Oleh: Nurjannah
Pendidikan tinggi memegang peranan strategis dalam memajukan ilmu pengetahuan dan melahirkan insan-insan intelektual. Dalam penyelenggaraannya melekat misi pembangunan manusia sesuai dengan cita-cita luhur dalam pembukaan UUD 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Alur perjalanan pendidikan tinggi Indonesia hingga saat ini cukup berliku. Sejumlah gagasan silih berganti memayungi tata kelola perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi. Ihwal tersebut cukup menyita perhatian utamanya dalam satu dekade terakhir.
Di awal kemerdekaan, kondisi negara yang belum stabil praktis membuat program pembangunan termasuk penataan sistem pendidikan tinggi terbengkalai. Undang-undang No. 4 Tahun 1950 Tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang merupakan tonggak pertama pembangunan pendidikan di Indonesia, nyatanya belum mengatur tata kelola penyelenggaraan perguruan tinggi. Pada tahun 1961 barulah disahkan Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi.
Kekangan NKK/BKK
Intervensi pemerintah ke dalam lingkungan perguruan tinggi kemudian terjadi pada tahun 1978. Di tengah gejolak pergerakan mahasiswa yang menentang rezim Soeharto, diberlakukan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan atau yang lebih dikenal dengan NKK/BKK. Kebijakan NKK ini dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978. Konsep tersebut bertujuan mengarahkan mahasiswa agar terfokus pada kegiatan akademik dan menjauhkannya dari aktivitas politik.
Konsep NKK yang diberlakukan membuat Lembaga Dewan Mahasiswa dibekukan. Sebagai gantinya dibentuk struktur keorganisasiaan baru yakni BKK yang dipimpin oleh dosen. Hal ini berlandaskan SK Menteri P&K No.037/U/1979 dan berujung pada aturan yang mengharuskan penataan ulang lembaga kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi. Akibatnya peran organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan konsolidasi pergerakan menjadi lumpuh. Aparat mengawasi gerak-gerik mahasiswa sehingga mahasiswa tidak dapat bergerak bebas untuk menyuarakan aspirasinya.
Maret 1989, di tengah pergerakan mahasiswa yang dilakukan secara diam-diam guna menghindari tindakan represif pemerintah, disahkan Undang-undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pemberlakuan undang-undang ini sekaligus menghapus UU No. 4 Tahun 1950 Tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah dan Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi. Keduanya dinilai tidak mencerminkan kesatuan sistem pendidikan dimana penjenjangan pendidikan tidak terintegrasi secara utuh. Dua tahun berselang sebagai ganti penjabaran lebih lanjut tentang pendidikan tinggi disahkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi.
Intervensi pemerintah pada tata organisasi kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi kemudian berakhir di tahun 1998 bersamaan dengan lengsernya Presiden Soeharto dan dimulainya reformasi yang dimotori oleh para aktivis mahasiswa. Sebelum mundur sebagai presiden, Soeharto sempat menetapkan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi. Salah satu poin penting dalam perubahan tersebut adalah pencabutan larangan pihak asing untuk berperan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Status Badan Hukum
Juni 1999, dibawah pemerintahan BJ Habibie, pemerintah mengeluarkan gagasan yang lebih mutakhir lewat Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 Tentang Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Penetapan status tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas perguruan tinggi guna mendorong daya saing nasional. Tajamnya persaingan dunia internasional di tengah arus globalisasi kala itu membuat pemberian otonomi kepada perguruan tinggi sebagai suatu jawaban.
Lewat PP No. 61 Tahun 1999, perguruan tinggi diberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Langkah ini diambil sekaligus untuk mengakomodir lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri itu, khususnya sifat non-profit perguruan tinggi yang notabene sebelumnya berstatus sebagai badan usaha. Di awal keluarnya dua peraturan pemerintah tersebut, tercatat empat perguruan tinggi ditetapkan sebagai contoh perguruan tinggi BHMN. Diantaranya Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, serta Institut Pertanian Bogor.
Empat tahun kemudian status BHMN ini mendapat penguatan lewat keluarnya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini tertuang dalam pasal 53 ayat (1) yang menyebutkan bahwa; “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Sekitar tahun 2003-2006, sejumlah perguruan tinggi pun menyusul berganti status menjadi BHMN. Diantaranya, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 juga muncul agenda pemerintah untuk menguatkan status badan hukum pada perguruan tinggi dengan membuat undang-undang tersendiri. Antusiasme ini nampak pasal 53 ayat (4) sebagaimana yang tertulis bahwa; “ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dalam undang-undang tersendiri”. Akhirnya pada Januari 2009 sebagai bukti tindak lanjut dari pasal tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Dalam UU BHP ini tiap satuan pendidikan formal disamping juga perguruan tinggi, berstatus badan hukum.
