Prof. Dr. H. Aminuddin Salle, S.H.,M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini lahir di Manari-Galesong Kabupaten Takalar, pada tanggal 2 Juli 1948. Menyelesaikan pendidikan Doktor Hukum, pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin pada tahun 1999. Mengikuti Kursus Singkat Angkatan XII LEMHANNAS R.I pada tahun 2004. Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi periode tahun 2004-2008. Serta membina Yayasan Aminuddin Salle (AS) Center yang didirikan pada tahun 2010 hingga saat ini.
Kekerasan yang dilakukan oleh segelintir mahasiswa Makassar serta eksploitasi media massa menjadikan stigma negatif melekat pada pemuda Makassar. Apabila ditelusuri, nyatanya ada nilai kearifan lokal yang begitu dijunjung tinggi Suku Bugis-Makassar, yakni siri’. Siri’ kadang terwujud dengan reaksi “keras” ketika seseorang dipermalukan. Apakah justru kearifan lokal ini yang menjadi pemicu kekerasan di Makassar? Bagaimana seharusnya aktualisasi siri’? Berkaitan dengan hal tersebut, Kru Eksepsi Rezky Pratiwi & Ramli berkesempatan menemui salah satu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. H. Aminuddin Salle, S.H.,M.H. Kru Eksepsi mewawancarai sosok yang kental dengan adat dalam kesehariannya ini di yayasannya, Aminuddin Salle (AS) Center, Senin (06/01).
Sebenarnya seperti apa karakter pemuda Makassar?
Karakter yang paling melekat pada orang Makassar, menurut penilaian orang non-Makassar waktu saya bicara dengan mereka, adalah kesetiakawanan. Sekali dia setia, maka seterusnya dia setia. Prinsip inilah yang kadang-kadang sering disalahgunakan. Padahal setia itu mestinya sepanjang dalam perbuatan baik, idealnya begitu. Jadi ketika suatu saat kawannya menjadi penjahat, kesetiaan seharusnya tidak ada lagi. Tapi ini yang kadang-kadang terlupakan. Banyak orang non-Makassar yang saya temui mengatakan bahwa rata-rata pejabat tinggi menjadikan orang Makassar sebagai teman atau ajudan karena kesetiakawanannya. Setia kawan tanpa syarat. Sejak berteman sampai seterusnya. Itulah yang terjadi di banyak karakter orang Makassar, yaitu kesetiakawanan tanpa syarat.
Apakah watak orang Makassar yang teguh pada prinsip, tegas, bahkan cenderung keras masih ada?
Saya pikir iya. Jadi watak keras, bahkan kadang tanpa kompromi itu masih ada. Tapi menurut Pak Jusuf Kalla, mungkin kerasnya itu bisa dibilang sangat sensitif. Ia menyatakan bahwa orang Makassar itu keras hati. Saya menyadari bahwa, ternyata nilai-nilai asli itu, yang luhur, banyak yang bergeser. Dan bergesernya ke arah negatif. Ini kesalahan kami orang-orang tua yang tidak mengarahkan dengan benar, pada bagaimana seharusnya. Sebetulnya keras hati itukan positif. Tapi dijalankan kelirudan tanpa arah. Ini yang terjadi.
Bagaimana anda melihat watak keras orang Makassar yang ternyata tidak lagi diikuti siri’, bahkan appakasiri’(hilang nilai Siri’ dalam dirinya)?
Masih ada juga. Tapi bagi mereka yang sering mendengar nasehat seperti ini (siri’, Red), itu masih tertanam. Tetapi bagi yang lain, karena pengaruh globalisasi, pengaruh materialistis, sehingga dia lupa hakekat dari siri’.
Apakah kekerasan yang terjadi di kalangan pemuda Makassar ada kaitannya dengan nilai kearifan lokal seperti siri’?
