Oleh: Moh. Nur Faisal Ridwan Lahay
R
|
intik hujan di luar masih terdengar. Ayah dari tadi juga masih duduk di depan televisi. Masih membaca koran hari ini. Karena tadi pagi sepertinya dia tak sempat membacanya. Ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok kretek, Ayah menunggu hujan reda. Ruang tengah malam itu terasa nyaman. Memang tempat favoritnya. Betapa tidak, ruang itu selalu ditempati mereka sekeluarga. Ayah, Ibu, dan kedua anaknya yang masih belia.
Ya, banyak kenangan di ruang tengah. Canda tawa kebahagiaan senantiasa memenuhi ruang itu. Kursi sofa panjang berwarna cokelat tua melintang di samping jendela. Sekitar dua meter di depan televisi. Tempat Ayah sedang duduk sekarang. Kursi sofa yang juga menjadi tempat mereka berkumpul. Duduk bersama. Menghabiskan waktu istirahat.
Di ruangan itu juga biasa digelar karpet kecil. Bermotifkan kumbang-kumbang berwarna merah dan hitam. Posisinya tepat di depan televisi. Bak jembatan yang menghubungkan antara televisi dan sofa. Anak-anak biasanya tertidur di situ, jika sedang menonton acara televisi hingga larut malam. Kalau sampai demikian, Ayah biasanya menggendong mereka ke kamarnya masing-masing.
Ilustrasi: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2013/09/26/cermin-595979.html |
Di bagian tembok terpajang beberapa foto mereka sekeluarga. Ada foto mereka berempat saat berenang di salah satu objek wisata pemandian air panas, foto pernikahan Ayah dan Ibu, dan ada juga sebuah foto dari si bungsu Rafi, saat mengikuti lomba azan di SD-nya.
Pas di samping foto si bungsu itu, tergantung sebuah cermin milik Ayah. Hartanya yang paling berharga. Tidak mahal memang. Namun sangat berarti.
Ukurannya tidak terlalu besar. Jangkauannya hanya sampai pada dada orang dewasa. Sehingga si bungsu Rafi tidak pernah bisa bercermin menggunakan itu. Kecuali digendong oleh orang tuanya.
Cermin itu adalah hadiah pemberian mendiang ibunya. Hadiah pernikahannya beberapa tahun silam. Hadiah dari nenek kedua buah hatinya. Hadiah sederhana penuh titipan doa. Hadiah yang senantiasa menjadi saksi suka duka keluarga itu.
***
Ayah kembali membuka halaman koran selanjutnya. Membaca tulisan-tulisan opini dari beberapa ahli yang berbeda. Mulai dari ahli hukum, aktivis sosial, hingga sastrawan dan budayawan. Rubrik dalam koran yang paling digemarinya.
Sembari mencicipi kopi, Ayah memandangi cermin miliknya. Saban kali ia memandanginya, seakan cermin itu terus bercerita. Bercerita tentang kenangan. Kenangan manis, maupun pahit.
Ada kalanya Ayah merasa dejavu. Cermin mengingatkan saat Ayah hendak berangkat ke kantor. Ayah senantiasa berkaca terlebih dahulu di depan cermin itu. Sebenarnya ada cermin yang lebih besar di kamarnya. Tapi entah mengapa Ayah lebih suka bercermin dengan menggunakan cermin itu.
Biasanya Ayah bercermin jika ingin mengenakan dasi kantornya. Meskipun sudah diajarkan berulang-ulang, nampaknya Ayah tidak pernah bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan Ibu.
Terkadang cermin itu juga memproyeksikan bayangan ingatan Ayah, saat ia pulang dari kantor. Kala itu Ayah harus kerja lembur. Banting tulang demi menghidupi Rifi dan Rafi. Tak sebanding dengan kisah anak kecil yang kedua tangannya buntung dalam membantu menghidupi neneknya memang. Atau seorang ibu buta yang behasil merawat anaknya hingga sarjana. Namun keikhlasan kerja keras Ayah bagi keluarganya pasti dirasa tak ada bandingannya.
Bahkan sering juga cermin itu menggambarkan romantisme Ayah dan Ibu yang menghabiskan waktu berdua. Duduk menikmati keindahan cinta-Nya. Cinta suci-Nya. Yang telah terlegalisir dalam ikatan pernikahan. Bercumbu. Bercinta. Berdua.
