web analytics
header

Sistem Pendidikan Gagal Mencerdaskan Bangsa

Oleh: Ramli

(Anggota Divisi Litbang LMPH-UH Periode 2012-2013)

Negara ini sedang mengalami krisis kepemimpinan, silih berganti pemimpin namun tidak ada perubahan yang berarti. Masyarakat yang tidak punya akses untuk memegang kekuasaan, termasuk masyarakat kelas bawah yang tidak mungkin memegang jabatan karena tidak memenuhi persyaratan formal (ijazah), semakin dibuat kesal dengan stagnasi tersebut. Tentu bagi mereka, tidak berlaku hak untuk dipilih, hanya sekedar memilih, meskipun mereka punya semangat perubahan. Akhirnya, harapan mereka tumpukan orang yang mengenyam pendidikan formal. Namun celakanya, bakal pemimpin tersebut, nantinya luntur juga integritasnya jika berpapasan dengan harta dan tahta.
Para pejabat publik pastilah orang yang sudah melalui proses pendidikan formal, namun tak  terjaminan mereka terdidik untuk menjadi pemimpin. Salah satu bukti buruknya integritas para pemimpin tersebut dapat dilihat dari maraknya kasus korupsi. Korupsi yang sarat dengan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan, tentu hanya dapat dilakukan bagi yang punya akses terhadap jabatan, yaitu mereka yang berijazah. Semakin lama, kebutuhan kerja di sektor negeri atau swasta semakin meningkatkan persyaratan jenjang pendidikan untuk bisa menjadi pegawai. Tentulah hal itu hanya diukur dengan melihat ijazah. Ijazalah telah menjadi penentu masa depan seseorang di masa sakarang.
Jika jujur melihat, yang perlu menjadi perhatian adalah; apakah sistem pendidikan yang diterapkan sekarang sudah menjamin untuk pencetak pemimpin yang ideal untuk bangsa ini? Ataukah sistem pendidikan bersifat formal-skriptual semata, lalu mengesampingkan pentingnya nilai kepribadian yang luhur?
Konstitusi telah mengamanahkan kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerdas mengandung makna baik budi dan kritis pemikiran. Sedangkan kehidupan berarti cara menjalani hidup. Dengan demikian diharapkan pemerintah mengupayakan segala usaha untuk mewujudkan pribadi warga negara yang mampu menjalani hidupnya dengan baik, dengan menggunakan akal dan budinya.
Pasal 31 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Dalam ayat tersebut, tersirat harapan untuk menyeimbangkan pematangan aspek spiritual, emosional dan intelektual.
Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka I UU No. 20 Tahun 2003 dinyatakan, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Tapi jika dilihat penerapannya, sistem pendidikan lebih memfokuskan pengembangan hanya pada aspek aspek kognitif (daya pikir). Pernyataan ini bukan tanpa alasan, dapat dilihat dengan dilaksanakannya Ujian Nasional (UN) yang hanya mengevaluasi kemampun berfikir, bahkan lebih kepada daya hafal.
Parahnya lagi, aspek yang sangat berpengaruh dalam membentuk sosok pemimpin yaitu aspek afektif (nilai dan sikap) dan psikomotorik (keterampilan) disepelekan dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal itu jelas dengan evaluasi kualitas pendidikan memalui UN yang mengesampingkan penilaian aspek keluhuran budi dan keterampilan peserta didik. Perkembangan psikomotorik hanya dapat dinilai melalui praktik langsung, tidak melalui UN yang lebih kepada penghafalan dan penulisan konsep. Tidak heran jika banyak lulusan pendidikan formal tidak mengetahui fungsi dan aktualisasi pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Hal itu sama tragisnya dengan aspek afektif yang sama sekali tidak dihiraukan dengan prosesi UN. Padahal aspek inilah yang harus dikembangkan untuk menciptakan pemimpin yang berintegritas.
Perkembangan peserta didik tentu hanya diketahui secara mendalam oleh para pendidik. Oleh karena itu, seharusnya pendidik diberikan otoritas untuk melakukan evaluasi dan menentukan kelulusan anak didik. Adapun hasil UN, layaknya dijadikan mekanisme oleh pemerintah untuk melihat kualitas penyelenggaraan pendidikan nasional dan dijadikan dasar perbaikan penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah hanya perlu menetapkan kurikulum pendidikan nasional yang baik, jika yang dipersoalkan adalah keseragaman tingkat capaian satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu di seluruh Indonesia.
Berdasarkan gambaran di atas, sudah selayaknya UN dihapuskan. Alasannya, karena sama sekali tidak adil bagi peserta didik dan hasilnya (ijazah) tidak  merepresentasikan kualitas peserta didik. Sistem pendidikan seharusnya ditujukan untuk mencerdaskan peserta didik sebagai bakal pemimpin yang kelak memegang kendali kehidupan bangsa.

Related posts:

Mufakat: Musyawarah Cepat tapi Cacat

Oleh: Alif Ahmad Fauzan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) Berangkat dari seutas pertanyaan yang sampai sekarang tak terjamah di grup