Itu yang saya katakan bahwa siri’ itu kadang-kadang diartikan dalam skala yang sempit. Terutama siri’ karena anak perempuannya, adik perempuannya, atau keluarga perempuannya diganggu. Padahal siri’ sebenarnya mengandung hal yang sangat luas. Luar biasa itu pengertian dari siri’. Karena siri itu adalah harga diri. Harga diri bukan hanya untuk mempertahankan martabat perempuan dalam keluarga. Tetapi siri’dalam pengertian harkat dan martabat. Contohnya prinsip bahwa seorang raja tidak pernah kecurian. Ini menunjukkan wibawa seorang pemimpin. Kalau dia kecurian, dia akan sangat malu.
Kemudian siri’juga seperti tindakan Karaeng Galesong. Dia mau diangkat jadi Karaeng Galesong, tapi orang Galesong sendiri saat itu tidak setuju, karena dia bukan keturunan Galesong, melainkan dia anak dari Sultan Hasanuddin. Dia pun malu, kemudian pergi jauh, seperti membuang dirinya. Dan kesempatan itu ada alasan tidak setuju dengan perjanjian Bongaya. Itu namanya siri’. Jadi siri’ termasuk pergi untuk menegakkan martabat dirinya. Pada akhirnya Karaeng Galesong pun menjadi orang yang sangat terpandang di pulau Jawa. Dia berhasil memulihkan harkat dan martabatnya. Sama juga dengan siri’-nya keturunan Tun Abdul Razak, Tun Najib. Dia mau jadi raja di Gowa, namun ia ditolak oleh orang-orang kerajaan Gowa. Ia siri’, lalu membuang dirinya jauh sampai di Malaysia. Sampai di sana ia membangun suatu keluarga. Dan sekarang dia jadi orang nomor satu di Malaysia. Itulah siri’.
Jadi siri’-nya pemuda sekarang perlu diluruskan, bahwa pemuda jangan hanya mengartikan harkat dan martabat siri’ itu dalam pengertian yang sempit. “Kekerasan” itu jangan diartikan secara sempit saja, termasuk dalam arti dendam. Ada prinsip seorang Mangkubumi di Gowa, namanya Karaeng Pattingalloang. Dia katakan ingat dua hal, dan lupakan dua hal. Artinya, ingat kebaikan orang lain kepada kamu dan ingat keburukanmu kepada orang lain. Lupakan kebaikanmu kepada orang lain, dan lupakan juga keburukan orang lain terhadap kamu. Sehingga tidak pendendam.
Dengan mengatasnamakan siri’ seseorang tega melakukan pembunuhan. Sebegitu komplekskah siri’sehingga hal demikian dapat terjadi?
Prinsip siri’itu, kapan dia dipermalukan, maka darah orang yang mempermalukan halal. Itu prinsip nekat. Katakanlah misalnya, seseorang suami mendapati isterinya berduaan dengan orang lain. Maka darah laki-laki dan perempuan itu halal. Itulah yang sangat keras dan banyak terjadi.
Mengapa siri’ dapat menjadi pegangan yang sangat kuat bagi Suku Bugis-Makassar?
Menurut kepercayaan Tomanurung, bumi ini pernah kacau-balau sekali. Peperangan tidak bisa lagi diatasi. Akhirnya turun dari langit seseorang perempuan, dan yang dia bawa itu siri’. Dan dengan siri’-lah, kampung menjadi subur, damai dan makmur. Itu kepercayaan dulu. Rupanya Tomanurung ini orang pertama yang datang saat kacau-balau tidak bisa diatasi oleh pemerintahan kasuwiyang salapang, sembilan kerjaan kecil yang dipimpin oleh seorang pemuka bernama Paccallaya. Kemudian datang amanat bahwa “kami mengangkat kamu menjadi raja kami”. Rupanya bekal yang dia bawa adalah siri’. Dengan siri’-lah Negara ini aman.
Bagaimana seharusnya siri’ diaktualisasikan sekarang?
