Makassar, Eksepsi Online (08/02) – Warga Bara-Baraya secara resmi melaporkan dugaan tindak pidana pemalsuan keterangan atas akta otentik ke Polda Sulawesi Selatan pada Kamis (06/02). Laporan tersebut didasarkan pada putusan Nomor: 2/Pdt.G/2017/PN Mks yang menunjukkan bahwa Nurdin Dg. Nombong dkk menggugat HW, salah seorang warga Bara-Baraya, dalam kasus wanprestasi.
Salah satu warga Bara-Baraya sebut saja Biru, menegaskan bahwa laporan ini diajukan karena warga mengalami kendala dalam peningkatan hak atas tanah akibat munculnya sertifikat pengganti pada 2016.
“Pihak Kepolisian menerima laporan kami, setidaknya ketika Warga ingin melakukan peningkatan hak, namun terhalangi dengan adanya Sertifikat pengganti tahun 2016. Sedangkan berdasarkan Sertifikat nomor 4, tanah tersebut sudah habis terjual,” ungkap Biru.
Berdasarkan putusan tersebut, diketahui bahwa warga telah menghadapi ancaman penggusuran sejak 2017. Sebelumnya pada 2013, Nurdin Dg. Nombong melaporkan kehilangan SHM No. 4 yang berlokasi di Kamp Bara-Baraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, dengan luas 32.040 m² atas nama Moedhinoeng Daeng Matika. Pengumuman kehilangan ini sempat dimuat dalam harian Tribun Timur pada 25 Juni 2013, yang menyebutkan bahwa sertifikat hilang pada Juni 2007 di wilayah Kota Makassar.
Laporan kehilangan tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menggugat warga yang telah membeli tanah dengan objek dalam SHM No. 4. Dalam pokok perkara, pengadilan memutuskan bahwa warga yang digugat harus menyerahkan SHM No. 4 tertanggal 26 Juni 1965 kepada Nurdin untuk dikembalikan ke Kantor BPN Kota Makassar dan ditarik dari peredaran.
Namun, fakta terbaru menunjukkan bahwa Nurdin Dg. Nombong telah menjual tanah dengan SHM No. 4. Sengketa ini pun berdampak luas pada warga Bara-Baraya, terutama setelah munculnya sertifikat baru SHM No. 4 pada 2016.
“Ini merupakan indikasi kuat adanya dugaan mafia tanah dalam sengketa lahan Bara-Baraya. Sebetulnya, Nurdin dkk mengetahui dan telah berbohong mengenai kehilangan sertifikat,” jelas Razak, pendamping hukum warga Bara-Baraya.
Berdasarkan fakta tersebut, warga mengajukan laporan dugaan pemalsuan keterangan akta otentik ke Polda Sulsel dengan merujuk pada Pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyatakan:
“Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam sesuatu akta otentik tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan hal sebenarnya, jika dalam mempergunakannya dapat mendatangkan kerugian, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Dengan adanya laporan ini, warga berharap posisi hukum mereka semakin kuat. Laporan pidana ini juga menjadi sinyal bagi Pengadilan Negeri Makassar dan pihak keamanan agar menunda upaya eksekusi atas perkara yang masih dipermasalahkan. Warga menegaskan bahwa kasus yang telah berlangsung selama delapan tahun ini memiliki indikasi rekayasa hukum yang dapat menyebabkan mereka kehilangan hak atas tanah.
Jika eksekusi tetap dilakukan sebelum fakta-fakta terungkap sepenuhnya, sekitar 190 warga Bara-Baraya berpotensi mengalami kerugian besar. Oleh karena itu, hingga ada kejelasan hukum, warga menegaskan bahwa tidak ada dasar kuat bagi Pengadilan Negeri Makassar untuk melakukan penggusuran. (Tod)