Makassar-Eksepsi Online. Rabu (23/12), Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) menggelar diskusi bertempat di Pelataran Baruga AP. Pettarani Unhas dengan mengangkat isu yang belakangan sedang ramai diperbincangkan, yaitu tentang larangan aktivitas malam di lingkungan Kampus Unhas dengan Tema “larangan Aktivitas Malam; Regulasi atau Instruksi?”.
Diskusi tersebut menghadirkan salah satu dosen Ilmu Politik Unhas, yaitu Endang Sari, S.IP, M.Si dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Sospol), Saleh Hariwibowo sebagai pembicara.
Larangan Aktivitas malam terdapat dalam Keputusan Rektor Unhas Nomor 1595/UN4/05.10/2013 tentang Kode Etik Kehidupan Kampus, yaitu pada Pasal 7 ayat (2) bahwa, Melakukan Aktivitas pada pukul 22:00-06:00 Wita harus mendapat izin pimpinan Universitas atau pimpinan Fakultas yang bersangkutan.
Endang Sari menjelaskan bahwa kajian politik tidak pernah terlepas dari kebijakan politik. Kebijakan politik sendiri tidak pernah bisa dilepaskan dari berbagai sektor kehidupan masyarakat. Dalam membuat kebijakan sendiri harus memenuhi beberapa aspek atau parameter penting, seperti partisipasi publik, kebebasan dan equality serta equity.
Pada diskusi yang dihadiri oleh Mahasiswa Unhas lintas fakultas tersebut, dijelaskan bahwa ada dua asumsi utama yang menyebabkan diberlakukannya larangan aktivitas malam di Unhas, yaitu persoalan efisiensi biaya listrik dan terjadinya kericuhan antar mahasiswa Fakultas MIPA dan Fakultas Teknik Unhas beberapa waktu yang lalu.
Namun, menurut Endang yang kebijakan tersebut terlalu menghakimi mahasiswa. “Kebijakan ini terlalu melihat sempit aktivitas mahasiswa, sehingga kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang bersifat overgeneralisir. Padahal suatu kebijakan tidak boleh seperti itu,” tambahnya.
Menurutnya, kehidupan kampus adalah potret kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Layaknya masyarakat, di kampus pun ada berbagai aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, termasuk aktivitas di malam hari.
“Bahkan ada beberapa unit kegiatan mahasiswa, seperti SAR dan unit kegiatan lain yang bergerak di bidang penyelamatan yang memang harus standby 24 jam di kampus. Bagaimana dengan yang seperti mereka?” imbuhnya. Jika setiap aktivitas malam harus dimintakan izin terlebih dahulu, dipandang akan lebih menyulitkan oleh Endang. Terlebih jika pejabat yang harus bertanda tangan tidak ada di tempat atau berbagai hal yang akan menghambat nantinya. Pun mengingat sistem pelayanan di Unhas yang seringkali menyulitkan.
Menurut Saleh, jika alasan diberlakukannya jam malam adalah karena terjadinya pembengkakan biaya listrik, maka terlebih dahulu harus diaudit . “Jelas harus diaudit dulu. Apakah benar karena adanya aktivitas malam mahasiswa sehingga terjadi pembengakakan biaya listrik? Karena bisa saja justru pengguna listrik terbesar di Unhas adalah rektorat sendiri,” tuturnya.
Saleh memandang hal ini sebagai dampak dari status Unhas yang telah menyandang status PTN-BH. Status tersebutlah yang menyebabkan Unhas harus berhemat dari berbagai segi. Selain karena permasalahan pembengkakan biaya listrik, diasumsikan pula larangan altivitas malam lahir karena adanya kriminal mahasiswa. Sehingga anggota TNI dan Polisi pun masuk ke Unhas untuk mengatasi hal tersebut. Namun, manurut Saleh tetap saja kebijakan jam malam terlalu meng-overgeneralisirkan masalah. “Saya yakin, tindakan kriminal tidak hanya terjadi di malam hari. Bukankah selama ini justru lebih banyak terjadi di siang hari? Kalau begitu mengapa tidak diberlakukan juga jam siang?” ujarnya sembari bercanda.
Beberapa waktu lalu setelah terjadinya konflik antara mahasiswa Fakultas MIPA Unhas dan Fakultas Teknik Unhas terjadi, Wakil Rektor III bersama dengan Satpam Kampus dan TNI beserta Polisi melakukan penyisiran ke beberapa fakultas pada malam hari. Dan meminta mahasiswa yang ditemuinya untuk segera meninggalkan kampus. Hal tersebut menjadi salah satu poin pembahasan pada diskusi sore hari kemarin. Menurut kedua pemateri, kampus sebagai aparatus ideologis memiliki otonomi khusus atas wilayahnya. Sehingga, tidak semestinya dimasuki oleh aparatus represif, yaitu TNI dan Polisi. Pendapat berbeda lalu terlontar dari salah satu peserta diskusi, Asrullah mahasiswa Fakultas Hukum.
Menurutnya, dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan beberapa tugas utama Polri, yaitu : 1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. menegakkan hukum; 3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
“Penafsiran inilah yang kemudian digunakan oleh birokrasi mengundang alat kelengkapan negara, yaitu TNI dan Polisi. Mengingat bahwa mahasiswa adalah bagian dari masyarakat,”jelasnya.
Pendapat berbeda disampaikan Endang, “Sependek pengetahuan saya tentang hukum, hanya ada dua hal yang tidak bisa diganti di Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Selebihnya boleh untuk diganti. Bahkan, Undang-undang Dasar pun jika dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat masih bisa untuk diamandemen, apalagi jika hanya aturan yang ada di bawahnya,” jelasnya.
Pada diskusi tersebut, Endang menjelaskan bahwa kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dibuat berdasarkan pada hasil riset yang dilakukan terlebih dahulu. Ia memandang bahwa kebijakan mengenai pemberlakuan jam malam tidak berdasar pada riset. Oleh karena itu, sekaligus menantang kepada peserta diskusi yang notabenenya adalah mahasiswa, jika memang tidak menginginkan larangan aktivitas malam diberlakukan di Unhas, maka mahasiswa harus menunjukkan hasil riset bahwa mahasiswa tidak sepakat akan hal tersebut.
“Teman-teman harus punya bukti bahwa larangan ini tidak sewajarnya untuk diberlakukan, yaitu melalui riset. Contohnya dengan membuktikan bahwa kalian bukanlah merupakan pengguna listrik tersebesar di Unhas,” tantangnya.
Alternatif lain lalu diutarakan oleh Wahyudi Kasrul, mahasiswa Fakultas Hukum yang merupakan salah satu peserta Diskusi. Menurutnya, dalam kehidupan bernegara dikenal judicial review, sayangnya sistem tersebut tidak dikenal di Unhas. Namun, selain judicial review juga dikenal executive review, yakni kewenangan pejabat untuk melakukan pengujian terhadap suatu norma. “Lewat cara ini kita dapat meminta dicabutnya larangan aktivitas malam tersebut. Tetapi kita harus mampu menunjukkan kepada pihak birokrat bahwa kita, mahasiswa dapat menjaga ketertiban dalam aktivitas malam kita.” (Am & Oen)