Kita memang harus menjaga siri’. Harkat dan martabat itu harus ditegakkan, itu wajib. Kalau orang Makassar-Bugis, itu spontan. Tidak menunggu. Pokoknya dipermalukan langsung dia bereaksi, itu wataknya. Makanya khas, badiknya ditaruh depan. Namun itu mungkin sangat situasional. Jadi seharusnya, begitu ada kejadian harus dieksekusi. Tapi tentu didahului dengan pertimbangan yang matang. Begituh memang sifat orang Makassar yang suka segera melakukan eksekusi, tidak menunggu lama-lama.
Disamping itu saya pun kembali sadar bahwa ternyata membangun manusia harus memulai dari diri, keluarga, lalu lingkungan. Terutama membina anak-anak sejak kecil. Makanya saya tertarik untuk membina “malaikat-malaikat kecil” di yayasan saya, supaya dari mereka perbaikan dapat dimulai. Karena republik ini terlalu besar untuk dibangun. Maka melalui upaya-upaya kecil ini, saya ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal ini mampu mencegah timbulnya kejahatan secara preventif, bukan represif. Kalau itu dilakukan banyak orang, maka kekacauan tidak akan terjadi lagi.
Langkah apa yang harus dilakukan agar aktualisasi penegakan siri’tidak dilakukan dalam pengertian yang sempit?
Itu bukan tugas orang tua saja, tetapi juga orang muda. Kita semua harus menelusuri bagaimana hakikat siri’ itu. Jangan hanya menerima begitu saja. Sudah ada satu disertasi, oleh Laica Marzuki yang khusus mengkaji siri’, dan itu bagus sekali.
Apakah tindak kekerasan oleh pemuda Makassar menunjukkan bahwa sistem pendidikan gagal mentransformasikan siri’ menjadi relevan dengan zaman sekarang?
Saya pikir begitu. Artinya memang ada pengaruhnya. Tapi sebaiknya sistem pendidikan kita tidak dikatakan gagal, melainkan sistem pendidikan kita perlu disesuaikan dan diperbaiki.
Lalu apa yang perlu dibenahi agar sistem pendidikan kita mampu melakukan penyesuaian tersebut?
Yang saya lihat saat ini mahasiswa itu setengah mati belajar, tapi kreativitas mereka tidak dirangsang. Jadi mereka sepertinya terlalu banyak mengikuti kemauan dosen, kalau tidak sesuai ya salah. Jadi sistem pendidikan kita memang terlalu memaksakan. Padahal menurut saya dosen maupun guru itu hanya sebagai fasilitator saja untuk mengantar anak didik itu menjadi kreatif dan inovatif. Juga bagaimana agar dia terangsang untuk membaca misalnya, karena kalau bahan mata kuliah dari dosen saja yang jadi bahan acuan, kan terlalu sedikit. Sehingga mahasiswa itu lebih banyak berkarya dan mampu membuat sesuatu melebihi yang diketahui oleh dosennya.
Apakah benar ketiadaan wadah aktualisasi diri saat pembelajaran di kampus juga menjadi faktor pemicu kekerasan di kalangan mahasiswa? bagaimana mengatasinya?
Iya memang. Namun banyak kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi wadah. Ada beberapa komunitas mahasiswa yang datang kepada saya, karena tahu saya melakukan kerja-kerja sosial. Mereka pun turut berpartisipasi dan banyak membantu saya. Mereka menyadari bahwa aktualisasi diri itu bukan dengan bertindak anarkis.
Bagaimana harapan anda terhadap pemuda Makassar ke depan?
Pemuda harus kritis. Artinya berupaya untuk mencari tahu. Harus banyak belajar. Harus banyak membuka literatur dan membaca. Apalagi untuk bacaan sekarang sangat murah sekali, termasuk melalui internet. Sekarang saya melihat sudah banyak orang muda yang kreatif dan brilian, banyak sekali.