Makassar, Eksepsi Online – (12/03) Sidang gugatan perlawanan eksekusi antara Warga Bara-Baraya sebagai penggugat melawan Itje Siti Aisyah sebagai terlawan eksekusi berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Selasa (11/03). Sidang yang dijadwalkan dimulai pukul 13.00 WITA sempat tertunda lantaran pihak tergugat belum hadir di persidangan.
Di sisi lain, sempat terjadi penutupan akses masuk bagi warga Bara-baraya yang ingin menyaksikan jalannya oleh pihak pengamanan PN Makassar. Setelah dilakukan diskusi antara warga dan pihak keamanan, warga akhirnya diperbolehkan masuk untuk mengikuti jalannya sidang.
Dalam persidangan, Majelis Hakim memeriksa isi gugatan dan mencocokkan identitas pihak dalam perkara. Fakta baru terungkap, yakni adanya dua tanda tangan berbeda yang mengatasnamakan Itje Siti Aisyah.
“Jika dibandingkan antara dokumen yang berkaitan dengan Itje St. Aisyah yang ada di kami, khususnya mengenai tanda tangannya, dengan tanda tangan yang tertera dalam surat kuasa yang diperlihatkan tadi dalam persidangan, itu sangat jauh berbeda, sama sekali tidak identik,” ungkap Muhammad Ansar selaku kuasa hukum Warga Bara-baraya.
Sidang yang berkaitan dengan perkara asal No. 239/PDT.G/2019/PN MKS ini tidak dihadiri langsung oleh Itje Siti Aisyah selaku terlawan eksekusi. Dalam persidangan, ia hanya diwakili oleh kuasa hukum, Agusta R. Lasompuh, S.H., M.H.
Menurut Ansar, kejanggalan terkait tanda tangan dalam surat kuasa tersebut memperkuat dugaan adanya praktik mafia tanah dalam konflik yang berkepanjangan ini.
“Kami menduga kuat bahwa yang membubuhkan tanda tangan dalam surat kuasa bukanlah Itje St. Aisyah. Sejak awal, dalam proses gugatan derden verzet pada 2022 lalu, ia tidak pernah muncul dalam persidangan,” tambahnya.
Gugatan ini berangkat dari permohonan eksekusi yang diajukan oleh Itje Siti Aisyah, yang ditentang oleh warga dan Aliansi Bara-baraya. Dalam gugatan yang didampingi oleh LBH Makassar, warga menguraikan beberapa fakta dan dalil hukum bahwa Itje Siti Aisyah tidak memiliki hak sah sebagai pemohon eksekusi.
Diketahui, berdasarkan penetapan Pengadilan Agama Makassar, penggugat dalam perkara asal merupakan ahli waris sah dari Modhinoeng Dg. Matika, sedangkan Itje Siti Aisyah memiliki garis keturunan yang berbeda. Selain itu, dalam perkara tahun 2019, hanya Nurdin Dg. Nombong yang bertindak sebagai penggugat tanpa mewakili ahli waris lain dari Modhinoeng Dg. Matika.
Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 833 dan Pasal 832 KUHPerdata, Itje Siti Aisyah dianggap tidak memiliki hak untuk mengajukan permohonan eksekusi atas perkara tersebut.
Ketidakhadiran Itje Siti Aisyah dalam setiap persidangan, ditambah dengan temuan perbedaan tanda tangan semakin memperkuat dugaan praktik mafia tanah dalam konflik ini. Sejak gugatan pertama diajukan pada 2017, tidak pernah ada kehadiran langsung dari pihak yang bersangkutan dalam persidangan.
Dugaan ini semakin diperkuat dengan adanya laporan pidana yang telah dilayangkan oleh warga di Polda Sulawesi Selatan. Laporan tersebut diharapkan dapat membuka fakta baru yang mengarah pada pembuktian bahwa Warga Bara-baraya adalah pemilik sah atas tanah yang menjadi sengketa.
“Kami tidak akan pernah menyerah untuk mencari bukti baru. Tanah ini sudah kami beli dan kami tinggali selama puluhan tahun. Kami tidak akan mundur meski sejengkal tanah pun. Majelis harus adil dalam memutus perkara, termasuk aparat kepolisian lebih serius mengusut dugaan mafia tanah,” tegas Andarias, salah satu warga Bara-baraya.
Warga Bara-baraya tetap berkomitmen untuk memperjuangkan hak atas tanah mereka dan menuntut transparansi dalam proses hukum yang berjalan. (Tod)