00 WITA di tiga kota ,yakni Makassar, Bantaeng, dan Jakarta. Aksi ini digelar sebagai bentuk penolakan atas pelanggaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia.
Menurut pernyataan Ijul, perwakilan dari Solidaritas untuk Buruh KIBA, aksi di Makassar diawali dengan berkumpulnya massa di Masjid Kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS) Tamalanrea lalu secara bersama-sama bergerak ke Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnaker) di Provinsi Sulawesi Selatan yang berada di depan Bumi Tamalanrea Permai (BTP) untuk melakukan aksi dan dialog bersama Kepala Disnaker. Setelah itu, massa kemudian akan melanjutkan aksinya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan untuk berdialog dan menyampaikan tuntutan.
Aksi serupa juga berlangsung di Bantaeng, di mana buruh melakukan pendudukan dan menghentikan aktivitas Perusahaan. Sementara di Jakarta, aksi digelar tepat di depan PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia.
Ijul kembali menuturkan bahwa aksi ini dipicu oleh berbagai isu persoalan yang terjadi di KIBA terutama terkait upah lembur yang tidak terbayarkan kepada buruh sejak 2021.
“PT Huadi dan berbagai anak perusahaannya itu merampok sekitar 1,7 juta per bulan setiap buruhnya dan itu berlangsung hingga hari ini. Jadi, terdapat (sekitar) 80 juta yang belum terbayarkan kepada setiap buruh. Itulah yang masih terus dikawal,” ungkap Ijul.
Ijul juga menambahkan bahwa pengawas Disnaker unit kerja Bulukumba yang membawahi Bantaeng telah mengeluarkan ketetapan mengenai nominal upah yang harus dibayarkan oleh PT Huadi, yakni sekitar 83 juta per orang. Namun perusahaan tersebut belum menjalankan keputusan tersebut.
Sebelum aksi ini, buruh Bantaeng telah melakukan berbagai aksi dan dialog dengan pihak perusahaan dan DPRD melalui Bipartit dan Tripartit namun sampai hari ini belum menemukan titik solusi bersama.
Aksi Solidaritas untuk Buruh KIBA di Makassar ini pun menjadi momen pertama kalinya terlibat dalam solidaritas bersama buruh dari Bantaeng.
Iqbal selaku perwakilan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi, mengungkapkan bahwa aksi Solidaritas untuk Buruh KIBA membawa beberapa tuntutan.
“Adapun tuntutan yang kita bawa: yang pertama; ntuk mendesak dan memaksa perusahaan untuk membayarkan upah buruh yang telah dirampas dalam bentuk upah lembur yang tidak dibayarkan, kedua; kita mendesak kepada Dinas Ketenagakerjaan untuk segera memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan yang nakal, yang telah melakukan kejahatan di KIBA. Ketiga; skema merumahkan buruh ini dinilai sebagai skema yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Skema ini, yang jahat dan licik, dikeluarkan oleh perusahaan dan Dinas Ketenagakerjan harus menyikapi itu,” jelas Iqbal.
Iqbal turut menegaskan bahwa aksi ini menuntut DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk terlibat aktif dalam penyelesaian perselisihan antara buruh dan perusahaan di KIBA dengan mengkoordinasikan kepada DPRD Kabupaten Bantaeng untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus).
“Buruh yang seharusnya bekerja 7-8 jam per hari, bahkan bekerja hingga 12 jam per hari tanpa mendapatkan upah lembur sedikit pun. Kejahatan-kejahatan seperti itu harus ditindaki oleh Dinas Ketenagakerjaan Provinsi agar perusahaan tidak sewenang-wenang terhadap buruh-buruhnya yang bekerja di perusahaan tersebut,” tegas Iqbal.
Selain itu, Iqbal menyebutkan bahwa DPRD Provinsi Sulawesi Selatan telah berkomitmen untuk menggelar pertemuan multisektor yang melibatkan Disnaker, Pemerintah Kabupaten Bantaeng, DPRD Kabupaten Bantaeng, perusahaan, buruh, dan solidaritas buruh. Ia berharap pertemuan tersebut untuk segera direalisasikan mengingat situasi di KIBA sangat mendesak. Jika perkembangan penyelesaikan pun berjalan dengan lambat, maka, mereka akan berencana untuk konsolidasi yang lebih luas dengan melibatkan lebih banyak buruh untuk menggelar aksi yang lebih besar dan masif karena situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan. (Kid)