Namun cermin itu juga yang jadi saksi bisu pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Jalinan cinta mereka harus retak di tengah jalan. Bahtera rumah tangga yang mereka bangun selama ini harus kandas. Tanpa toleransi.
Cacian terlontar dari mulut mereka. Mulut yang sebelumnya hanya rela bertutur sayang. Kini berubah jadi lubang kotor yang selalu memuntahkan kata hina.
Berawal ketika dua tahun lalu. Lesu tampak dari raut wajah Ibu. Malam itu adalah malam kesekian Ayah harus pulang larut. Bahkan hampir fajar. Ibu seperti biasa, menunggu Ayah dengan setia. Di kursi sofa cokelatnya.
Curiga. Itu yang dirasakan Ibu. Setiap ditanya kejelasan, Ayah hanya mengelak urusan kantor. Tak ada dusta dari jawaban Ayah. Benar-benar tak ada dusta. Kewajibannya memang sebagai pegawai. Harus siap sedia jika dibutuhkan atasan. Cermin pun tak tahu pasti gerangan kesibukan apa itu.
Tapi batasannya sudah terlewat menurut Ibu. Malapetaka itu ditambah dengan jatuh sakitnya si bungsu Rafi. Butuh perhatian lebih dari Ayah. Demam semakin tinggi. Bahkan harus dilarikan ke rumah sakit. Tapi tidak ada toleransi dari karir Ayah. Hingga ajal Rafi menjelang, Ayah tetap tak bisa memberikan perhatian lebih padanya.
Kesabaran tak bisa dibendung Ibu. Air mata menetes. Membajiri hati Ibu. Melihat tingkah laku Ayah. Talak dijatuhkan kepada Ibu. Ayah menyerah. Cermin Ayah jadi saksinya.
Rifi pilih ikut Ayah. Kedekatan emosional mungkin jadi alasannya. Ibu mengikhlaskan. Ibu lebih pilih kebaikan bagi si sulung Rifi. Buah hati pertamanya. Ibu masih sayang pada mereka.
Hari-hari setelahnya dilalui tanpa Ibu. Cermin sudah jarang melihat Ibu. Ibu yang tiap akhir minggu membersihkannya. Beruntung, setidaknya ada Rifi yang menggantikan posisi Ibu.
Pernah juga cermin melihat Ayah sengaja mengubah sedikit dekorasi ruang tengah. Kursi sofa digeser dari tempat semula. Agak dimajukan. Lebih mendekat ke televisi. Kemudian digelar sajadah di belakangnya. Ayah salat di tempat itu. Cermin merasa, agar Ayah lebih khusyuk dalam ibadahnya. Karena tempat itu yang paling banyak menyimpan kenangan.
Sering terdengar isak tangis dari Ayah jika sehabis salat. Terutama saat waktu sepertiga malam terakhir. Menyesali kesalahannya. Tobat nampaknya tak mampu membuatnya memaafkan dirinya sendiri. Meskipun Ayah tahu, Tuhan pun Maha Pengampun. Tapi tetap saja Ayah menyesal.
***
Ayah melepas kacamatanya perlahan. Mengalihkan pandangan dari cermin. Melipat rapi korannya yang sudah selesai dibaca. Meminum kembali kopinya sedikit. Berpikir sejenak. Semua yang ia miliki sekarang disadari hanyalah titipan. Titipan dari Yang Maha Memiliki. Seberapa berharganya pun sebuah keluarga, tetap tak lebih dari sekadar titipan. Layaknya harta kekayaan lainnya. Fana.
Telepon genggam Ayah berdering. Panggilan mausk dari si sulung Rifi. Ayah mengangkatnya.
“Ya halo?”
“Ayah, Rifi udah di jalan pulang. Ini diantar sama Amel,” jawab Rifi dari seberang telepon.
“Iya, Nak. Hati-hati di jalan,” ujar Ayah.
Ayah mematikan teleponnya. Meletakkannya di meja samping kursi sofa. Menghabiskan sisa kopinya yang semakin mendingin. Membuka rokoknya yang masih terbungkus. Kemudian menarik sebatang rokok dan mulai membakarnya. Lalu menghisap rokok tersebut. Rokok pertama Ayah malam itu.