Makassar, Eksepsi Online — (17/08) Puluhan warga Bara-Baraya bersama jaringan solidaritas, turun ke jalan menggelar aksi pra sidang keputusan sengketa tanah yang dijadwalkan berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada Kamis, 21 Agustus 2025. Mereka mendesak agar majelis hakim mengambil keputusan murni berdasarkan fakta hukum, bukan kepentingan kelompok tertentu yang mereka sebut sebagai mafia tanah.
Dalam aksi yang dimulai siang hari di depan PN Makassar itu, massa membentangkan spanduk dan poster bertuliskan kecaman terhadap praktik perampasan tanah dan penolakan penggusuran Bara-Baraya. Selebaran yang dibagikan memuat kronik singkat perjuangan warga sejak 2016, ketika akses masuk ke asrama Bara-Baraya mulai dibatasi oleh Kodam XIV/HSN. Puncaknya, pada 2017, terjadi pengosongan lahan dan perumahan warga, yang memicu perlawanan panjang hingga kini.
Warga masih berpegang pada tiga fakta hukum yang mereka klaim membongkar kebohongan di balik gugatan eksekusi:
- Siti Aisyah mengaku tidak tahu-menahu soal gugatan yang diajukan;
- Siti Aisyah tidak memiliki hubungan keturunan langsung dengan Nurdin Dg. Nombong, yang disebut sebagai pemilik awal;
- Tanda tangan dalam surat kuasa berbeda dari yang tertera di KTP, dan Siti Aisyah mengaku tidak pernah menandatangani dokumen tersebut.
Pak Andarias, salah satu warga, dalam wawancara menyatakan bahwa temuan ini jelas membuktikan cacatnya legal standing penggugat.
“Kalau pengadilan menganggap ini wajar, lalu ini pengadilan apa? Fakta hukum harus menjadi dasar putusan. Kalau tidak, warga dipaksa mencari keadilan dengan cara sendiri,” tuturnya
Aksi kali ini juga diwarnai insiden kekerasan. Salah satu petugas PN Makassar diduga melakukan main tangan terhadap demonstran. Tindakan ini memicu ketegangan dan langsung dikecam oleh massa aksi. Andreas, yang turut memimpin aksi, menegaskan bahwa kekerasan ini hanya menambah daftar pelanggaran yang dilakukan aparat dalam konflik ini. Dalam seruan terbuka, warga mengingatkan bahwa kuasa hukum seharusnya berpihak pada kebenaran, bukan menjadi alat mafia tanah. Mereka mempertanyakan dasar keberanian kuasa hukum yang membawa perkara ini ke pengadilan padahal bukti kepemilikan dan surat kuasa diragukan keabsahannya.
Menutup aksi, massa menyerukan ajakan solidaritas kepada seluruh masyarakat, mahasiswa, organisasi rakyat, dan individu yang peduli untuk hadir pada sidang putusan nanti. Mereka bertekad, jika putusan majelis hakim tidak sesuai dengan fakta hukum, aksi yang lebih besar akan kembali digelar.
Pak Andarias juga menegaskan bahwa perjuangan warga tidak akan berhenti pada aksi hari ini. “Kami tunggu putusan tanggal 21 nanti. Kalau ternyata keputusan pengadilan jauh dari kebenaran, warga akan datang lagi dengan jumlah yang lebih banyak. Kami bisa lebih dari ini, karena yang kami perjuangkan adalah hak dan keadilan,” ujarnya menutup pernyataan. (Pqi—Alx)