Derry Perdana Munsil
Euphoria berlembaga di lingkup intra kampus makin mengalami dekadensi dari masa ke masa. Sekarang ini, peminat organisasi intra kampus seperti BEM, SEMA, Himpunan atau semacamnya, mulai mengalami penurunan secara drastis. Sejak bulan lalu senat mahasiswa teknik (SMFT-UH) melakukan penelitian ilmiah terkait hal ini. Caranya dengan menyebarkan kuisioner ke seluruh mahasiswa Unhas angkatan 2014 berjumlah 300 sampel menggunakan metode random sampling system. Hasilnya cukup mengejutkan ketika ditanyakan “Apakah kalian mau aktif di lembaga kemahasiswaan intra kampus?” Jawabannya, 46 % mau, 36 % tidak mau, sedangkan 18 % memilih ragu-ragu. Padahal sejak tiga tahun lalu, animo mahasiswa untuk masuk dalam organisasi intra kampus masih sangat tinggi sekali, yaitu mencapai 89,9 % (Litbang SMFT-UH 2011).
Pada hakikatnya, lembaga kemahasiswan mesti merangkul keseluruhan mahasiswa lalu memberikan ‘panggung’ kepada para kader untuk beraktualisasi mengembangkan potensi diri. Soft skill seperti leadership, kemampuan manajerial, skill berkomunikasi, berjejaring dengan beragam karakter, serta kemampuan teamworking tidak didapatkan di bangku kuliah, melainkan menjadi cakupan organisasi kemahasiswaan. Secara perlahan, jika iklim berorganisasi seperti ini terus dipertahankan bisa dipastikan marwah organisasi akan dikalahkan dengan organisasi luar yang lebih menjanjikan kebermanfaatan secara inklusif.
Organisasi kemahasiswaan mengalami banyak probematika yang lebih berat dari tahun ke tahun hingga banyak mahasiswa baru traumatik dengan sistem kaderisasi, sampai akhirnya alergi dengan nama lembaga kemahasiswaan. Kemunduran ini diakibatkan oleh banyak faktor yang dari tahun ke tahun terus terakumulasi, hingga beban di pundak aktivis organisasi intra kampus saat ini cukup berat.
Refleksi Kritis Lembaga Kemahasiswaan
Organisasi kampus memiliki aturan main yang terbilang cukup kaku, seperti susahnya berubah aturan main program kerja, metodologi kaderisasi yang cukup sulit diubah, buta varian gerakan, program kerja yang asal jadi, ataupun aturan tidak boleh KKN-KP. Hingga yang paling utama yakni iklim berlembaga yang jauh dari kata keakraban alias adanya sekat yang tebal antara senior dan junior. Dengan begitu nuansa kekeluargaannya sangat sulit ditemukan dalam lingkup organisasi kemahasiswaan. Satu hal yang paling ironis yakni, terbangunnya paradigma “raja kecil” di kepala elit lembaga yang membuat mereka mengekslusifkan diri, tidak mau turun kerja di lapangan, jaga image, hidup tapi “bertopeng”, dsb.
Setiap kader yang akan bergabung dipaksa menjadi ‘pekerja’ dan tidak diberikan ruang untuk berbeda pandangan dengan sang senior. Kaderisasi kampus ibarat pabrik yang memproduksi komoditas ‘isi kepala’ yang sama. Ketika ada produk yang ‘beda’ maka ia akan dikeluarkan dari sistem dan tidak diberikan panggung aktualisasi sama sekali. Mekanisme yang seperti itulah terus menerus dipertahankan sejak dulu, sehingga perubahan demi perubahan lingkup lembaga intra kampus sangat sulit terjadi.
Hingga kini, aktivis lembaga intra kampus terkekang dengan imaji perubahan yang didengungkan di tengah-tengah kelompok komunal yang phobia perubahan. Satu lagi yang menjadi keresahan penulis, yakni semestinya organisasi kampus setara himpunan jurusan punya andil kuat untuk menekan anggotanya agar ikut dalam berkompetisi dalam event keilmuan/penalaran. Mamacu mereka turut berkarya dan berinovasi sesuai background keilmuannya. Bukan hanya aktif pada kegiatan yang melatih kader menjadi event organizer, tapi asing dengan kompetisi ilmiah, berkarya untuk negeri, ataupun berbuat untuk masyarakat sekitar. Organisasi intra kampus harus berbenah diri dan segera mencari tahu apa nilai jual yang ditawarkan kepada para kader jika ingin survive di masa depan.
