web analytics
header

Legalisasi Aborsi Kehamilan Akibat Pemerkosaan Sulit Diterima

Suasana diskusi tentang Legalisasi Aborsi Kehamilan Akibat Pemerkosaan yang diadakan UKM LP2KI di Ruang Video Conference FH-UH, Kamis (27/11). [Sup]

Suasana diskusi tentang Legalisasi Aborsi Kehamilan Akibat Pemerkosaan yang diadakan UKM LP2KI di Ruang Video Conference FH-UH, Kamis (27/11). [Sup]
Suasana diskusi tentang Legalisasi Aborsi Kehamilan Akibat Pemerkosaan yang diadakan UKM LP2KI di Ruang Video Conference FH-UH, Kamis (27/11). [Sup]

Makassar, Eksepsi Online-Dibolehkannya aborsi kehamilan akibat pemerkosaan sebelum 40 hari kehamilan dalam PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dinilai sulit diterima, termasuk bagi praktisi kesahatan. Ahli kandungan sekaligus Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar, dr Dewi Setiawati mengatakan bahwa ketentuan tersebut menimbulkan dilema bagi dokter. Pasalnya, hukum positif membolehkan, sedangkan menurut agama, nurani, dan Kode Etik Kedokteran sulit diterima. Hal itu diungkapkan Dewi dalam diskusi bertema Legalisasi Aborsi bagi Korban Pemerkosaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan. Acara tersebut diadakan UKM Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah (LP2KI) di Ruang Video Conference Fakultas Hukum Unhas (FH-UH), Kamis (27/11).

Dewi mengungkapkan bahwa aborsi yang diperbolehkan dan diterima secara umum hanya Abortus provocatus medicinalis atau didasarkan indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu. Aborsi kehamilan akibat pemerkosaan menurutnya tidak dibenarkan menurut Kode Etik Kedokteran. Untuk itu, sampai saai ini pun ia belum mendapatkan informasi ada dokter yang melakukan aborsi kehamilan akibat pemerkosaan. “Kita pahami bahwa pertemuan sel telur dengan sperma sudah terjadi individu sebenarnya, dan itu memiliki hak untuk hidup. Tidak bisa serta merta karena dia hasil pemerkosaan terus kita gugurkan,” ungkap Dewi.

Di sisi lain, Dewi mengungkapkan bahwa pada korban pemerkosaan dapat saja dilakukan pencegahan kehamilan. Setelah pemerkosaan terjadi dan laporannya segera dimasukkan ke polisi, dapat dilakukan visum sebagai dasar melakukan pencegahan kehamilan secara medis. Menggugurkan setelah kehamilan akibat pemerkosaan menurutnya didak dapat diterima.

Legalisasi aborsi kehamilan akibat pemerkosaan juga rentan disalahgunakan oleh pelaku seks bebas. Menurut pembicara lain dalam diskusi tersebut, Dosen Bagian Hukum Pidana FH-UH Dr Amir Ilyas, bisa jadi seseorang hamil akibat hubungan seks suka sama suka, lalu mengaku sebagai korban pemerkosaan dan membuat laporan fiktif untuk melegalkan aborsi kehamilannya. “Ketakutan saya, ini akan dimanfaatkan secara subjektif. Orang yang mau melakukan aborsi akan mengaku diperkosa dengan membuat laporan fiktif dan keterangan palsu. Akibatnya, akan banyak aborsi illegal, dan dokter bisa berlindung di balik keterangan dari polisi. Kan kalau ada keterangan begitu, kewajiban dokter untuk melaksanakan,” jelas Amir.

Dibolehkannya aborsi kehamilan akibat pemerkosaan dalam PP 61/2014 menurut Amir benar secara normatif karena merupakan turunan dari UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dampaknya, pelaku aborsi dan pihak yang membantu melakukan aborsi tidak dapat dipidana walaupun ada larangan dalam KUHP, karena UU No. 36 Tahun 2009 bersifat lex specialis. Meskipun demikian, pihak yang sengaja memanipulasi keterangan dengan memberikan keterangan palsu bahwa telah terjadi pemerkosaan, termasuk pihak kepolisian dan kedokteran, harus dipidana.

Amir mengungkapkan bahwa secara agama, konstitusi, dan hati nurani, sulit diterima. Oleh karena itu, ia menyarankan dilakukannya Yudisial Review terhadap UU Kesehatan yang menjadi dasar lahirnya legalisasi aborsi akibat pemerkosaan dalam PP 61/2014. “Ini bertentangan dengan agama dan konstitusi. Di konstitusi kan hak seseorang untuk hidup. Seharusnya cantolan undang-undang itu dari sana,” ungkapnya. (RTW/SYL)

Related posts: