Oleh : Nurfaika Ishak
Hukum menurut para ahli mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Ibarat seekor kuda, jika sekelompok orang diminta mendeskripsikannya tentu saja jawaban mereka akan berbeda satu dengan yang lainnya. Orang pertama dapat mengatakan bahwa kuda adalah hewan beranak; orang kedua mengatakan kuda adalah makanan tradisional mereka; orang ketiga mengatakan kuda adalah kendaraan mereka; orang keempat mengatakan kuda adalah bukti kekayaan mereka, dsb. Hukum pun demikian.
Berbagai pandangan terkait “apa itu hukum” jawabannya berbeda-beda. Tak jauh berbeda dengan hukum, keadilan pun tak bisa didefinisikan secara adil. Adil bagi pihak A belum tentu adil bagi pihak B, adil bagipun pihak A dan B belum tentu adil bagi pihak C, dan seterusnya.
Berbagai pandangan terkait “apa itu hukum” jawabannya berbeda-beda. Tak jauh berbeda dengan hukum, keadilan pun tak bisa didefinisikan secara adil. Adil bagi pihak A belum tentu adil bagi pihak B, adil bagipun pihak A dan B belum tentu adil bagi pihak C, dan seterusnya.
Berangkat dari hal tersebut, aparat penegak hukum dan keadilan mempunyai tugas yang sangat berat. Mereka juga dihantui oleh rasa bersalah apabila salah dalam mengambil suatu keputusan, apalagi keputusan tersebut menjadi kunci masa depan seseorang. Seorang hakim misalnya, tentu memiliki beban yang luar biasa beratnya, terutama dalam mengambil sebuah keputusan penghukuman.
Untuk itu, ada adagium menyatakan; dua dari tiga hakim akan berada di neraka jika mereka tidak bijak dalam memutuskan suatu perkara. Prof Irwansyah (Guru Besar Fakultas Hukum Unhas) menyatakan saat membawakan Mata Kuliah Filsafat Hukum (Kamis, 9 Oktober 2013), hakim tidak hanya sebagai penafsir undang-undang, tetapi harus dapat menggali rasa keadilan masyarakat didasari ilmu yang dimiliki. Tapi harus dicatat, moral dan sensitivitas terhadap berbagai faktor sosial sangat mempengaruhi pengambilan keputusan para hakim.
Untuk itu, ada adagium menyatakan; dua dari tiga hakim akan berada di neraka jika mereka tidak bijak dalam memutuskan suatu perkara. Prof Irwansyah (Guru Besar Fakultas Hukum Unhas) menyatakan saat membawakan Mata Kuliah Filsafat Hukum (Kamis, 9 Oktober 2013), hakim tidak hanya sebagai penafsir undang-undang, tetapi harus dapat menggali rasa keadilan masyarakat didasari ilmu yang dimiliki. Tapi harus dicatat, moral dan sensitivitas terhadap berbagai faktor sosial sangat mempengaruhi pengambilan keputusan para hakim.
Meminjam data dari Mahkamah Agung (MA) per 2 januari 2012, bahwa kasus korupsi yang masuk di MA sebanyak 956 kasus. Sebanyak 40 diputuskan bebas, 348 bersalah, dan 568 belum diputus. Hal ini menunjukkan kinerja para hakim di MA belum dapat memuaskan publik/masyarakat karena lebih dari setengah kasus belum terselesaikan. Oleh karena itu, dibutuhkan pribadi yang jujur, berdedikasi, berintegritas, dan tulus berjuang untuk rakyat demi menegakkan hukum dan keadilan.