Oleh: Ramli
Rentetan peristiwa penembakan anggota kepolisian menghiasi media massa belakangan ini. Hal itu membuat keamanan masyarakat kembali terganggu. Berikut adalah 5 peristiwa penembakan terhadap anggota polisi selama Juli-September 2013:[1]
- Aipda Patah Saktiyono (53), ditembak oleh 2 orang pria tak dikenal di depan Sekolah Al-Path, Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu subuh (27/7/2013). Korban berhasil diselamatkan.
- Aiptu Dwiyatno (50), tewas ditembak orang tak dikenal yang diduga berboncengan sepeda motor di depan RS Sari Asih, Tangerang Selatan, Rabu subuh (7/8/2013).
- Rumah AKP Andreas Tulam ditembaki orang tak dikenal, berlokasi di Perum Banjar Wijaya Blok B49 No 6 Cluster Yunani, Pinang, Kota Tangerang, Selasa (13/8/2013). Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
- Aiptu Kus Hendratna (44), tewas ditembak oleh 2 orang tak dikenal di depan Masjid Bani Umar, Jalan Graha Raya Bintaro, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jumat (16/8/2013). Bripka Ahmad Maulana (35) kemudian juga tewas ditembak setelah berupaya mengejar pelaku bersama 3 polisi lainnya.
- Bripka Sukardi (46), tewas ditembak orang tak dikenal bersepeda motor di depan gedung KPK, jalur lambat Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2013).
Peristiwa terakhir yang terjadi adalah penembakan Briptu Ruslan Kusuma, pada tanggal 13 September, yang ditembak oleh orang yang tidak dikenal di kawasan Jalan Raya Bogor, Cimanggis, Depok. Dia berhasil selamat, namun motor Kawasaki Ninja 250cc miliknya dibawa kabur pelaku.
Aspek yang Perlu Ditelaah
Tidak terbantahkan lagi bahwa maraknya peristiwa penembakan polisi menimbulkan kerisauan bagi masyarakat, khususnya aparat kepolisian yang terindikasi menjadi sasaran. Serangan “gelap” tersebut menimbulkan kesan bahwa tidak ada jaminan keamanan bagi siapapun. Aparat kepolisian sebagai pengemban pemeliharaan ketertiban dan keamanan masyarakat mengalami degradasi wibawa. Pelaku penembakan tidak lagi menyerang warga sipil yang lemah dalam pertahanan diri, tetapi secara terorganisir menyerang aparat kepolisian yang nyata-nyata mempunyai sarana pertahanan diri yang baik. Dari 6 kasus penembakan terhadap aparat kepolisian, 4 orang polisi meregang nyawa.
Pertanyaan akan muncul, mengapa aparat kepolisian yang menjadi sasaran? Tentu karena pihak kepolisian adalah pengayom rakyat, sehingga mengalahkan pihak kepolisian dengan sendirinya mengalahkan masyarakat. Mereka (pelaku penembakan) tidak lagi menjadikan anggota masyarakat sebagai sasaran, cukup dengan penembakan aparat kepolisian, tujuan mereka tercapai, yaitu menimbulkan ketakutan dan ketidakamanan.
Melihat rentetan peristiwa penembakan yang terjadi, maka dalam kronologi waktu, dapat dilihat bahwa 6 kasus penembakan terjadi dalam 3 bulan saja. Interval waktunya dimulai tanggal 27 Juli-13 September 2013. Padahal sebelumnya, peristiwa seintens itu belum pernah terjadi. Hal ini mengindikasikan gencarnya tindakan dari sebuah kelompok terorganisir bertujuan menimbulkan ketatakutan dan kekacauan dalam masyarakat. Jika sebelumnya penembakan aparat kepolisian terjadi dalam rentang waktu yang lama, sekarang terjadi secara beruntun. Peristiwa tersebut mempertegas bahwa pelaku memang bertujuan menimbulkan teror.
Aspek lain yang dapat menjadi objek identifikasi adalah lokasi kasus penembakan yang terjadi di kawasan Jabodetabek. Sebelumnya, teror yang terjadi menyebar di beberapa daerah, bahkan di bagian pelosok. Tentu ini dapat menjadi pertanda bahwa kelompok pelaku tidak lagi beraksi di kawasan “pinggiran”, tetapi telah merambah hingga pusat kota. Jika sebelumnya aksi mereka dianggap pengecut, dengan wilayah teror sekarang, tujuan mereka agar lebih banyak anggota masyarakat yang merasakan shock. Dengan cara ini, mereka berusaha menunjukan bahwa mereka tetap eksis.
Analisis Indikasi Motif Penembakan
Dari pengantar di atas, kasus penembakan tersebut dapat dikategorikan aksi teror secara terorganisir. Meskipun belum terungkap apa motif pelaku (karena belum ada pelaku yang tertangkap), fakta peristiwa memberikan petunjuk bahwa pelaku adalah kelompok yang tidak sepaham dan tidak senang dengan kepolisian. Jika ingin mengetahui kelompok pelaku secara spesifik, kita dapat berangkat dari pengamatan, kelompok-kelompok apa yang selama ini merasa risih dengan kinerja penegakan hukum oleh aparat kepolisian?
Menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat mencap kelompok remaja nakal seperti geng motor, kelompok preman, dan kelompok pelaku kejahatan seperti sindikat peredaran narkotika. Mereka tentu merasa keberadaan pihak kepolisian mengungkung kebebasan untuk melakukan aksi-aksi. Dengan demikian, menciptakan momok yang menakutkan hingga pihak kepolisian tidak lagi “garang” dalam melaksanakan fungsinya, menjadi tujuan mereka.
Kelompok terorganisir lain yang terindikasi sebagai pelaku adalah kelompok teroris berbasis ideologi radikal. Sejumlah kelompok teroris sedari dulu memang menjadi pelaku penembakan, terbukti dengan tertangkapnya beberapa pelaku. Perjuangan mereka yang didasarkan pada paham tertentu sangat sulit untuk diberantas, terlebih gencarnya mereka melakukan doktrinisasi ideologi secara senyap. Kolompok ini tentu merasa perlu melakukan teror agar realisasi ideologi yang mereka yakini tidak terbendung oleh pihak kepolisian. Melalui aksi teror, mereka ingin memunculkan kesan perjuangan tanpa henti kepada kepolisian, menggoyahkan keberanian aparat kepolisian, demi tujuan ideologis.
Berdasarkan indikasi seperti di atas, pihak yang berwajib seharusnya mampu melakukan investigasi secara mendalam dengan fakta-fakta yang ada. Melihat motif secara umum dapat menjadi dasar pijakan untuk menemukan kelompok pelaku, yaitu dengan merangkum karakteristik dari setiap kasus penembakan yang terjadi. Tindakan pengecoh tentu dapat disusupkan pada setiap kasus untuk membuyarkan motif kelompok pelaku. Kasus penembakan terakhir yang disertai dengan pengambilan motor korban selayaknya diantisipasi, jangan sampai itu hanya untuk membuat kekaburan motif. Landasannya, Jika dipikir, seseorang akan memilih mencuri tanpa ketahuan, tidak secara terbuka melakukan kebrutalan terlebih dahulu. Selain itu, aksi seperti penembakan lazimnya sebagai upaya perlawanan, bukan “langkah pertama” untuk melancarkan aksi.
Tindakan yang Harus Dilakukan
Pencegahan aksi-aksi teror harus menjadi langkah awal dalam melakukan pemberantasan, tentunya dengan menutup akses sarana dan prasarana yang dapat melanggengkan aksi teror, tentunya bagi pihak yang tidak bertanggungjawan. Salah satu yang perlu dilakukan pengetatan adalah pemilikan senjata. Aturannya pun telah ada, diantaranya UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948, Perpu Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut Perundang Undangan Mengenai Senjata Api, serta SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik.
Kepemilikan senjata api dalam beberapa ketentuan telah mensyaratkan aspek usia, keterampilan penggunaan senjata, kualitas fisik dan mental, tidak pernah dipidana, serta kepentingan kepemilikan senjata. Selain itu juga ditetapkan ketentuan administrasi yang harus dilalui. Meskipun demikian, kepemilikan senjata yang legal tidak menjamin penggunaannya secara tepat, sehingga perlu pengawasan dan evaluasi kepemilikan senjata api secara baik dan berkala.
Penembakan aparat kepolisian dengan senjata api telah membuktikan bahwa mekanisme kepemilikan senjata api masih longgar di tahap implementasi aturan. Kalau pun tidak demikian, dapat saja senjata diperoleh dari pembuatan senjata api secara ilegal. Untuk itu, diperlukan pula upaya pihak kepolisian untuk melakukan pelacakan pabrik senjata ilegal, ataupun pemantauan secara berkala terhadap pabrik-pabrik pembuatan senjata legal.
Melihat dampak teror yang sangat meresahkan, peran intelejen sebagai pihak yang bertugas melakukan deteksi dini terhadap ancaman keamanan negara, seharusnya bertindak secara maksimal. Tidak untuk menyatakan terlambat. Namun fakta-fakta kasus yang ada seharusnya menjadi dasar pengamatan pihak intelijen negara, tentunya dengan mengkoordinasikan dengan institusi keamanan lainnya. Deteksi dini dan penindakan terhadap kelompok pelaku harus segera dilakukan untuk menigkatkan kembali wibawa institusi pemelihara keamanan.
Selain itu, seluruh anggota masyarakat harus berperan aktif untuk mencegah tindakan teror. Setidaknya mengamati lingkungan mereka, lalu melaporkan kepada pihak yang berwajib jika ada indikasi keberadaan kelompok pelaku teror. Dalam lingkup masyarakat, pengembangan kegiatan sosial yang positif harus dilakukan, sehingga menghilangkan kecenderungan anggota masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan negatif. Peran pengambil kebijakan kemasyarakatan sangat diperlukan untuk melaksanakan pendidikan toleransi dan pluralisme di tengah-tengah masyarakat, khususnya untuk membendung penyebaran paham radikal yang melegalkan tindakan teror. Secara khusus, masyarakat harus peka dan menghindari doktrin sesat oleh kelompok teroris.
[1] Rahardian P. Paramita. 2013. 5 Kasus Penembakan Polisi dalam 3 Bulan Terakhir. http://beritagar.com/p/5-kasus-penembakan-polisi-dalam-3-bulan-terakhir-8785. Diakses pada hari Minggu tanggal 15 September 2013.