Ramli
Belum lama terungkap tindak korupsi oleh kroni Gubernur Banten Ratu Atut yang sangat menyita perhatian masyarakat. Pemberitaan pun mengemuka dengan aspek pembahasan: Korupsi Dinasti Ratu Atut atau Oligarki Ratu Atut Berujung Korupsi. Setiap sudut pandang tersebut ingin menunjukkan bahwa koruptor membutuhkan dan selalu membangun sistem secara teratur untuk melancarkan aksinya.
Pembangunan sistem korupsi tidak hanya merecoki pembentukan aturan agar bisa melanggengkan tindakan koruptor, tetapi mencakup pembentukan struktur pelaksana korupsi yang melibatkan beberapa perangkat/orang. Tujuannya tentu agar tindak korupsi berjalan lancar dan tidak mudah diketahui pihak di luar sistem. Bahayanya lagi, pengendali sistem korupsi akan mencari perangkat/orang lain yang bersedia terlibat dan mendukung tindakannya. Agar aksinya tetap berkesinambungan, upaya membangun jaringan akan terus dilakukan koruptor dalam sistem pemerintahan yang lemah “pertahanan moral” dan kental dengan persoalan uang. Jika berhasil, lambat laun kekuasaan korup akan menjadi pengendali pemerintahan.
Sebagaimana diketahui, kekuasaan mencerminkan sebuah kemampuan untuk mengendalikan demi terselenggaranya perencanaan untuk mencapai tujuan bersama. Hukum kekuasaan juga berlaku pada tindak korupsi karena membutuhkan keterlibatan beberapa perangkat/orang. Ini berarti kokohnya sebuah kekuasaan korup hanya ada dalam keteraturan sistem, yang mendudukkan setiap sub-sistem (pengikut) sebagai pihak yang setia dan patuh pada pengendali sistem (pimpinan). Jika ditelaah secara seksama, maka hubungan kekuasaan dengan korupsi sangatlah erat. Sebuah andagium Lord Acton menyatakan kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup.
Menginggat korupsi merupakan tindakan melawan hukum yang melibatkan beberapa orang, maka kebutuhan akan sebuah sistem terselubung adalah mutlak. Jika sebuah kekuasaan korup telah dalam bentuk sistem, maka korupsi akan bersifat sistemik dan sulit diurai. Untuk itu, perlu pembenahan dini terhadap sistem perangkat pemerintahan, termasuk melalui perbaikan mekanisme perkrutan penyelenggara pemerintahan.
Pembenahan Dari Dasar
Tindak korupsi mensyaratkan sistem untuk bertahan sebagai parasit sistem pemerintahan. Oleh sebab itu, pembehan dan penguatan sistem penyelenggara pemerintahan dari sejak pembentukan harus dilakukan. Tidak sekadar untuk menangkal upaya “pembusukan”, tetapi juga membentuk sistem yang kuat dan mampu memproteksi diri dari guncangan moral.
Pemberantasan korupsi saat ini masih fokus pada penindakan pelaku korupsi. Akibatnya, penyelesaian terjadi hanya pada permukaan saja. Ini berarti, belum terjadi pemberantasan korupsi secara sistemik. Buktinya, pengusutan kasus korupsi sebagai uapaya penguraian sistem korupsi masih berdasarkan kasus per kasus. Cara pengusutan juga masih didasarkan pada rangkaian peristiwa dan keterlibatan perangkat/orang, baik dari atasan hingga bawahan, atau sebaliknya. Singkat kata, upaya pemberantasan hanya pada kasus korupsi yang terlanjur ketahuan.
Mengingat korupsi dilakukan secara sistemik, maka pemberantasan seharusnya dilakukan secara sistemik pula. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menciduk pengendali sistem atau pelaku utama dari tindak korupsi, lalu dijadikan dasar mengurai sistem korupsi dalam sistem pemerintahan. Tapi upaya menyehatkan sistem pemerintahan melalui mekanisme perekrutan penyelenggara pemerintahan secara baik dan benar lebih penting dilakukan. Dengan demikian, dari dasar, sistem pemerintahan telah kokoh dan tidak mudah terperangkap jaring koruptor.
Sulitnya, paham kekeluargaan dan kekerabatan masih kental pada masyarakat Indonesia, termasuk para pengambil kebajakan terkait perekrutan penyelenggara pemerintahan. Akibatnya, sering terjadi pengangkatan penyelenggara pemerintahan tanpa melalui prosedur yang benar, misalnya pengangkatan karena alasan hubungan keluarga. Akhirnya, lahirlah kroni baru dari kekuasaan absolut, yang pasti korup. Perilaku tersebut merupakan kekeliruan, bahkan kesalahan karena mencampuradukkan kepentingan privat dengan kepentingan publik. Padahal, pengangkatan penyelenggara pemerintahan sebagai pejabat publik merupakan hak setiap orang berdasarkan kompetensinya dalam persaingan yang sehat, bukan hak turun temurun anggota kelompok atau keluarga tertentu.
Jika persoalan perekrutan penyelenggara pemerintahan tidak dibenahi, maka pemberantasan korupsi tidak akan optimal, karena hanya berefek sementara. Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan secara komprehensif, termasuk pencegahan terhadap terciptanya “tunas koruptor” karena mekanisme perekrutan penyelenggara pemerintahan yang bobrok.
Menyikapi persoalan di atas, harus dipahami bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan satu-kesatuan yang saling mempengaruhi. Korupsi pada dasarnya adalah tindakan melawan hukum berupa melakukan tindakan yang merugikan keuangan Negara untuk keuntungan pribadi dan pihak lain. Kolusi menitikberatkan pada persekongkolan yang dilakukan untuk tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi anggota kelompok semata. Sedangkan nepotisme merupakan perilaku mengutamakan seseorang berdasarkan pertimbangan ikatan kekeluargaan atau kekerabatan.
Titik berat pemberantasan kolusi dan nepotisme seharusnya selaras dengan pemberantasan korupsi. Korupsi pada dasarnya merupakan implikasi dari rusaknya sistem pemerintahan karena dikendalikan oleh penyelenggara yang tidak berintegritas dan tidak berkompeten. Mengingat sistem pemerintahan dijalankan oleh penyelenggara yang pastilah terpilih melalui mekanisme perekrutan, maka baik-buruknya mekanisme perekrutan sangat menentukan kualitas penyelenggara pemerintahan. Oleh sebab itu, pembenahan mekanisme perekrutan harus menjadi titik fokus sekarang, demi memastikan tertangkalnya tindak kolusi dan nepotisme.
Keterlibatan semua pihak dalam mewujudakan sistem perekrutan yang baik sangat dibutuhkan. Pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam regenerasi penyelenggara pemerintahan harus mampu mengadakan dan melaksanakan mekanisme perekrutan dalam menjamin terpilihnya penyelenggara pemerintahan yang berkompeten dan berintegritas, termasuk dalam penerimaan Pegawai Negeri Sipil. Di lain sisi, masyarakat juga harus bersaing secara sehat dalam mendapatkan status sebagai penyelenggara pemerintahan pada jabatan publik tertentu. Masyarakat juga harus aktif dalam mengamati dan melaporkan tindak kolusi dan nepotisme yang terjadi. Pada tataran penegakan hukum, substansi hukum dan struktur hukum harus mengakomodasi pentingnya pemberantasan kolusi dan nepotisme sama pentingnya dengan pemberantasan korupsi.
Anggapan sebagian orang bahwa korupsi telah terjadi secara sistemik tidak sepenuhnya bisa disalahkan, terbukti dengan terungkapnya kasus korupsi yang seringkali menyerat atasan dan bawahan dalam suatu sistem kerja penyelenggaraan pemerintahan. Namun, pembenahan penyelenggara pemerintahan merupakan persoalan yang penting dilakukan, mengingat terbentuknya sistem korup tidak lepas dari watak-watak korup yang tidak tertangkal dalam mekanisme perekrutan. Oleh karena itu, pembenahan sistem penyelenggaraan pemerintahan melalui mekanisme perekrutan penyelenggara yang baik, lebih baik dilakukan dibanding menyerah dengan mengatakan sistem tidak dapat diubah lagi. Meski secara langsung tidak berdampak, setidaknya lambat laun mengakhiri kekuasaan korup, hingga calon penyelenggara pemerintahan berintegritas dan berkompeten menjadi pengendali sistem selanjutnya.