Penulis: Rastiawaty (Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Baru-baru ini, media sosial riuh oleh perbincangan terkait produk skincare yang diduga melakukan overclaim atau klaim berlebihan. Sorotan tajam ini bermula dari konten edukasi seorang dokter anonim di TikTok, melalui uji laboratorium, mengungkapkan beberapa produk skincare ternama memiliki kandungan yang tidak sesuai dengan labelnya. Hasilnya, produk yang dijanjikan akan memberikan efek wajah putih dan glowing ternyata menipu konsumen, khususnya perempuan yang menjadi target utama produk-produk ini. Fenomena ini menggugah kesadaran masyarakat untuk lebih kritis terhadap klaim kecantikan dan menuntut adanya transparansi dalam industri kosmetik.
Mengapa produk skincare ini dapat memikat konsumen dengan begitu mudah? Bagaimana fenomena overclaim ini terjadi tanpa pengawasan ketat? Bagi banyak perempuan di Indonesia, produk kecantikan tak hanya soal tren, tetapi juga cara cepat untuk tampil menawan, meningkatkan kepercayaan diri, dan memenuhi harapan sosial. Iklan yang menjanjikan hasil instan menjadi daya tarik utama, namun banyak konsumen tak menyadari bahaya jangka panjangnya. Dalam konteks ini, perlindungan hukum yang tegas dan edukasi yang efektif sangat dibutuhkan agar perempuan terhindar dari risiko kesehatan serta kerugian finansial akibat overclaim. Bagaimana regulasi di Indonesia merespons masalah ini, dan apa langkah yang harus diambil agar konsumen, khususnya perempuan, lebih terlindungi?
Fenomena skincare overclaim telah menjadi sorotan publik di Indonesia, terutama karena mayoritas penggunanya adalah perempuan. Produk-produk ini kerap kali menjanjikan hasil yang berlebihan, seperti perubahan kulit menjadi cerah dalam hitungan hari atau efek instan lainnya yang tampak mustahil tanpa risiko. Fakta ini menjadi awal kekhawatiran karena produk skincare tidak hanya soal kecantikan, tetapi juga kesehatan, terutama jika produk yang digunakan mengandung bahan yang tidak sesuai labelnya. Tanpa pengawasan ketat, fenomena ini terus berlanjut dan semakin berkembang melalui media sosial, yang menjadi media efektif bagi produsen untuk menarik konsumen tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Realitas yang semakin berkembang dalam masyarakat tidak terlepas dari pendekatan kausalitas yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab sehingga fenomena ini terjadi. Pertama, adanya permintaan pasar yang tinggi terhadap produk kecantikan dengan efek cepat membuat produsen berlomba-lomba menarik perhatian publik dengan klaim yang cenderung menyesatkan. Kedua, lemahnya pengawasan regulasi terhadap iklan produk skincare di media sosial memungkinkan produsen beriklan secara bebas, bahkan tanpa dasar ilmiah yang kuat. Selain itu, pemahaman konsumen, terutama perempuan, tentang kandungan yang benar-benar dibutuhkan oleh kulit mereka masih rendah, membuat mereka mudah tergoda oleh klaim yang menjanjikan hasil instan.
Indonesia sebenarnya memiliki regulasi yang dapat melindungi konsumen dari iklan yang menyesatkan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara jelas melarang pelaku usaha untuk menawarkan produk yang tidak sesuai dengan informasi sebenarnya. Selain itu, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika mengatur bahwa setiap produk kosmetik harus mematuhi standar keamanan dan tidak boleh mengandung bahan yang berbahaya. Meski begitu, implementasi aturan ini masih lemah, terutama dalam pengawasan iklan digital yang terus berkembang pesat. Tanpa pengawasan dan sanksi tegas, produk-produk yang melanggar ini sulit untuk ditindak, sehingga konsumen, khususnya perempuan, tetap rentan menjadi korban.
Berkaca pada negara-negara lain, Inggris melalui Advertising Standards Authority (ASA) memberikan contoh penegakan aturan yang tegas terkait iklan yang menyesatkan. ASA memiliki regulasi ketat yang memastikan semua iklan produk, terutama kosmetik, harus berdasarkan bukti ilmiah yang transparan. Apabila ditemukan pelanggaran, iklan akan segera ditarik, dan produsen akan dikenakan denda atau larangan beriklan. Regulasi seperti ini memberikan perlindungan efektif bagi konsumen sekaligus mendisiplinkan pelaku industri agar lebih berhati-hati dalam menyusun klaim produk mereka. Indonesia dapat belajar dari model ini untuk menciptakan sistem pengawasan yang lebih kuat dalam melindungi konsumen.
Tidak hanya regulasi, edukasi konsumen juga menjadi kunci penting dalam melindungi perempuan dari dampak negatif skincare overclaim. Edukasi yang kuat tentang produk skincare dapat membantu konsumen lebih memahami kandungan apa yang dibutuhkan kulit mereka dan mengenali klaim yang berlebihan. Salah satu langkah edukasi yang bisa diambil adalah dengan menyebarkan informasi yang benar melalui program-program BPOM atau lembaga lainnya, khususnya di media sosial. Dengan edukasi yang tepat, konsumen akan lebih kritis dan dapat memilih produk dengan bijak, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh iklan yang menyesatkan.
Selain itu, tanggung jawab produsen dan pemilik platform media sosial juga harus diperkuat. Produsen harus lebih transparan dalam menginformasikan kandungan dan efek produknya, sedangkan platform media sosial perlu memiliki aturan yang jelas untuk mengendalikan iklan skincare yang melanggar etika. Keterlibatan kedua pihak ini dalam mengawasi iklan produk kecantikan akan memperkuat perlindungan konsumen, khususnya perempuan, sekaligus mendorong industri kecantikan untuk beroperasi dengan lebih etis dan bertanggung jawab.
Dalam hal ini, perlindungan perempuan terhadap produk skincare overclaim tidak hanya membutuhkan regulasi yang kuat, tetapi juga pengawasan dan komitmen dari berbagai pihak. Pemerintah, produsen, dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam mengurangi dampak buruk dari fenomena ini. Dengan kerjasama yang kuat, perlindungan konsumen perempuan dapat ditingkatkan, mencegah mereka dari risiko kesehatan, dan menciptakan industri kecantikan yang lebih aman dan terpercaya.
Skincare overclaim bukan hanya persoalan klaim yang menyesatkan, tetapi juga persoalan perlindungan konsumen, khususnya perempuan, dari dampak kesehatan dan finansial yang mungkin timbul. Di tengah pesatnya perkembangan industri kecantikan, kebutuhan akan regulasi yang kuat dan pengawasan yang efektif menjadi semakin mendesak. Edukasi konsumen, terutama perempuan, harus menjadi prioritas agar mereka lebih kritis dalam memilih produk dan memahami risiko jangka panjang dari penggunaan produk yang tidak sesuai klaim.
Pemerintah, melalui BPOM dan institusi terkait, perlu memperkuat pengawasan dan menerapkan sanksi yang tegas bagi pelaku usaha yang melakukan overclaim, sementara platform media sosial harus bertanggung jawab dalam mengendalikan iklan-iklan yang tidak etis. Dengan membangun kerjasama yang solid antara pemerintah, produsen, dan masyarakat, industri kecantikan di Indonesia dapat berkembang dengan lebih bertanggung jawab dan transparan.
Pada akhirnya, melindungi perempuan dari skincare overclaim adalah bagian dari upaya menciptakan lingkungan yang aman dan adil, di mana konsumen dapat mempercayai produk yang mereka gunakan tanpa risiko tersembunyi.