web analytics
header

WD III: Penyelenggara Kokur Seharusnya Organisasi Mahasiswa Intra FH-UH

Mahasiswa baru mengikuti pengenalan kokur di Aula I-II FH-UH, Sabtu (18/10).

Makassar, Eksepsi Online-Ditetapkannya ILSA Unhas dan LeDHaK Unhas yang notabene organisasi kemahasiswaan ekstra FH-UH sebagai penyelenggara mata kuliah ko-kurikuler (kokur) menjadi terobosan baru penyelanggaraan kokur tahun ini. Namun menurut Wakil Dekan III FH-UH Hamzah Halim, keputusan tersebut tidak dapat dibenarkan. Baginya, keputusan yang diambil sebelum diangkatnya ia sebagai WD III tersebut keliru. “Di mana logikanya orang di luar dapat menilai di sini? Kalau mau jadi intra dulu, baru usulkan kokur. Makanya saya minta BEM. Saya bilang, atur di konstitusimu (Konstitusi KEMA FH-UH, Red), bagaimana caranya, apa persyaratan yang jelas, sehingga sebuah lembaga eksternal dapat menjadi UKM,” jelasnya.

Hamzah menilai bahwa berdasarkan aturan, hanya organisasi intra yang seharusnya menjadi penyelenggara kokur, yaitu UKM yang dibawahi oleh BEM. Menurutnya, sebuah kekeliruan jika melibatkan organisasi ektra sebagai penyelenggara kokur. Untuk itu, ke depan, ia akan mengupayakan penyelenggaraan kokur dikelola kembali organisasi intra FH-UH. Terkait penyelenggaraan kokur yang hampir usai sebagaimana mata kuliah lainnya, ia mengharapkan agar organisasi ekstra penyelenggara kokur untuk berkoordinasi dengan BEM. “Makanya saya suruh koordinasi dengan BEM, karena di aturan, BEM yang punya kewenangan. Kokur ini sebenarnya penyerahannya kepada BEM,” terangnya.

Sejalan dengan itu, Ketua UKM ALSA LC Unhas Ahmad Tojiwa Ram mengatakan penetapan organisasi ekstra sebagai penyelenggara kokur tidak tepat. Baginya, keterlibatan organisasi ekstra dalam penyelenggaraan kokur tidak sesuai dengan aturan. Selain itu, pengalihan Mata Kuliah Kokur Bahasa Inggris ke ILSA yang jauh sebelumnya dikelola ALSA menurutnya sulit diterima di intenal UKM-nya. Itu karena Bahasa Inggris merupakan bidang kegiatan ALSA di samping Peradilan Semu. “Semoga tidak ada lagi seperti itu karena ini juga menimbulkan konflik interest sesama kita. Akan menimbulkan ketidakenakan. Teman-teman di ILSA pasti merasa tidak enak kepada kami. Begitupun kami juga tidak enak kepada teman-teman di ILSA atas kejadian ini,” tuturnya.

Ahmad Tojiwa pun tidak mempermasalahkan jika ada organisasi kemahasiswaan ekstra ingin berubah menjadi intra, asalkan sesuai aturan. Namun bidang kegiatannya harus berbeda dengan UKM yang ada sebelumnya. “Kalau Bahasa Inggris seharusnya tetap di ALSA. Tapi kalau ILSA mau jadi UKM silahkan, tapi bidang itu sendiri tetap di ALSA,” jelasnya.

Di sisi lain, Presiden BEM FH-UH Dhian Fadlhan Hidayat menilai pelibatan organisasi ektra FH-UH sebagai penyelenggara kokur dipaksakan dan diambil secara terburu-buru, tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan lembaga kemahasiswaan. Untuk itu, ia menginginkan adanya pembicaraan ulang terkait penyelenggara kokur. Menurutnya, penetapan penyelengggara kokur harus tetap berdasarkan pada peraturan, misalnya ketentuan dalam Buku Panduan Mahasiswa Baru FH-UH bahwa penyelanggara kokur hanyalah organisasi kemahasiswaan intra FH-UH, yaitu UKM. “Jadi dasarnya jangan sekadar berorientasi pada prestasi sebuah organisasi untuk menetapkannya sebagai penyelenggara kokur,” tuturnya.  

Terkait keberlangsungan kokur di akhir semester ini, Fadlhan menerima agar dilangsungkan hingga usai, demi kepentingan peserta kokur. Meski demikian, ia meminta agar tidak ada lagi keputusan yang diambil sepihak oleh dekanat. “Teman-teman di organisasi kemahasiswaan harus kuat dan bersatu memperjuangkan hak-haknya. Kemarin teman-teman ALSA dicabut haknya, namun karena teman-teman yang lain merasa belum diambil haknya. Saya rasa kalau kita bersatu, tidak akan mudah dipegang birokrasi. Saya harapkan juga teman-teman yang lain, dalam menjalankan organisasi ekstranya, menghormati konstitusi KEMA FH-UH supaya tidak memanfaatkan komunikasi birokrasinya untuk mendapatkan hak-hak yang bukan untuk mereka,” tegas Fadlhan.

Penanggung Jawab Kokur Debat Hukum dan Konstitusi Afdalis menyatakan tidak mempermasalahkan jika akhirnya LeDHak tidak lagi diberi kewenangan mengelola kokur. Kokur menurutnya adalah kegiatan akademik, sehingga penentuan penyelenggaranya tergantung pihak dekanat. Ia menegaskan bahwa pelaksanaan kokur oleh LeDHaK didasarkan pada mandat dekan. “Intinya kan kita menjalankan mandat dari dekan. Kalaupun misalnya dekan menarik kembali mandatnya, ya tidak ada masalah,” ujarnya.

Senada dengan penuturan Afdalis, Direktur ILSA Mutiah Wenda Juniar menyatakan bahwa ILSA menyelenggarakan kokur karena ditetapkan sebagai penyelenggara berdasarkan surat keputusan dekan. Ia pun tidak mempermasalahkan jika ke depannya diputuskan pihak dekanat bahwa organisasi ekstra tidak berwenang lagi mengelola kokur. Namun ia meminta kepada pembuat kebijakan kokur agar teliti dalam membuat keputusan. “Saya harap pihak yang berwenang mengatur persoalan kokur agar membuat aturan secara jelas. Jangan malah menimbulkan konflik di organisasi kemahasiswaan,” harapnya. (RTW)

Related posts: