Oleh: Ramli
Tiga bulantelah berlalu, tapi sikap wanita seorganisasiku itu tetap cuek. Aku tetap suka padanya seperti dulu. Namanya Intan. Bagaimana perasaannya padaku? Aku tak pernah tahu. Terlihat raut wajahnya muak jika menatapku. Tak pernah sejenak saja kulihat binar matanya seperti dulu. Jika tak sengaja berpapasan denganku, ia langsung membuang wajahnya. Terlihat jelas mimik wajahnya tak bersahabat seperti seperti dulu lagi. Senyumnya kaku mengembang jika ada aku akan melihatnya. Kuterima sikapnya begitu padaku. Kuduga ia mulai benci saat tahu aku pernah menulis puisi untuk seorang wanita selain dia.
“Fariz, kau punya kesibukan tidak malam nanti?” Tanya Ali, seniorku sekaligus teman karibku.
“Tidak. Memangnya ada kegiatan organisasi yang perlu dirampungkan Kak?” balasku bertanya.
“Tidak ada. Aku Cuma ingin mengajakmu keluar. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Hanya kita berdua,” pintanya lelaki yang semakin dekat dengan Intan belakangan ini.
Aku tak pernah merasa aneh dengan pintanya. Ia memang sering mengajakku jalan-jalan. Entah kenapa, padahal banyak wanita pasti sudi menemaninya jika ia mau. Pernah ia memperlihatkanku pesan singkat sejumlah wanita di kampus yang mengaguminya. Ia memang tampan dan berasal dari keluarga mapan. Meski begitu, satahuku dia belum pernah memiliki hubungan lebih dari pertemanan dangan seorang wanita. Kurasa, memang ia lebih dekat denganku dibanding dengan siapapun, termasuk teman seangkatannya. Mungkin saja, karena aku pengurus organisasi yang dapat ia andalkan. Tapi nyatanya, bukan hanya persoalanorganisasi yang gemar ia bincangkan. Sering juga iya bercerita masalah pribadi, termasuk tentang perasaan sukanya kepada Intan. Apalagi saat dia tahu kalau aku pernah sekelas dengan wanita pendiam saat SMA.
Aku berharap Ali tidak tahu lebih dari sekadar bahwa aku pernah sekelas dengan Intan waktu SMA. Untuk itu, aku selalu bersikap biasa kepada Intan. Kurelakan saja mereka semakin mengenal lebih dalam. Biarlah mereka semakin dekat satu sama lain. Kusadari, mustahil bagiku melanjutkan cerita lalu, tentang kasih tak sampai pada Intan. Tentang pengakuan perasaanku di secarik kertas, biarlah kupendam sebagai rahasia saja.
*****
Sepoi angin malam menemaniku menunggu Ali di sebuah kedai kopi. Berselang sepuluh menit kedatanganku, ia pun muncul di balik pintu. Seperti biasa penampilannya, tetap setia dengan kaos oblong dan celana selutut.
Kami lewatkan beberapa menit untuk berbasa-basi, hingga ia menyatakan maksudnya datang malam ini. “Kau pernah sekelas dengan Intan sewaktu SMA kan?” tanya dia, sambil mengaduk endapan gula kopi hitamnya. Aneh, aku melihat matannya tajam menatapku. Sepertinya ia ingin ini menjadi pembahasan panjang dan serius.
“Memangnya kenapa?” tanyaku, sambil menanti jawabannya was-was.
“Terus terang, aku menyukainya,” jawabnya sambil tersenyum. “Kudengar, dulu kau berteman baik dengan Intan. Jadi, pasti tahu banyaktentang dia kan? Aku hanya ingin mengetahui sesuatu yang paling dia sukai.”
Aku merasa lega, ia tidak tahu masa laluku dengan Intan. “Aku tak tahu pasti. Tapi yang jelas…, dia suka puisi,” jawabku perlahan.
“Mmm, kau tahu kan, akutak berbakat menulis puisi. Kau lihai. Jadi, bisalah kau buatkan aku puisi tentang pernyataan rasaku kepadanya,” pintanya seperti memohon.
Sulit kuterima. Terus kupikir alasan menolaknya. Tapi meski aku coba meyakinkannya, dia terus mendesak. Akhirnya kuiyakan saja. Jika bukan untuk intan, aku takkan bersikeras menolaknya. Aku takut mengacaukan maksud Ali kepadanya. Entahlah, dapatkah aku meredam emosiku dari kata kurangkai nantinya.
******
Kubanggakan diriku hari ini. Cerpenku dimuat di koran kampus untuk pertama kalinya. Bukan hanya karena itu, aku merasa plong setelah melampiaskan kegalauanku. Aku menulis tentang aku dan Intan, tentang jika saja pengakuanku di secarik kertas dahulu bersambut. Pujian kudapatkan kali ini dari teman-teman organisasi di sekretariat. Tapi ratuku dalam cerpen tetap bergeming. Membaca cerpenku saja dia tak sudi.
“Ceritamu menyedihkan kawan. Kisah nyatamu ya?” tanya Ali.
“Namanya juga fiksi,” tandasku.
Akhirnya, kuingat janjiku semalam. Kuserahkan puisi gubahanku kepada Ali. Puisi itu kutulis di secarik kertas, lalu kuselipkan di tengah novel kesayanganku. Kuakui, tak mungkin menghampakan perasaan mengenai pemaknaan kata yang kurangkai. Selalu saja hasratku memaksa untuk menyampaikan perasaanku seperti dulu. Tak mungkin meminjam perasaan Ali. Juga tak kutahu pasti bagaimana kedalaman rasanya kepada Intan. Aku tetap merasa lebih merindukan Intan dibanding Ali. Tapi sebaiknya kuredam rasa ini. Dia pasti tidak menginginkanku seperti aku menginginkannya.
Pelita Hidupmu
Kau yang gelisah menanti terang sesungguhnya
Menengadahlah mencari, di tempatmu saja
Sadarilah setiap pertanda, dia akan datang
jangan lelah memandang langit gelap, pasti lekas diganti terang
Damailah dengan waktu berlalu
Kuharap kau yakin, masih bersinar mentari di balik mendung itu
Sabar dia, menunggu waktunya menerangi yang menanti
Yakinlah, tutup saja matamu, hingga pancaran sinarnya menerpa wajahmu
Setelah terjaga, kalaupun esok, pasti masih terangnya menyambutmu
Jika saja kau sadari, akulah sang surya di balik mendung itu
Begitulah rangkaian kata puisiku itu.
Malam datang. Waktunya Ali menyatakan perasaannnya. Gambaran peristiwanya coba kurangkai dalam imajinasiku. Aku tahu betul, Ali yang pemalu pada lawan jenis akan gugup menyatakan perasaanya pada Intan. Tapi sudahlah, bukan urusanku. Sebaiknya aku merangkai mimpiku sendiri dalam lelap.
Terjaga aku. Padahal masih pagi sekali. Ketika tetesan uap empun masih memburamkan jendela kamarku, handphone-ku berdering. Tak biasanyasepagi ini ada yang menelponku. Rasa penasaran akhirnya memaksaku bangun saat masih jam setengah tujuh pagi, meski lelapku hanya sekitar empat jam.
“Fariz, maaf, semalam aku gugup. Jadi, novelmu tempat puisi terselip juga kuserahkan ke Intan. Tidak apa-apakan?” Tanya Ali.
Aku merasa cemas. Masih mengawang-awang, apakah pernah aku menulis identitasku di novel itu? “Tidak apa-apa kok. Yang penting novelku kembali.”
“Terima kasih kawan. Selamat melanjutkan tidur.”
Dua hari berselang, perasaan Ali ternyata masih tergantungkan. Perkiraanku, mungkin Intan tidak membolak-balik setiap lembaran novel itu. Itu sebabnya ia tidak menemukan puisinya segera. Kalaupun Intan temukan, tidak ada pertanda jika ia bermaksud menyatakan perasaannya. Aku tak tahu persis apa yang dikatakannya saat menyerahkan novel itu. Tapi katanya, dia hanya beralasan bahwa cerita novelnya sangat menarik. Aku yakin, pastilah dia salah tingkah saat itu. Apa boleh buat, mengulang waktu juga tak mungkin untuk menghindari dilema yang timbul. Seperti itu juga yang kualami kepada Intan karena secarik kertas dahulu.
“Fariz, ayo keluar jalan-jalan. Malam cerah kok,” ajak Ali
Meski tanpa tujuan dan kepentingan, aku langsung mengiyakan saja. Kasihan juga aku melihatnya murung. “Siap.”
*****
“Alhamdulillah, kamu sudah siuman Nak. Bisa lihat Mama kan?”
“Iya, jelas kok,” jawabku. Aku masih merasa pusing. Tak kuasa aku menatap pancaran cahaya dari kaca jendela. Mataku sepertinya telah lama terpejam. “Memang apa yang terjadi. Di mana Ali.”
“Kamu sabar ya Nak, temanmu itu sudah tiada. Dia sudah meninggal Nak. Yang pasti kau harus tahu, kau akan selalu menatap kehidupan bersamanya,” jelas Ibuku. Di sampingnya terlihat juga kedua orang tua Ali.
Ternyata, waktu terlalu cepat berlalu. Serasa masih di tengah hiruk-pikuk kendaraan dan terpaan angin malam saat itu. Namun, segalanya gelap pada saat kami masih bersendau-gurau di atas sepeda motor. Seingatku, tepat di sebuah tikungan, sebuah mobil truk menggelapkan segala nuansa malam itu. Aku tak lagi tahu kehidupan setelahnya. Ketika tersadar, aku berada di pembaringan rumah sakit. Tak tahu sudah berapa lama aku di sini. Tapi kurasakan sudah banyak peristiwa yang terlewatkan dalam gelap hidupku.
Kenyataan coba kuterima. Tak akan ada lagi Ali. Sahabat terbaik yang selalu menemani hari-hariku silam.
*****
Sudah sekitar dua minggu aku berdiam diri di rumah setelah keluar dari rumah sakit. Kulihat kampus masih seperti dulu. Bedanya, tak ada lagi Ali yang ramah menyapaku setiap kali bertemu. Aku merasa asing tanpanya.
“Hai…,” sapaan itu bersahut di belakangku. Dia adalah wanita yang selama ini tak mengindahkan sapaku, Intan. Dia berubah. Kulihat dia mencoba tersenyum. Setelah sekian lama cemberut padaku, kulihat pipinya kaku mengembang.
“Kenapa? Eh, Apa kabar?” Aku merasa canggung padanya.
“Baik. Syukurlah kau sudah bisa ke kampus lagi. Eh, ini novelmu yang kau pinjamkan padaku lewat Ali. Terima kasih ya…,” balasnya.
Karena katanya barusan, aku jadi bingung. Coba kuterka anggapannya atas puisi itu. Mungkinkah dia paham kebenaran tentang puisi itu? Dia mungkin tahu. Kuterima saja novelku itu. “Mmm, baiklah. Ok,” balasku.
Dengan senyuman, ia langsung berlalu.
Kubuka kembali pertengahan novel itu. Kudapati secarik kertas puisi itu masih berada di baliknya. Tak ada yang berubah. Kecuali kudapati tulisan di balik secarik kertas itu.
Terangi Aku Kembali
Jika kau mentariku, jangan ragu berderangiku
Kuikuti gelap, bersembunyi, dan menghindarimu, agar kau terus mempertanyakan aku
Mengapa? Karena aku masih mengharapkan terangmu
Kalaupun mendung berujung tangis, kau dapati aku setia menunggu hujan reda
Hangati aku kembali
Tahukah kau, setiap kali, kuharap kau datang di dalam gelapku
Kenapa kau juga sembunyi? Tidakkah kau menunggu seperti aku
Terpaksa, kusengaja mendekati terang yang lain, agar kau lekas muncul dan mengalahkannya
Aku masih mmengharapkanmu, pahlawanku
Tolong tunjukkan jalanku, pasti kuikuti kau
Tak akan kuingat lagi mendung yang pernah memisahkan kita
Kuterima takdirku, dan kau
Intan Gusti
Baru kusadari, ternyata pernah kutulis namaku di balik sampul balakang novel itu.