Januari 2010, UU BHP ini kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Terkhusus mengenai tata kelola perguruan tinggi dalam peraturan pemerintah ini tidak diatur sebab telah cukup diakomodir dalam UU BHP. Hal tersebut kemudian berdampak pada kekosongan hukum terkait tata kelola perguruan tinggi pasca UU BHP dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, dua bulan setelah PP No. 17 Tahun 2010 keluar.
Menindaklanjuti kekosongan hukum tersebut pemerintah pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 Tahun 2010. Status perguruan tinggi diubah menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum. Berlakunya peraturan pemerintah tersebut tidak menggantikan PP No. 61 Tahun 1999 sehingga status BHMN yang telah diberikan sebelumnya pada sejumlah perguruan tinggi tidak dicabut.
Era PTNBH
Dua tahun kemudian muncul Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi atau UU Dikti. Undang-undang ini mengatur empat jenis kelembagaan dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Pertama sebagai Satker Kemendikbud, perguruan tinggi negeri sebagai yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), dan perguruan tinggi swasta sesuai dengan jenis badan hukum pembentukannya. Adapun untuk pemberian status PTNBH diberikan secara selektif sesuai syarat yang ada dalam UU Dikti.
Berlakunya PTNBH membuat perguruan tinggi mendapatkan otonomi akademik dan non-akademik. Termasuk memungkinkan perguruan tinggi mengelola keuangannya secara mandiri. Presiden BEM Fakultas Hukum Unhas, Dhian Fadlan menyatakan bahwa status badan hukum yang praktis memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam UU Dikti ini mengurangi peran pemerintah dalam pengeloaan dan pencarian dana, karena hal tersebut akan diselenggarakan oleh masing-masing perguruan tinggi. “Padahal, seharusnya pemerintah tidak serta merta lepas tangan terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,” tambahnya.
Di lain pihak Sirajuddin S.H, Mantan Presiden BEM FH-UH Periode 2010-2011 pun menegaskan bahwa berlakunya PTNBH pada perguruan tinggi tidak menghilangkan peran pemerintah begitu saja. “Ada anggaran sekitar 30% yang disediakan oleh pemerintah dalam APBN untuk pendidikan” jelasnya. Namun laki-laki yang akrab disapa Sira itu juga menambahkan bahwa jika hal tersebut tidak diterapkan oleh pemerintah maka yang jadi sasaran adalah mahasiswa, dalam bentuk kenaikan biaya kuliah tentunya. “Apalagi ketika manajemen keuangannya tidak berlangsung dengan baik, investor tidak ada, maka dana hanya berasal dari mahasiswa saja,” ungkapnya.
Menurut Sira, Undang-undang Dikti ini sama saja dengan BHP. Isinya sama namun sampul yang berbeda. “Dampak positif dari Undang-undang ini adalah mahasiswa, dosen dan pengelola kampus dituntut untuk lebih kreatif mengelola keuangannya sendiri dan sisi negatifnya jika dari pengelola kampus tidak berhasil mengelola keuangannya, maka otomatis fokus sasarannya adalah mahasiswa,” tambahnya.
Substansi UU Dikti yang tidak berbeda dengan UU BHP tersebut pun menjadi salah satu dasar sejumlah mahasiswa Universitas Andalas mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Dikti pada pertengahan 2013 lalu. Namun pada 12 Desember 2013, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tersebut.
Kendati menuai protes dari sejumlah kalangan utamanya mahasiswa, beberapa perguruan tinggi yang dulunya BHMN telah melenggang berubah status menjadi PTNBH. Diantaranya;
1. Institut Teknologi Bandung, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2013.
2. Universitas Gadjah Mada, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2013.
3. Institut Pertanian Bogor, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013.
4. Universitas Indonesia, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013.
Tiga perguruan tinggi BHMN lainnya menyusul selanjutnya.
Wacana bahwa Universitas Hasanuddin juga akan turut dijadikan sebagai PTNBH semakin mencuat. Hal ini membuat BEM dan Senat Mahasiswa Unhas mengadakan beberapa kajian mengenai PTNBH dan membuat suatu bentuk penolakan terhadap PTNBH. “Pada tanggal 9 Juni lalu kami dari Aliansi Unhas Bersatu terdiri atas beberapa BEM dan Senat Mahasiswa Unhas menandatangani tuntutan yang menolak diberlakukannya PTNBH di Unhas berdasarkan beberapa kajian yang kami lakukan selama tiga bulan lebih,” jelas Dhian.