web analytics
header

Sinergikan suara: LBH Makassar Bersama LPMH-UH, HLSC, dan BEM FH-UH Gelar Forum Diskusi RKUHAP

Sumber: Dokumentasi Panitia Pelaksana

Makassar, Eksepsi Online — (30/07) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menggelar Forum Diskusi Publik bertemakan “Menguatnya Praktik Otoritarianisme melalui Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP)” pada hari Senin (28/07) di Kawasan Danau Universitas Hasanuddin (Unhas).

Diskusi ini merupakan kolaborasi antara LBH Makassar, Lembaga Pers Mahasiswa Hukum (LPMH) Unhas, Hasanuddin Law Study Center (HLSC), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) Unhas.

Forum Diskusi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap isi RKUHAP dengan mengidentifikasi pasal-pasal yang bermasalah, melalui perspektif HAM dan prinsip Fair Trial (Pengadilan yang adil). Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran publik akan bahaya otoritarianisme dan mendorong partisipasi aktif masyarakat luas dalam mengawal proses legislasi yang adil, transparan, dan demokratis.

Muhammad Ansar, Praktisi Hukum LBH Makassar membagikan pengalamannya saat menghadapi kasus-kasus pelanggaran hak sipil yang dilakukan oleh aparat. Ia memberi contoh seperti penangkapan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan aksi demonstrasi oleh polisi, dinilai merupakan bentuk tindakan represif dan mengancam demokrasi serta hak asasi manusia (HAM).

Ia juga menyoroti beberapa pasal RKUHAP yang menurutnya problematik, seperti perpanjangan masa waktu penahanan 7×24 Jam, legitimasi penangkapan berdasarkan pertimbangan subjektif aparat, aksesibilitas bantuan hukum yang terbatas pada kasus dengan sanksi pidana 5 tahun ke atas, dan berbagai pasal lain yang berpotensi membahayakan hak-hak sipil.

Menurutnya, RKUHAP merupakan produk hukum yang bukan membawa perubahan ke arah lebih modern, namun justru berbalik arah karena mencerminkan watak kolonial yang tidak relevan dengan kehidupan kini. 

“Secara umum, RKUHAP ini justru produk hukum yang mencerminkan watak kolonial tanpa ada memasukkan prinsip indonesia dan relevansi di kehidupan kini,” tutupnya.

Fajlurrahman Jurdi, selaku Akademisi Hukum, turut serta menyuarakan kritikannya terhadap substansi dari RKUHAP yang dinilai berpotensi menjadi alat pemukul bagi masyarakat yang beroposisi dengan penguasa. Ia juga berpendapat bahwa rumusan pasal-pasal RKUHAP sangat berorientasi pada kekuasaan yang represif dan otoriter. Menurutnya rancangan KUHAP baru ini akan melahirkan sistem hukum yang kasar bukan progresif.

“Pasalnya, banyak rumusan pasal yang dapat menahan kita dengan cara berpikir machstaat (Negara Kekuasaan), bukan rechstaat (Negara Hukum). Hal ini bukan melahirkan sistem hukum yang progresif, namun sistem hukum yang abusive,” ungkapnya.

Forum ini menjadi wadah bagi praktisi dan akademisi hukum, untuk mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap pasal-pasal RKUHAP yang dianggap bermasalah, karena berpotensi membatasi hak sipil dan memfasilitasi pemerintah menuju negara otoritarian.

Tak hanya itu, forum ini dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai himpunan mahasiswa, serikat buruh, dan insan-insan cendekia yang turut serta mengkhawatirkan eksistensi demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Forum ini juga diharapkan dapat menjadi ruang belajar kolektif untuk meningkatkan kesadaran publik dan mewujudkan meaningful participation oleh masyarakat luas. (Mrc)

Related posts:

Penghitung Pengunjung Responsif

Total Pengunjung

...

Kunjungan Unik Hari Ini