Oleh : M.N. Alamsyah Shahib T.
( Ketua Umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Makassar )
Pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari kritik dari berbagai pihak, baik kritik yang sifatnya konstruktif maupun yang sifatnya dekonstruktif. Hal ini sesuai dengan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini yang belum sesuai dengan harapan masyarakat. Adanya kritik pada dasarnya patut kita berikan apresiasi, karena ini bukti bahwa masyarakat masih menginginkan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi baik.
“Masih untung ada yang mengkritik karena ini bukti bahwa masih ada kinerja yang kita lakukan.”
Ungkapan di atas sering saya sampaikan kepada teman-teman organisasi saya. Ungkapan di atas juga tepat untuk Pemerintah saat ini, upaya yang dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia pastinya ada, namun upaya tersebut tidak serta merta dapat memperbaiki kualitas pendidikan kita. Disinilah peran kritik yang diberikan masyarakat, dapat di jadikan bahan evaluasi dari upaya yang dilakukan.
Sejarah pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari hegemoni para penjajah yang sempat menjajah Indonesia (dulu Hindia– Belanda). Pada masa penjajahan Belanda misalnya mendirikan beberapa sekolah untuk menyebarkan agamanya yaitu protestan. Sekolah diyakini Belanda merupakan media untuk menyebarkan agama mereka untuk menggantikan agama Khatolik yang dibawah oleh bangsa Portugis. Namun, kalah itu pendidikan hanya untuk kalangan – kalangan tertentu saja. Hal ini kemudian melahirkan strata sosial pada lingkungan masyarakat. Diskriminasi yang dilakukan bangsa Belanda ini kemudian melahirkan penindasan – penindasan pada masyarakat yang memiliki garis keturunan biasa.
Jika kita melihat realita pendidikan Indonesia saat ini, kita dapat menemukan kesamaan pendidikan di masa penjajahan Belanda denga masa sekarang. Secara substansial pendidikan di Indonesia masih mendiskriminasi masyarakat kalangan bawah dan juga masyarakat yang tinggal di pedesaan. Masyarakat kalangan bawah tidak dapat menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah dengan kualitas yang baik karena faktor biaya sama halnya masyarakat yang tinggal di pedesaan hanya dapat pasrah dengan kualitas sekolah yang ada di desanya untuk para buah hatinya, belum lagi mereka yang tinggal di pelosok sekolah dengan kualitas yang baik dan fasilitas yang lengkap merupakan mimpi yang sulit untuk diwujudkan sehingga banyak di antara mereka memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya karena berasumsi sekolah tidak dapat mengubah hidup mereka.
Pemerintah dengan berbagai upaya yang dilakukan belum bisa memberikan kepuasan kepada masyarakat. Baik itu melalui wajib belajar Sembilan tahun, dana BOS, serta uang kuliah tunggal (UKT) pada mahasiswa. Penulis mengajak para pembaca untuk mencoba menganalisa kualitas pendidikan yang diberikan sekolah dengan biaya yang tinggi dengan sekolah gratis atau sekolah yang mendapat tunjangan dari Pemerintah. Sekolah dengan biaya tinggi tentunya memberikan jaminan kwalitas baik dari segi infrastruktur maupun dari segi tenaga pengajar, hal ini merupakan konsekuensi dari biaya tinggi yang wajib di bayar siswa. Jadi, tidak heran jika banyak dari siswa–siswi dari sekolah tersebut dapat berprestasi karena segala aspek kebutuhan siswa dapat terpenuhi. Namun, sekolah dengan biaya tinggi tentunya tidak dapat dijadikan sebuah pilihan bagi masyarakat yang penghasilannya hanya cukup untuk makan per harinya. Apa bedanya dengan pendidikan yang diperkenalkan Belanda ?
Sekolah gratis atau sekolah yang mendapatkan tunjangan dari pemerintah merupakan salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Inilah yang kemudian menjadi pilihan bagi masyarakat yang penghasilannya pas-pasan untuk menyekolahkan anaknya. Namun, pertanyaannya bagaimana dengan fasilitas yang diberikan?
“Biaya yang dikeluarkan berbanding lurus dengan fasilitas yang diberikan.”
Ungkapan di atas dapat menjadi representasi dari pendidikan di Indonesia. Masyarakat yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah dengan biaya yang murah (gratis) tentunya sulit untuk menutut lebih kepada pihak sekolah. Inilah juga yang membuat sekolah – sekolah dengan biaya yang murah memberikan fasilitas yang apa adanya mulai dari fasilitas yang tidak lengkap, juga dengan tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan keahliaannya. Sehingga tidak heran jika output yang dihasilkan tidak dapat mengijabah ekspektasi dari orang tua murid. Jadi, jangan heran jika banyak masyarakat kelas bawah lebih memilih anaknya kerja dibanding sekolah.
Pemerintah harusnya cakap melihat realita yang terjadi di lapangan, pemerataan pendidikan bukan hanya semua masyarakat dapat merasakan pendidikan. Tapi, kualitas dari pendidikan yang diberikan harus sama, baik dari kelengkapan fasilitas maupun dengan kualitas pendidik. Jangan sampai sekolah dengan biaya murah hanya sebagai upaya Pemerintah untuk menenangkan masyarakat sebagai bukti bahwa Pemerintah masih tetap peduli akan pendidikan bagi masyarakat kelas bawah padahal fasilitas yang diberikan apa adanya.
Permasalahan di atas merupakah salah satu dari banyaknya permasalahan pendidikan di Indonesia. Belum lagi sistem pendidikan di Indonesia yang “obscure” yang memaksa murid mengetahui segalanya sehingga output-nya tidak maksimal. Di Finlandia, negara yang saat ini memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, tidak membebani para muridnya untuk mengetahui semua bidang. Melainkan hanya memberikan pilihan kepada murid bidang apa yang di sukai. Hal ini patut dicontoh oleh Pemerintah Indonesia.
Pendidikan yang berkemajuan merupakan saran dari penulis untuk pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang ada di Indonesia saat in masih berputar pada pendidikan yang diperkenalkan Belanda. Pendidikan yang berkemajuan tidak terlepas dari konsep negara Indonesia. Pendidikan yang berkemajuan dimaksud di sini juga tidak terlepas dari makna Islam Berkemajuan (pandangan Islam yang Berkemajuan Tanfidz Muktamar se-Abad Muhammadiyah) Pendidikan yang berkemajuan di harapkan dapat memancarkan pencerahan bagi kehidupan. Penulis menyarankan kepada pemerintah untuk dapat mengoptimalkan semua sekolah – sekolah yang ada di Indonesia tidak fokus pada satu tempat saja. Optimalisasi yang dimaksud di sini adalah upaya menyamaratakan kualitas sekolah – sekolah yang ada tanpa adanya diskrimasi sehingga hal ini dapat memberikan angin sejuk dan mencerahkan bagi masyarakat kalangan bawah.
Anggaran pendidikan senilai Rp. 419,2 triliun atau 20% dari total belanja Negara Rp. 2095,7 triliun diyakini penulis dapat digunakan untuk merealisasikan “pendidikan yang berkemajuan” di Indonesia ini. Dana yang sangat besar tersebut jika di optimalkan penggunaanya dapat menjadi penopang terwujudnya Pendidikan yang mencerahkan bagi masyarakat. Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis sekali lagi menekankan bahwa kritik yang ada dari berbagai pihak merupakan bukti kepekaan masyarakat terhadap kondisi pendidikan saat ini. Sejatinya Pemerintah tinggal meyeleksi dan mengevaluasi upaya yang dilakukan untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.