Makassar, Eksepsi Online (19/12) – Setiap tahunnya, pemberantasan korupsi di Indonesia selalu menghadapi tantangan. Menyikapi hal tersebut, Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Garda TIpikor FH-UH) yang bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FH-UH, Forum Mahasiswa Hukum Administrasi Negara (Formahan) FH-UH, dan Bengkel Seni Dewi Keadilan (BSDK) FH-UH menggelar aksi dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) tahun 2024 di Fly Over A.P. Pettarani, Makassar pada Senin (9/12).
Dalam rilis resminya, Garda Tipikor FH-UH mengkritisi berbagai persoalan yang berkaitan dengan pelemahan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lama menjadi garda terdepan dalam memerangi korupsi, efektivitas lembaga ini dinilai mengalami penurunan akibat berbagai kendala, termasuk keterbatasan wewenang, rendahnya profesionalitas, serta intervensi politik yang melemahkan independensinya.
Rilis tersebut memberikan pemaparan bahwa budaya hukum yang lemah ikut berperan dalam memperburuk situasi penanganan tindak pidana korupsi, di mana diperkuat dengan stagnasi data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, yang sejak tahun 2022 hingga 2024 berada di angka 34, setelah sebelumnya mencapai puncaknya pada 2019. Penurunan ini mengindikasikan lemahnya penegakan hukum dan rendahnya akuntabilitas lembaga pemerintahan.
Aksi ini juga menjadi sarana untuk menyikapi bagaimana upaya pemerintah dalam mendukung pemberantasan korupsi. Publik menilai Presiden Joko Widodo gagal menguatkan agenda anti-korupsi di akhir masa jabatannya.
Garda Tipikor FH-UH menyebutkan bahwa fokus pemerintah sebelumnya lebih pada pemenuhan kepentingan politis ketimbang pembenahan legislasi, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dan RUU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kurangnya pengawasan terhadap KPK dan lemahnya sikap terhadap konflik kepentingan, termasuk kasus korupsi yang melibatkan sejumlah menteri, ikut serta memperburuk situasi pemberantasan korupsi selama 1 dekade pemerintahan Joko Widodo.
Aksi ini juga menjadi pengingat atas janji-janji komitmen yang telah disampaikan presiden baru terpilih, Prabowo Subianto. Dalam berbagai pernyataannya, Presiden Prabowo menyebutkan bahwa korupsi adalah musuh utama bangsa yang tidak boleh ditoleransi dalam bentuk apapun. Ia berkomitmen untuk menindak tegas pejabat yang terlibat korupsi tanpa pandang bulu. Presiden juga berencana mengalokasikan anggaran khusus untuk pelacakan, penangkapan, dan penuntutan koruptor, serta pemulihan aset negara yang telah dicuri.
Tidak hanya itu, Presiden Prabowo berencana untuk membentuk pasukan khusus dengan keahlian tinggi guna menangani kejahatan kerah putih. Langkah ini diharapkan dapat menekan angka korupsi sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah.
Garda Tipikor FH-UH melalui aksi ini menyampaikan enam tuntutan utama sebagai berikut:
- Percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
- Pencabutan revisi Undang-Undang KPK tahun 2019.
- Penghapusan pengecualian terhadap hukuman mati untuk narapidana korupsi.
- Penghapusan remisi bagi narapidana korupsi dalam Undang-Undang Pemasyarakatan.
- Mengecam pernyataan Jonahis Tanak mengenai penghapusan operasi tangkap tangan.
- Menagih komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat KPK.
Selain penyampaian tuntutan, aksi ini juga dimeriahkan oleh serangkaian orasi dan pertunjukan seni dari BSDK FH-UH, yang menyampaikan pesan anti-korupsi melalui bentuk ekspresi kreatif.
Kegiatan ini diharapkan mampu menarik perhatian masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih peduli dan terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. (Tod)