Makassar, Eksepsi Online (22/11) – Program Pembinaan Mahasiswa Hukum Tahap Dua Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (PMH-II FH-UH) memicu kontroversi. Peserta mengeluhkan berbagai hal, mulai dari ketidaktransparanan penilaian, dugaan kekerasan fisik dan psikis, hingga perlakuan yang dinilai tidak adil selama kegiatan.
Sejumlah peserta mempertanyakan perihal ketidaktransparanan penilaian pada PMH 2. Mereka membandingkannya dengan PMH 1 yang menyediakan Forum Evaluasi hasil.
“Banyak teman saya tidak lulus tanpa alasan jelas, meskipun semua tugas telah diselesaikan,” ungkap salah seorang peserta PMH-II.
Tidak hanya itu, muncul dugaan kekerasan selama kegiatan. Salah satu peserta mengaku diminta melakukan gerakan fisik memberatkan, seperti squat dengan tangan terangkat. Ia juga menyebut adanya kontak fisik, meski korban memilih tidak memperpanjang masalah. Peserta juga mengeluhkan tugas tambahan yang membingungkan, seperti pengumpulan di lokasi berbeda pada waktu tidak wajar, termasuk tengah malam.
“Kami tetap dinyatakan tidak lulus meski sudah menyelesaikan tugas tambahan.”
Ketua Angkatan 2022, Muh. Noer Arrijalu, memberikan klarifikasi atas keluhan tersebut. Ia menyatakan bahwa kegiatan fisik seperti peregangan tangan dan permainan “ular-ular” bertujuan untuk membangun kebersamaan, bukan bentuk hukuman.
“Game ini hanya untuk kesenangan, bukan tekanan,” jelasnya.
Ia juga membenarkan bahwa beberapa tugas peserta dirobek karena ditemukan indikasi plagiarisme.
“Kami mengecek tugas tersebut, dan peserta mengakui plagiarisme. Ini tindakan tegas untuk mendidik,” tambahnya.
Menurut Arrijalu, aspek etika menjadi komponen utama dalam menentukan kelulusan. Pelanggaran seperti bahasa kasar atau ketidakpatuhan terhadap tata tertib berdampak langsung pada nilai. Ia juga mengakui adanya revisi Surat Keterangan Lulus (SKL) setelah Forum Pertanggungjawaban. Beberapa peserta yang awalnya lulus dinyatakan tidak lulus karena pelanggaran etika yang teridentifikasi belakangan.
Meski Forum Pertanggungjawaban telah diadakan, peserta merasa forum tersebut tidak memberikan solusi memadai, terutama terkait perubahan status kelulusan.
“Enam orang yang awalnya dinyatakan lulus kemudian dinyatakan tidak lulus. Ini membuat kami merasa diperlakukan tidak adil,” tutur seorang peserta.
Sejumlah peserta juga telah menunjukkan video dan bukti lain yang mendukung dugaan perpeloncoan.
Saat ini, panitia sedang mengidentifikasi peserta yang mengalami perlakuan tidak semestinya.
Menanggapi laporan ini, Dekan FH-UH menyatakan keseriusannya untuk mengevaluasi pelaksanaan PMH. Ia meminta peserta menyampaikan bukti tambahan, termasuk dokumentasi dan kronologi kejadian. Dekan berencana mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan PMH untuk memastikan program ini berjalan sesuai dengan nilai profesionalisme dan keadilan di masa depan. (Ski)