Masalah Kusut dengan Birokrat Kampus
Problematika yang dialami antara pengurus lembaga dengan birokrat kampus ibarat benang kusut yang semakin hari semakin sulit ditemukan apa solusi untuk mengakhiri diskomunikasi selama ini. Sejak beberapa tahun terakhir terbangun paradigma di dalam kepala civitas akademik kampus yakni mendikotomikan antara lembaga dan akademik. Seolah-olah hadirnya organisasi akan menghambat aktivitas akademik kader. Padahal prinsip utama yang harus dipegang oleh mahasiswa ialah organisasi mestinya bersinergi dengan akademik.
Ada beberapa ‘vitamin’ yang tidak didapatkan di dalam perkuliahan. Untuk melengkapinya, organisasi kemahasiswaan hadir sebagai penyempurna dan nilai tambah bagi para kader, bukan sebagai penghambat atau malah perusak. Wilayah hard skill semestinya digenjot betul di ruang perkuliahan, sedangkan untuk soft skill menjadi wilayah organisasi intra kampus. Sinergitas antara birokrat kampus dengan lembaga kemahasiswaan harus menjadi pondasi pembangunan peradaban akademik yang menciptakan para pemimpin bangsa di masa depan bukan hanya menciptakan “pekerja” siap pakai.
Kadangkala, dosen di kampus punya ekspektasi yang terlalu melangit. Misalnya mahasiswa Unhas harus jadi juara satu kompetisi ilmiah tingkat nasional, tapi tidak ada langkah riil yang dilakukan untuk mencapai angan-angan itu. Kemudian support finansial dari universitas untuk aktivitas organisasi intra kampus yang berorientasi keilmuan malah dinomorduakan. Sedangkan kegiatan yang sifatnya minat bakat justru mendapat porsi besar.
Masalah inti menurunnya peminat organisasi intra ialah tekanan dari birokrat kampus terhadap lembaga kemahasiswaan. Hampir di semua fakultas kegiatan kaderisasi mulai mendapatkan intervensi dari pihak fakultas masing-masing, hingga tak jarang sanksi skorsing dikeluarkan. Tidak sampai disitu saja, intervensi semacam itu tak hanya diberlakukan bagi pengurus lembaga, namun juga diberikan kepada mahasiswa angkatan baru yang hendak mengikuti kegiatan lembaga. Hasilnya terang saja, banyak mahasiswa yang memilih enggan untuk aktif didalam lembaga intra dan memilih aktif ke luar. Padahal lembaga intra kampus punya potensi sebagai pendobrak terobosan dan mampu sebagai ‘mesin’ yang masif untuk meningkatkan prestasi kampus. Itu dapat terwujud ika seandainya pihak kampus juga secara serius mau bersinergi dan saling berpegangan tangan dengan pihak lembaga.
Secara kuantitas, massa lembaga intra kampus yang paling banyak, sehingga orientasi dasarnya perlu diperbaiki untuk mencapai hal-hal positif demi nama besar Unhas. Yang tidak boleh dilepaskan dari lembaga intra kampus yakni daya kritis untuk terus bersuara, memberikan aspirasi mana kala terjadi kesewenang-wenangan, apalagi yang bersangkutan dengan banyak orang. Tinggal opsi varian gerakan yang perlu dimatangkan agar tidak mencederai almamater kampus di mata publik. Peradaban kampus masa depan boleh saja berubah, asal ”ruh” mahasiswa sebagai agent of change, social control dan independen dari segala kepentingan tetap dipertahankan.
Orientasi Masa Depan Organisasi Intra
Organisasi Intra kampus wajib banyak bercermin kalau tetap ingin menjadi wadah pengembangan diri yang utama di dalam kampus. Gerakan kemahasiswaan yang sidatnya parsial hanya akan mengkotak-kotakkan perjuangan mahasiswa hingga akhirnya sulit untuk terkonsolidasi dengan baik. Masalah kehidupan kampus yang kian hari makin berat mesti ditangkis dengan hadirnya pemersatu untuk keseluruhan BEM, semisal dengan terwujudnya LEMA UNHAS demi konsolidasi gerakan yang kuat.
