Oleh: Razha Alfiah Syahrir (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin)
Masyarakat Indonesia tentu sudah tidak asing dengan janji-janji manis tentang “keberlanjutan lingkungan.” Kalimat ini kerap menghiasi panggung debat pemilihan pejabat negara maupun pidato-pidato singkat yang dengan bangga disampaikan hingga forum internasional. Namun, pertanyaan yang selalu tersisa adalah seperti apa sebenarnya pelaksanaan program “keberlanjutan lingkungan” yang katanya mensejahterakan masyarakat, tetapi justru berbalik menyengsarakan masyarakat?
Keserakahan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya alam tanpa memperhatikan keselamatan lingkungan dan masyarakat setempat menjadi bukti nyata pelanggaran hak konstitusional. Pulau-pulau kecil dijadikan lahan tambang nikel atau lokasi pembangunan resort mewah demi pariwisata. Dari Raja Ampat, Pulau Padar, hingga Pulau Pari, yang tersisa hanyalah kerusakan hutan, hilangnya habitat makhluk hidup, dan kesulitan masyarakat lokal untuk sekedar mencari penghasilan.
Indonesia kini menempati posisi kedua sebagai negara dengan kehilangan hutan tropis terbanyak di dunia. Deforestasi besar-besaran, salah satunya akibat pertambangan, menjadikan Indonesia semakin jauh dari predikat ramah lingkungan. Bencana alam seperti banjir dan longsor seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah, tetapi justru hanya “menggelitik” perhatian mereka yang seakan menutup mata. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui seharusnya dikelola dengan hati-hati serta menyeimbangkan keadilan ekologis bagi seluruh makhluk hidup. Sebab, keserakahan hari ini akan menjadi beban berat di masa yang akan datang.
Program “keberlanjutan lingkungan” entah dimaknai seperti apa oleh para penguasa, hanya menyisakan tanda tanya sejauh mana masyarakat akan dibuat sengsara? Masalah lingkungan bukanlah persoalan sebagian orang saja, tetapi persoalan kita semua karena dampaknya pasti akan kita rasakan bersama.