web analytics
header

Sebab Kita Punya Satu Musuh Utama, Namanya Tuhan Manusia

Ilustrasi: Tim Eksepsi

Oleh: Ahkamul Ihkam Mada

(Pengurus LPMH-UH Periode 2022/2023)


Tulisan singkat ini mulai tersingkap di kepala untuk sedikit demi sedikit dikerjakan ketika saya mengikuti salah satu materi di kegiatan BEM FMIPA UNHAS. Ryan Akmal Suryadi pematerinya, datang terlambat, dengan baju kaos afterwash memasuki ruangan.

“Keren sepatunya anj*r,” bisik salah satu teman di samping saya.

Kala itu yang saya pikirkan dalam hati hanya jam tidur yang akan terpotong karena pematerinya datang terlambat.

Singkat cerita materi dimulai, Ryan terlihat berbicara dengan panitia sambil mengotak-ngatik laptop dan menyiapkan materi yang akan dibawakan. Tak masuk akal, proyektor memancarkan biasan cahaya merah dan hitam. Ternyata materi hari ini dibuka dengan album Abdi Lara Insani dari Feast.

Sebelumnya, lagu Feast yang saya tahu cuma peradaban dan berita kehilangan. Kantuk yang sebelumnya menyerang, berubah jadi keinginan untuk sok tahu jadi pendengar musik yang kata vokalisnya (jangan tersinggung abang) adalah band terkeras di Indonesia. Padahal sebagai awam saya tahu kalau semua musik sama saja.

Akan sangat panjang tulisan ini nantinya jika saya menceritakan kekaguman yang tidak dilebih-lebihkan yang dirasakan sebagian peserta (termasuk saya) pada saat itu. Singkatnya, seumur-umur, materi kali ini yang paling keren. Pembawaan dan muatan materinya berbobot dan tidak bikin ngantuk.

Inti dari materi saat itu ada di tulisan Ryan yang berjudul “Matinya Mahasiswa”.

Sederhananya begini…

Bayangkan kalian (yang sedang membaca tulisan ini) kembali di posisi awal sebagai mahasiswa baru. Gila bukan? Masuk kampus impian, almamater yang kalian cita-citakan. Apalagi saat dikunjungi alumni yang sudah jadi “orang”. Makin bangga rasanya jadi mahasiswa di sini. Kebanggaan itu bertambah ketika kita dapat penjelasan atau sepertinya lebih cocok disebut doktrin dari dosen (mantan aktivis katanya dulu) dan senior.

“Kalian ini adalah mahasiswa… Maha–Siswa”

Tahu kenapa ada maha dan bukan cuma siswa yang disematkan ke mereka yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi?

Karena kita lebih daripada siswa. Kita adalah agent of change, social control, iron stock, moral force, penyelamat bumi, BoBoiBoy. Kita ada di puncak rantai makanan. Eh, puncak, puncak itulah pokoknya. Pokoknya respectlah buat kita.

Kira-kira begitu kebanggaan kita semua dulu saat jadi mahasiswa baru di kampus impian.

Nah, sekarang coba bayangkan lagi, jika kita sebagai mahasiswa menyabet gelar sebanyak dan sekeren itu, lantas jadi apa kita setelah sudah tidak berstatus sebagai mahasiswa?

“Ya jadi orang-lah… kan kita belajar… kita banyak dapat pengalaman di kampus, siap masuk dunia kerja pas lulus, sudah jadi stok pemimpin masa depan lah pokoknya!”

Lol…

Fana…

Utopis…

Pernah tidak kalian mendengar kata-kata seperti ini, “idealis sekali kalian… iyalah karena belum masuk di sistem… nanti kalau sudah masuk di sistem baru rasa”

Terdengar familiar?

Yap, beberapa kakanda kita yang sudah meninggalkan idealismenya sering bilang begitu.

Lantas mengapa ini bisa terjadi?

Mengapa momen saat menjadi mahasiswa yang selama ini dianggap adalah masa memupuk kader-kader terbaik bangsa nantinya justru saat jadi pemimpin malah lebih mengecewakan daripada pemimpin sebelumnya?

Jawabannya karena kita terlalu “mengkultuskan” status kemahasiswaan itu.

Baca buku 1.. 2.. 3 sudah jadi filsuf.

Belajar hukum tiba-tiba ini salah itu salah.

Padahal konsep ideal pembagian nilai juga tidak melulu soal benar salah.

Demo sekali tiba-tiba jadi aktivis gerakan mahasiswa.

Rapatkan barisan petir di kepalan tangan… pret.

Barisan kalian hanya dapat bertahan dalam waktu maksimal 7 tahun saja (untuk Maba Unhas 2023 tinggal 5 Tahun).

Oleh karena itu, mungkin sekarang saatnya untuk menanggalkan kebanggaan terhadap jubah merah, orange, kuning, hijau, abu, biru, dll itu.

Saatnya mengubah gerakan suci mahahaha-siswa kalian jadi gerakan manusia. Sebab saat manusia bergerak ia tak akan pernah mati. Gugat “tuhan manusia” yang ada di ujung sana, hancurkan tahtanya dan ubah dunia jadi milik semua orang.

Tidak ada salahnya bangga jadi mahasiswa, tapi lebih banggalah saat bisa benar-benar menjadi manusia yang saling merayakan kebebasan dan perjuangan masing-masing. Sebab yang membuat kita semua berbeda hanyalah bendera fana yang kita buat sendiri.

Mardaheka!

Opini ini tidak mewakili pandangan redaksi Eksepsi

Related posts: