Makassar, Eksepsi Online – (31/07) Penentuan Ketua Panitia Pembinaan Mahasiswa Hukum Tahap II (PMH II) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) memicu polemik di kalangan Keluarga Mahasiswa (KEMA). Pasalnya, keputusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH-UH dinilai tidak sejalan dengan hasil Fit and Proper Test (FPT) yang dirilis oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FH-UH.
Kisruh ini bermula ketika DPM FH-UH mengumumkan rekapitulasi penilaian calon ketua panitia melalui akun Instagram resmi mereka pada Minggu (27/07). Dalam pemilihan Ketua PMH II, terdapat dua calon dari angkatan 2023 Addendum, yaitu M Arham Jalal Bando dan Aditya Nur Pratama.
Hasil penilaian DPM menunjukkan keunggulan M Arham Jalal Bando dengan skor akumulatif 81,85, sementara Aditya Nur Pratama memperoleh skor 74,73. Namun, BEM FH-UH justru menetapkan Aditya sebagai Ketua PMH II terpilih, keputusan yang sontak menuai berbagai respons dan perdebatan di kolom komentar unggahan DPM.
Ketua Angkatan Addendum 2023, Nafi Maulana Khairul, menyuarakan kekecewaannya terkait proses pencalonan yang menurutnya mengabaikan hasil musyawarah angkatan. Ia menjelaskan bahwa angkatannya telah menggelar forum untuk menimbang pro dan kontra demi menentukan satu nama yang akan direkomendasikan secara resmi.
“Forum berakhir dengan kemenangan salah satu calon dan saya menghargai keputusan itu serta merekomendasikan calon tersebut kepada Badan Eksekutif Mahasiswa atas dasar keputusan angkatan,” ungkap Nafi.
Ia menegaskan bahwa pada saat forum, telah disepakati bahwa apa pun hasilnya, itulah yang akan menjadi representasi angkatan Addendum 2023.
Namun, dinamika berubah keesokan harinya. Menurut Nafi, beberapa pihak yang tidak setuju dengan hasil musyawarah mendaftarkan diri secara individu ke BEM.
“Saya selaku ketua angkatan kecewa terhadap keputusan Badan Eksekutif Mahasiswa karena menerima calon tanpa adanya keputusan dari angkatan,” tegasnya.
Kekecewaannya memuncak ketika keputusan akhir BEM tidak hanya berbeda dari rekomendasi angkatan, tetapi juga bertentangan dengan hasil FPT yang dikeluarkan DPM.
“Saya bertanya kepada presiden BEM mengapa hal ini bisa terjadi, namun Badan Eksekutif Mahasiswa mempunyai pertimbangan nilai-nilai tersendiri untuk mengusulkan calon ketua PMH dalam memutuskan hal tersebut,” jelas Nafi.
Menanggapi kontroversi tersebut, Presiden BEM FH-UH, Muh. Dzaky Arya Nauval, memberikan penjelasan. Ia menyatakan bahwa BEM menginginkan sistem pengaderan yang inklusif, bebas dari senioritas primitif dan tendensi balas dendam. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan persiapan matang dan sosok ketua panitia yang tepat.
Dzaky menegaskan bahwa hasil FPT dari DPM bukanlah satu-satunya faktor penentu. Menurutnya, ada tiga hal yang menjadi dasar pertimbangan BEM dalam mengambil keputusan:
- Hasil FPT yang merupakan representasi penilaian KEMA melalui DPM.
- Rekam jejak calon dalam menjalankan dan menuntaskan program kerja di BEM, mengingat PMH adalah program kerja BEM.
- Pengalaman calon dalam ranah pengaderan, karena PMH merupakan salah satu jenjang kaderisasi formal.
“Hasil tersebut diberikan ke BEM sebagai pertimbangan, dan dalam menentukan pilihan, bukan cuman hasil fitrop (FTP) yang dijadikan pertimbangan,” jelas Dzaky.
“Pastinya banyak yang tidak menerima pertimbangan tersebut, namun tetap saja BEM boleh memiliki pertimbangan tersendiri. Jika ada dari DPM yang merasa hasil fitrop-nya tidak berguna atau merasa terluka oleh keputusan ini, maka saya sarankan baca dan pelajari kembali PerKEMA (Peraturan Keluarga Mahasiswa) yang ada,” tambahnya.
Dzaky juga menegaskan bahwa kedua calon mendaftar sesuai prosedur dan BEM tidak memiliki wewenang untuk membatasi hak siapa pun untuk mencalonkan diri.
“Jika ada yang bertanya kenapa bisa ada dua calon yang mengikuti fitrop, karena pada kenyataannya memang kedua nama tersebut mengisi form sebelum melewati batas waktu yang ditentukan, malahan ketua angkatan memberikan rekomendasi nama lewat dari tanggal yang telah ditentukan. BEM juga tidak punya kewenangan untuk melarang tiap insan untuk mendaftar, siapa saja boleh, tidak boleh ada yang dibatasi hak nya itu sendiri.” tegas Dzaky.
Di sisi lain, Ketua DPM FH-UH, Andi Rizqullah Ramadhan Akbar, turut angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa DPM telah menjalankan tugasnya sesuai dengan PerKEMA Nomor 2 Tahun 2021, di mana tugas DPM terbatas pada pelaksanaan FPT.
“Berdasarkan PerKEMA Nomor 2 Tahun 2021 tentang pemilihan Ketua PMH, khususnya pasal 5, ditegaskan bahwa tugas utama DPM terbatas pada pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan (FPT) terhadap para calon. Hasil dari proses FPT ini kemudian diserahkan kepada BEM untuk dijadikan bahan pertimbangan,” papar Rizqullah.
Ia menegaskan bahwa kedua calon telah memenuhi ambang batas kelayakan yang ditetapkan, sehingga tidak ada alasan untuk mendiskualifikasi salah satunya berdasarkan hasil FPT. Namun, ia menekankan bahwa kewenangan penuh untuk menetapkan ketua panitia berada di tangan BEM.
“Keputusan akhir mengenai siapa yang ditetapkan sebagai Ketua PMH sepenuhnya berada dalam kewenangan BEM. Oleh karena itu, apabila terdapat keputusan yang dianggap tidak merepresentasikan hasil objektif FPT, maka hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab BEM sebagai pengambil keputusan akhir,” tegasnya.
Rizqullah menambahkan bahwa KEMA berhak mempertanyakan sejauh mana BEM menjadikan hasil FPT sebagai dasar utama pengambilan keputusan serta menjunjung tinggi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Adapun Nafi Maulana berharap kejadian ini dapat menjadi pelajaran berharga. “Semoga hal-hal seperti ini bisa menjadi pelajaran dan bekal terutama kepada angkatan-angkatan selanjutnya yang akan diberikan amanah,” tutupnya.
Hingga berita ini diunggah, baik M Arham Jalal Bando maupun Aditya Nur Pratama belum memberikan tanggapan saat dihubungi oleh tim Eksepsi. Polemik ini diharapkan dapat menemukan titik terang dalam Rapat KEMA yang akan digelar pada Kamis (31/07) pukul 16.00 WITA, di mana seluruh pihak yang menjadi bagian dari KEMA FH-UH diundang untuk berdiskusi, menyampaikan kritik, dan mencari solusi bersama. (Pqi-Tod)