Kemudian terlepas dari hal diatas, munculnya komunitas-komunitas sosial, komunitas penalaran, komunitas minat bakat dsb, baik itu di tingkatan fakultas maupun universitas semestinya disikapi secara ‘mendalam’ oleh aktivis lembaga. Sebab munculnya komunitas-komunitas itu secara tidak langsung menampar lembaga kemahasiswaan yang selama ini dinilai tidak mewadahi hal-hal tersebut. Secara tidak langsung, pesan yang mau disampaikan ialah lembaga intra tidak berorientasi untuk bergerak di ranah sosial dan penalaran. Tidak mengantarkan kader untuk berprestasi, apalagi memberikan panggung dalam mengembangkan potensi seni dan bakat. Sebab kalau saja, lembaga intra juga turut mewadahi hal tersebut, tidak akan mungkin tumbuh subur komunitas-komunitas seperti di atas. Logikanya, “orang-orang tidak akan mungkin keluar cari makan, kalau di rumah sendiri telah tersedia menu makanan yang serba enak dan mengenyangkan”.
Organisasi kampus di masa depan harus jeli melihat tren yang tengah berkembang. Pelemahan organisasi intra yang makin kuat menerobos masuk hingga ke jantung gerakan, bisa jadi menjadi awal pergerseran makna kehadiran kampus di negeri ini. Bagi kami, kampus ialah ladang tempat ditanamkannya idealisme sebagai regenerasi pemimpin masa depan bukan sebagai penindas baru. Kampus bukan pabrik pencetak ijazah komersil bagi para “pekerja” yang siap dipakai oleh industri besar. Kampus bukan produsen baut-baut kecil dalam lokomotif perubahan zaman, melainkan sebagai pelaku pendobrak zaman yang memperhatikan masyarakat yang marjinal di tengah meriahnya pembangunan kota. Segala hal yang sudah tidak relevan, harus segera ditinggalkan sebelum organisasi menjadi “kuburan basah” tempat dibaringkannya daya nalar dan kritis demi mempertahankan eksistensi.
Organisasi intra kampus adalah ujung tombak pergerakan yang semestinya mendapat dukungan penuh dari pihak kampus, bukannya dibatasi dengan adanya jam malam, aturan kuliah lima tahun, atau bahkan pelarangan kaderisasi. Kalau ada tikus di dalam sawah, jangan pernah bakar seluruh sawahnya, tapi cukup matikan tikusnya. Kalau ada keburukan yang tertinggal di dalam lembaga kemahasiswaan, jangan hilangkan lembaga intra tapi segera cari apa keburukannya, lalu ganti dengan hal-hal yang baik.
Di dalam organisasi intra kampus, kami belajar bagaimana me-manage sumber daya yang terbatas tanpa digaji. Bukan sebagai student employee. Kami diajarkan bagaimana untuk peka terhadap kondisi sekitar. Kami belajar untuk berjiwa altruis. Menjadikan penderitaan orang lain sebagai penderitaan kami sebagai mahasiswa. Oleh karena itu, kami lantang bersuara ketika hak masyarakat direnggut dan itu kami dapatkan melalui kaderisasi di dalam lembaga intra kampus.
Kami juga belajar bagaimana menjadi asketis. Berprilaku sebagai pemimpin yang memegang tanggung jawab dan terus berintegritas. Doktrin yang ditanamkan semasa mahasiswa menjadikan kami sebagai bagian masyarakat yang tidak tahu kehidupan gaul anak muda metropolitan yang doyan dengan gonta-ganti narkoba, minum-minuman beralkohol, seks bebas, dsb. Karena itu, bersegeralah bercermin sebelum lembaga kemahasiswaan menjadi “gudang kosong” yang ditinggalkan oleh seluruh penghuninya yang sudah capek bergumul dengan masalah yang tak kunjung usai.
Untukmu, pelanjut perjuangan di era baru! Mahasiswa adalah pemilik sah gerakan moral di Negeri ini.