web analytics
header

Suara Figuran dalam Sandiwara Kekuasaan

Sumber: Diolah Menggunakan Akal Imitasi

Oleh: Faturrahman Powari Sutisna (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)

Ada yang lucu dari politik kampus: semakin tinggi jenjangnya, semakin luwes permainannya. Demokrasi dibanggakan di forum, tetapi dikhianati di ruang-ruang kecil yang penuh bisik-bisik kekuasaan. Lembaga kemahasiswaan yang katanya milik bersama, kenyataannya hanya dimiliki oleh mereka yang cakap bermain di belakang layar.

Sebuah angkatan telah bermusyawarah. Nama A dipilih secara sah, didukung suara mayoritas. Namun, saat panggung kekuasaan berpindah ke tangan DPM dan BEM, muncullah nama B yang bahkan tidak lolos seleksi dalam musyawarah. Seolah-olah kekalahan dapat ditebus dengan lobi. Seakan-akan proses hanyalah formalitas karena hasilnya sudah ditulis jauh-jauh hari.

Lucu, bukan?

Uji kelayakan hanya basa-basi, nilai yang lebih tinggi dianggap hiasan, dan musyawarah dianggap sebagai pementasan. Ternyata, kami hanya figuran dalam sebuah sandiwara kekuasaan.

Kalian adalah lelucon, dan kami sudah muak untuk tertawa.

Jangan berbicara tentang demokrasi jika suara angkatan kalian injak-injak. Jangan berbicara tentang keadilan jika keputusan dapat kalian ubah melalui cara-cara di belakang layar. Jangan sekali-kali berbicara tentang integritas jika kalian bahkan tidak dapat menghormati hasil pemilihan yang sah. Dulu, kalian berpura-pura paling keras menyuarakan musyawarah, tetapi sekarang tiba-tiba hilang tanpa suara.

Angkatan ini bukan boneka. Kami tidak dilahirkan untuk dikendalikan oleh ego segelintir orang. Apa yang kalian inginkan sampai hendak merobohkan pilar angkatan? Jika hari ini kalian bisa mengubah keputusan sesuka hati, di kemudian hari kalian mungkin akan merusak sesuatu yang lebih besar lagi. Saat hal itu tiba, kami akan berada di barisan terdepan: bukan untuk berbicara, melainkan untuk melawan.

Sebab, kami sudah memilih. Meskipun kalian yang menentukan, kami tidak akan diam.

Ini bukan persoalan siapa yang duduk di kursi ketua panitia. Ini adalah tentang menghargai suara, proses, dan harga diri angkatan. Jika semuanya dapat diatur setelah forum selesai, untuk apa kita bermusyawarah? Atau jangan-jangan, kalian memang lebih menyukai muslihat daripada musyawarah? Silakan ambil kursi itu, wahai sang ketua, tetapi hendak kau letakkan di mana jika kami tidak menerimanya?

Selamat datang di panggung dagelan bernama demokrasi kampus. Tempat para figuran harus bersuara karena aktor utamanya tidak layak dipercaya.

Related posts:

Mufakat: Musyawarah Cepat tapi Cacat

Oleh: Alif Ahmad Fauzan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) Berangkat dari seutas pertanyaan yang sampai sekarang tak terjamah di grup