Makassar, Eksepsi Online – (05/09) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menutup bulan Agustus dengan menyelenggarakan Mengalir Fest 2025: Jejak Perlindungan Laut dan Keadilan Air, sebuah kegiatan festival lingkungan yang berlangsung selama tiga hari pada 29–31 Agustus 2025 di tempat berbeda Kota Makassar: Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Taman Pintu Satu UNHAS, dan Kampung Pesisir Tallo.
Mengalir Fest 2025 merupakan hasil kolaborasi antara WALHI Sulsel dan berbagai organisasi seperti HIMA PPKn FIS-H UNM, HIMATEP FIP UNM, HUMAN FISIP UH, Green Youth Celebes, dan PC IMM Makassar.
Festival edukasi, kampanye, dan advokasi ini menegaskan pentingnya pendekatan lintas sektor dan lintas generasi dalam menghadapi krisis air dan krisis ekologis. Mengalir Fest menjadi ruang pertemuan antara warga, aktivis lingkungan, komunitas, akademisi, hingga seniman, sekaligus memperkuat gerakan perlindungan laut dan perjuangan atas hak air bersih melalui beragam kegiatan, mulai dari diskusi publik, workshop eco-printing, mural, pertunjukan seni, rembuk warga, hingga parade.
Mengalir Fest dibuka dengan diskusi publik bertema “Air sebagai Hak Dasar, Bukan Komoditi”. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber: Brahmani Hanum Meutiasari (Koalisi Gerakan Makassar Menuntut Air Bersih), Dr. Ishak Salim (Forum Akademisi untuk Keadilan Air), dan Sarah Agussalim (Ketua Umum HMI Cabang Makassar).
Dalam kesempatan yang sama, WALHI Sulsel juga secara resmi meluncurkan website PantauAir.com, sebuah platform kolaboratif yang memuat data, informasi, dan hasil pemantauan terkait tata kelola air di Sulawesi Selatan.
“Harapannya, PantauAir.com dapat menjadi ruang kolaborasi untuk pemantauan, advokasi, sekaligus edukasi yang berfokus pada perlindungan sumber daya air, khususnya di wilayah pesisir, danau, sungai, dan pulau-pulau kecil. Inisiatif ini lahir dari kesadaran akan krisis air yang kian meluas akibat perubahan iklim, pencemaran, dan ekspansi industri ekstraktif. Melalui platform ini, kami ingin menghadirkan ruang bersama bagi warga, akademisi, aktivis, serta komunitas untuk memperjuangkan hak atas air demi kehidupan dan masa depan,” ujar Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel.
Menurutnya, inisiatif ini merupakan bagian dari proyek advokasi bertajuk Strengthening and Consolidating Urban Water Rights Movement Based on Climate Justice and Gender Equality yang bekerja sama dengan Both ENDS dan Global Alliance for Green and Gender Action.
Momentum penting lainnya terjadi di hari kedua festival, dalam diskusi publik bertajuk “Laut untuk Rakyat, Bukan Korporasi”. Acara ini menghadirkan pembicara seperti Parid Ridwanuddin (Penulis dan Aktivis Ekonomi Nusantara), Nur Hadi (Tim Peneliti Lae-Lae Tolak Reklamasi), Andi Jaya, A.Pi., M.Si. (BPSPL Makassar), dan Fadila Abdullah (Kepala Divisi Keterlibatan Perempuan WALHI Sulsel).
Menutup sesi diskusi, Fadila Abdullah membacakan Maklumat Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara: “Delapan Tuntutan untuk Presiden ke-8 Republik Indonesia, Prabowo Subianto”. Tuntutan ini menekankan perlunya komitmen negara dalam melindungi masyarakat pesisir, nelayan tradisional, serta perempuan yang selama ini menjadi kelompok paling rentan terdampak krisis iklim, ekspansi industri, dan buruknya tata kelola sumber daya alam. (Wak)