web analytics
header

Mufakat: Musyawarah Cepat tapi Cacat

Sumber: Pinterest

Oleh: Alif Ahmad Fauzan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Berangkat dari seutas pertanyaan yang sampai sekarang tak terjamah di grup angkatan, lewat tulisan ini penulis mencoba mencari jawaban.

Sebelum berlarut pada sebuah perdebatan, perlu ditekankan bahwa tulisan ini hanyalah terkaan bukan penilaian.

Prakondisi

Pukul 17.30, 21 Juli 2025. Di tengah hiruk pikuk kemacetan disertai klakson kendaraan, tiba-tiba sebuah undangan masuk lewat pesan Whatsapp; ‘Undangan Musyawarah’ tajuknya. Acaranya dimulai pukul 19.00 WITA—hanya berselang 90 menit dari undangan. Undangan musyawarah, selanjutnya tidak berjalan mulus karena keterbatasan waktu. Selanjutnya, agenda musyawarah tiba-tiba berubah menjadi voting. Untuk sejenak, penulis dalam tulisan ini mencoba untuk menjawab atau paling tidak menerka-nerka jawaban untuk mengatasi kebingungan.

Apakah Sama antara Musyawarah dan Voting?

Penulis dalam hal ini menganggap perlu untuk terlebih dahulu memberikan pengertian sebagai dasar jawaban dalam tulisan ini. Musyawarah adalah proses pembahasan bersama untuk mencapai keputusan yang disepakati secara kolektif oleh semua pihak yang terlibat. Dalam musyawarah, setiap peserta memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat, gagasan, atau usulan. Tujuannya adalah mencari mufakat (kesepakatan bersama) demi kepentingan bersama, bukan untuk menang sendiri. Sementara itu, voting adalah proses pengambilan keputusan atau penentuan pilihan dengan memberikan suara oleh individu atau kelompok dalam suatu sistem demokratis. Voting juga dilakukan jika forum telah memenuhi 50 persen dari total keseluruhan peserta.

Dalam definisi diatas, dapat dimengerti bahwa terdapat perbedaan mendasar antara voting dan musyawarah. Sehingga tidaklah masuk akal jika dalam undangan berbunyi musyawarah, sementara dalam pelaksaan justru voting yang dilakukan.

Mungkinkah Musyawarah Berubah Menjadi Voting?

Dalam beberapa konteks, musyawarah yang dalam hal ini setelah mendengar semua pendapat, seluruh argumentasi dan perdebatan dapat berubah menjadi voting jika tidak tercapai mufakat. Pun demikian, musyawarah perlu dilakukan tidak terburu-buru atau dikejar waktu. Dengan kata lain, voting merupakan jalan terakhir dan bukan Fast Track yang dilakukan hanya jika dalam musyawarah—sekali lagi setelah mendengar seluruh pendapat tanpa ada batasan yang tidak substansial—tidak tercapai mufakat.

Sebagaimana disebutkan dalam prakondisi, dalam kondisi 90 orang yang memiliki pendapat berbeda, perlu kiranya didengar masing-masing pendapat secara terbuka. Secara terbuka mengandung arti bahwa perdebatan itu dibolehkan bukan dilarang. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan dengan baik hanya dengan alasan waktu.

Waktu, Apakah Force Majeure?

Keadaan kahar atau biasa disebut Force Majeure dalam Hukum Administrasi Negara adalah situasi luar biasa yang terjadi di luar kendali manusia. Hal inilah yang dapat menjadi alasan pembenar untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan.

Berdasarkan informasi yang didapatkan, bahwa penjaringan ketua telah disampaikan sejak tanggal 8 juli oleh yang berwenang sehingga ada selang 14 hari untuk melakukan ‘musyawarah’ agar tercapai tujuan. Selanjutnya, dalam aturan tersebut bahwa jika tidak terdapat calon ketua selama 14 hari kerja, maka pendaftaran harus diperpanjang selama 7 hari. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa apa yang dianggap sebagai ‘mendesak’ bukanlah Force Majeure.

Jika Bukan Force Majeure, Kenapa Jadi Alasan?

Setelah menilik dinamika yang terjadi, penulis menemukan adanya ‘sinyal politis’. Sinyal itu penulis tangkap sebagai mensrea (niat jahat) pada beberapa hal yakni;

  1. Pelaksanaan yang terburu-buru tanpa disertai alasan yang masuk akal sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
  2. Forum yang dikemas dengan pemaparan konsep hanya bersifat formalitas. Hal itu penulis simpulkan dengan alasan bahwa pemaparan konsep dilaksanakan dengan sangat terburu-buru tanpa mempertimbangkan hal-hal krusial seperti motivasi calon, argumentasi calon, bahkan konsep daripada calon itu sendiri.
  3. Di samping itu, argumentasi yang dibatasi tentunya turut mempengaruhi forum yang dalam hal ini penulis menganggapnya sebagai penggiringan opini secara tersembunyi untuk melaksanakan voting.
  4. Bahwa dalam forum terdapat ‘perangkat acara’ yang tiba-tiba mengambil peran tanpa melewati musyawarah atau penunjukan pada forum.

Dengan dasar itu, kemudian didapati benang merah bahwa keputusan forum sejatinya telah ada sebelum forum itu dimulai. Empat hal diatas, penulis rasa cukup untuk menggambarkan suatu itikad yang tidak baik oleh ‘penyelenggara forum’.

Sampai saat tulisan ini diterbitkan, pertanyaan belum juga—secara subtansi—dijawab.

Related posts: