Oleh: Sefanya Maikhel Perdana Tosingke
Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2020
Di depan cermin dalam kamar mandi, setelah selesai mengeringkan badan, saya mendapati mandi pagi yang begitu segar. Bergegas pergi ke ruang kelas, tempat segala pendapat bertaruh, pendapat mana yang akan bertahan dan menang. Sayangnya kelas pagi itu dialihkan ke ruang virtual zoom. Semuanya, tanpa terkecuali mengambil gawai atau laptopnya, membuka aplikasi dan segera masuk. Selamat datang di ruang kelas modern. Satu dua jam terlewati, dia yang kita panggil dengan sapaan prof, menutup kelas segera setelah didapati tidak ada yang menanggapi kuliah paginya dengan pertanyaan. Lanjutnya menyampaikan bahwa akan diadakan evaluasi di minggu depan. Sungguh senin pagi yang kantuk dan tidak lebih dari sekadar mendegar. Setidaknya itu sudah terjadi sejak dua tahun lalu, muncul wabah yang betul-betul mengganggu dan menciptakan kebiasaan baru.
Setelah mengisi tautan yang dibagikan di grup WhatsApp kelas, saya segera menutup laptop. Teknologi kembali membantu kita dengan kemajuannya yang memudahkan hampir setiap aktivitas, bahkan hingga mengisi daftar hadir. Dengan jentikkan jari, semua beralih ke ruang virtual, selamat datang di era baru.
Kalau di One Piece -sebuah maha karya dari Eiichiro Oda, seorang mangaka yang menceritakan kehidupan bajak laut yang berburu harta karun- era baru adalah era di mana orang berlomba-lomba untuk menjadi bajak laut dan mencari harta karun paling misterius dan menggairahkan. Dalam kehidupan homo sapiens terkini, era baru yang dimaksud adalah pergeseran besar-besaran dari masyarakat tradisional menuju masyarakat yang super modern. Saya melihat ini dari sudut yang paling jauh berkaitan dengan penemuan manusia. Manusia purba perlu sejuta tahun untuk menemukan api lalu kemudian kaget dengan panasnya api. Perlu ribuan tahun untuk membuat mesin percetakan, ratusan tahun untuk menyusun teleskop, kemudian membuat mesin uap dan berganti ke pesawat ruang angkasa. Elon Musk bahkan sudah ingin migrasi ke Mars. Satu yang pasti, perubahan itu sendiri. Manusia terus mencari dan mencari, beradaptasi dan beradaptasi dan pada akhirnya terus berevolusi.
Di laptop yang sama yang saya gunakan untuk masuk ke ruang kelas modern dan mengisi daftar hadir, saya membaca artikel filsafat yang menyoal tentang posthumanisne atau pascamanusia. Sebuah telaah filsafat tentang manusia masa depan yang berbarengan dengan diskursus mengenai standar etika dan nilai, sistem sosial dan komunikasi trans-spesies dan dampak yang timbul akibat kemajuan sains dan teknologi. Postmodernisme, transhumanisme dan isme-isme lain yang membicarakan tentang kemajuan manusia dan teknologinya. Semua sudah dimulai dan kita sedang menjadi pemeran di dalamnya.
Kemajuan ini menghasilkan konsekuensi linier yang begitu kompleks, menghasilkan dua sisi tajam, manfaat praktis dan disrupsi nilai. Manfaat praktis seperti kemudahan yang sangat dekat dengan manusia. Banyak sekali aplikasi di gawai kita yang tentu memudahkan semua aktivitas. Google, WhatsApp, Instagram, Tik Tok, Zoom, Facebook dan sebagainya adalah beberapa contoh kecil. Bersama dengan kecerdasan buatan seperti vitur Open AI, semuanya betul-betul melahap manusia menuju ketergantungan global hidup manusia terhadap teknologi.
Sisi tajam lainnya, disrupsi nilai di mana kita kehilangan makna atas banyak hal dalam kehidupan ini. Kapan terakhir kita duduk merenungkan betapa ajaibnya hidup ini? Betapa kompleksnya manusia melebihi apapun, sehingga semua ilmu pengetahuan muncul untuk mencari tau jawaban atas pertanyaan siapa manusia sebenarnya. Agama, datang menjadi alternatif yang menjawab pertanyaan itu. Tetapi ada berapa banyak agama yang ada di dunia? Semua begitu kompleks sampai membuat kita lupa bercermin dan kembali merenungkan pertanyaan siapa manusia sebenarnya. Bagaimana dengan nilai yang lain, seperti moral dan etika yang saat ini ikut tergerus. Menjadi perenungan bersama: apakah kita akan membiarkan itu semua?
Phanta Rei, semua berubah dan tidak ada yang tinggal tetap. Que Sera, Sera; apapun yang terjadi, terjadilah. Dalam perubahan yang terus terjadi, saya merasa kita tidak boleh kehilangan setiap nilai yang telah terlebih dahulu ada. Gunanya adalah untuk tetap memastikan bahwa kita masih menjadi manusia sadar dan paham atas kehidupan ini. Semua kemudahan itu jangan sampai menjeremuskan kita kepada palung kejatuhan. Era baru terus berjalan, tapi perlu diingat bahwa perubahan di era baru ini selalu menimbulkan dua sisi tajam, manfaat dan masalah. Ada yang menarik dari kuliah pagi tadi oleh dosen saya di ruang kelas modernya, ujarnya “yang terpenting adalah untuk tetap memanusiakan manusia”.
Tulisan ini bukan kesimpulan, ruang diskusi diperlukan untuk menambah premis-premis yang lebih kuat dan mencapai konklusi yang tepat. Kalau ada salah kata dan makna, silakan hubungi saya. Sapera Aude!