Makassar, Eksepsi Online-Sejumlah perwakilan lembaga kemahasiswaan yang tergabung dalam Aliansi Unhas Bersatu mengadakan dialog publik di Pelataran Baruga A P Pettarani Unhas, Senin (20/4). Topik pembicaraan adalah Negeri di Ujung Tanduk; Masa Depan Indonesia dalam Belantara Neoliberalisme. Dialog itu menganalisis pengaruh neoliberalisme terhadap komersialisasi pendidikan, termasuk penerapan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dinilai malah memberatkan mahasiswa.
Koordinator Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas MIPA Muhammad Amri pada kesempatan itu menilai UKT sebagai dampak neoliberalisme. Indikatornya adalah pengurangan subsidi seiring pemberlakuan sistem UKT. Menurutnya, orientsi perguruan tinggi sekarang, termasuk Unhas, tidak agi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi mencari keuntungan demi menutupi kekurangan biaya operasional kampus dari pemerintah. Dengan begitu, negara menurutnya sudah lepas tanggung jawab dan kampus terpaksa mencari dana secara mandiri.
“Unhas yang notabene lembaga pendidikan, dijadikan sebagai lading jual beli jasa,” tutur mahasiswa angkatan 2011 itu,” tuturnya. “Yang kami dapat, biaya operasional Unhas itu kurang lebih 800 miliar. Dari SPP kurang lebih 150 miliar. Total untuk Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) di luar APBN dan hibah, kurang lebih 290 miliar. Itu yang harus dicari Unhas. Bagaimana cara Unhas mendapatkan 290 milliar? Diperah mahasiswa, dikasi tinggi biayanya, supaya dapat menutupi biaya operasional.”
Pemberlakuan sistem UKT menurut Amri, juga mempersulit akses calon mahasiswa dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, akibat digerus golongan menengah ke atas yang lebih diprioritaskan. Alasannya, mereka dapat memberikan sumbangsih dana yang lebih besar kepada kampus. Berdasarkan data yang ia peroleh, pada tahun 2014, golongan I dan II lebih sedikit daripada golongan III, IV, dan V yang membayar lebih.
Amri menginginkan, mahasiswa tidak apatis mengkritisi segala bentuk komersialisasi pendidikan yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa. Upaya mencabut aturan yang melegalkan komersialisasi pendidikan menurutnya perlu ditempuh, terutama melakukan yudisial review UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Katanya, Aliansi Unhas Bersatu tengah menggarap naskah yudisial review tersebut dan direncanakan rampung paling lambat Mei mendatang.
Lebih lanjut, ia mengharapkan agar birokrasi kampus lebih tegas dan berpihak pada kebutuhan masyarakat, yaitu penyelenggaraan pendidikan tinggi yang akomodatif. “Kalau saya, Unhas seharusnya ikut bersama dengan rakyat. Apa yang menjadi suara rakyat, harusnya disuarakan pimpinan kita. Jadi kalau rakyat meminta untuk diberikan akses ke pendidikan tinggi, Unhas seharusnya membuka akses selebar-lebarnya. UKT itu tidak membuka akses, malah menutup. Rakyat itu tidak butuh universitas PTNBH,” tuturnya. (RTW)