Makassar, Eksepsi Online-Pengelolaan Terminal Regional Daya (TRD) oleh Perusahaan Daerah (PD) Terminal selama hampir 11 tahun dinilai buruk oleh Gabungan Pekerja Terminal (GPT). Alasannya karena terminal saat ini sangat sepi, sehingga mata pencarian sejumlah masyarakat pada aktivitas di terminal terganggu. Hal itu diungkapkan Humas GPT Zainal Siko selaku pembicara dalam dialog Sekitar Makassar Live oleh 104.3 Mercurius FM di Warung Kopi Phoenam, Jl Boulevard Makassar, Rabu (14/5). Hadir juga sebagai pembicara dialog adalah Dirut Perusahaan Daerah Terminal Makassar Metro Hakim Syahrani dan Ketua Ombusman Makassar Khudry Arsyad.
GPT manilai PD Terminal Tidak layak mengelola terminal. Zainal Siko mengungkapkan bahwa dari lahan TRD seluas 12.5 hektar, ternyata PD terminal Hanya mempu mengelola seluas 1 hektar saja. Itu pun menurutnya tidak dikelola secara maksimal. Kenyataan saat ini katanya, terminal tidak lagi berfungsi sebagai pusat lalu lintas angkutan umum, baik Angkutan Kota dalam Provinsi (AKDP) maupun Angkutan Kota Antar Provinsi (AKAP). Angkutan umum tidak lagi menjadikan terminal sebagai tempat menaikkan dan menurunkan penumpang akibat adanya terminal liar atau terminal bayangan. Selain itu, sejumlah perusahaan otobus juga menaikkan dan menurunkan penumpang di kantor perwakilannya, bukan di terminal.
TRD merupakan pengganti untuk Terminal Panaikang. Berdasarkan data dari GPT, sebelumnya ada 1200 unit mobil jenis panter plat kuning yang dipindahkan dari Terminal Panaikang ke Terminal Regional Daya (TRD). Namun sekarang hanya tersisa 200 unit yang beroperasi melalui terminal, sedangkan sebagaian besar lainnya membentuk terminal liar di beberapa titik dan menggunakan plat hitam.
Sampai sekarang, PD Terminal dinilai Zainal masih tidak mampu menjaring angkutan umum untuk masuk terminal, baik jenis panter maupun bus. “Sebelumnya 81 perusahaan otobus, tapi sekarang sisa 70 perusahaan otobus. Sebanyak 2500 mobil yang seharusnya masuk ke dalam terminal, namun itu tidak pernah terjadi. Bahkan bisa mencapai 4000 mobil kalau dioptimalkan,” ungkap Zainal.
Akibat dari keadaan tersebut, mata pencarian sejumlah masyarakat yang tergabung dalam GPT menjadi terganggu. Di antaranya adalah pemilik usaha pada kios-kios di terminal. Berdasarkan data dari GPT, hanya sebanyak 15% kios dari 562 unit yang masih bertahan menjalankan usahanya. Selain itu, sopir angkot juga merasa dirugikan karena berkurangnya calon penumpang yang diangkut dari dan ke terminal.
Kesemrawutan pengelolaan terminal juga dibenarkan oleh Ketua Ombusman Makassar Khudry Arsyad. Ia menilai fasilitas dan pelayanan di terminal Kota Makassar tidak disediakan secara baik dan terintegrasi. Akibatnya, pangguna terminal tidak merasakan kenyamanan sehingga lebih memilih terminal liar. Akar permasalahan lain adalah banyaknya pihak terkait yang berperan dalam pengefektifan fungsi terminal, termasuk PD Terminal, Dinas Perhubungan, PT Kalla Inti Karsa (KIK), dan kepolisian. Keadaan tersebut mengakibatkan ketidakjelasan batas kewenangan, sehingga setiap pihak tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. “Jika kita punya masalah terkait terminal, kita tidak tahu kepada siapa kita menyampaikan keluhan,” jelasnya.
Bergulirnya kasus pelik ini juga mendapatkan pengawalan dari sejumlah lembaga kemahasiswa lingkup Unhas, yaitu BEM Fakultas Hukum, BEM FISIP, dan BEM Fakultas Ekonomi. Sebagai tindak lanjut, ke depannya pihak mahasiswa berencana kembali mengadakan dialog terkait masalah ini. “Kami bersama teman-teman mahasiswa yang lain melihat GPT membawa misi yang perlu dikawal bersama. Memang setelah kami kaji, terdapat sejumlah pelanggaran yang terkesan dibiarkan oleh pihak pemerintah,” ungkap Ahmad selaku Menteri Advokasi dan Bantuan Hukum BEM Fakultas Hukum Unhas. (RTW)