Perwakilan Walhi hadir sebagai pemateri seminar lingkungan KOPHI |
Makassar, Eksepsi Online-Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengadakan seminar lingkungan membahas dengan tema Permasalahan Umum Lingkungan di Kota Makassar. KOPHI Sulsel yang dibentuk sekitar bulan Desember 2012 merupakan cabang dari KOPHI Pusat di Jakarta yang terbentuk 28 Oktober 2010. Seminar tersebut berlangsung di Gedung PKP Unhas, pukul 10.20 Wita, Senin (29/4). Hadir sebagai pembicara tunggal adalah Ni Putu Dewi Damayanti, S.Kom mewakili Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawaesi Selatan. Meskipun diundang oleh pihak panitia, namun tidak ada perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup yang hadir.
Acara yang disponsori oleh Yayasan Kalla ini diadakan untuk memperkenalkan KOPHI sulsel. KOPHI yang merupakan tidak berada di bawah naungan birokrasi dijalankan sekitar 40 orang pengurus. Meskipun demikian, KOPHI terbuka bagi siapa saja yang peduli terhadap lingkungan dan ingin jadi voluntir. “Kami lebih kepada aksi daripada teori. Jadi kegiatan yang kami lakukan berhubungan dengan pengabdian masyarakat, termasuk meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap kelestarian lingkungan,” ungkap Gusmar Dwi Santoso, Wakil Ketua Panitia yang diwawancarai sebelum acara berlangsung.
Dalam pemaparannya, Dewi mengurai beberapa permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini, terutama penyebabnya. Diantaranya mengenai polusi udara, banjir, sampah, pemanasan global, dan reklamasi pantai.
Menurutnya, masalah polusi saat ini sudah sangat akut, dibuktikan dengan posisi ketiga Indonesia sampai saat ini sebagai penyumbang polusi udara setelah Amerika dan China. Bahkan secara khusus, kota Makassar merupakan salah satu kota/kabupaten penyumbang polusi terbesar di Indonesia. Sumber utama polusi udara adalah pembakaran hutan dan hasil pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan. Polusi udara merupakan salah satu penyebab pemanasan global yang menjadi kekhawatiran masyarakat dunia sekarang. Dampak dari pemanasan global tersebut adalah naiknya permukaan laut akibat mencairnya es di daerah kutub bumi, menurunnya produksi pertanian akibat gagal panen, dan makhluk hidup terancam punah. Selain itu, penyebab pemanasan global penggunaan pupuk organik secara berlebihan serta gas metana dari aktivitas peternakan dan pertanian.
Seringnya terjadi banjir di kota Makassar ketika musim hujan, menurut Dewi merupakan dampak dari perilaku individu dan pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan. Diantaranya adalah kurangnya daerah resapan, maraknya pembangunan menggunakan beton, irigasi yang buruk, penebangan pohon, dan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Menanggapi hal tersebut, menurut Dewi, yang harus dilakukan adalah mengupayakan penataan ruang kota secara tepat sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tantang Penataan Ruang. Salah satu amanat undang-undang tersebut adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota/kabupaten. Kota Makassar dengan luas 175,77 km2 hanya memenuhi RTH seluas 5%. Tindakan lainnya adalah memberikan edukasi dan memfasilitasi pengelolaan sampah secara tepat kepada masyarakat sesuai konsep 3R (reduce, reuse, dan recycle). “Tujuan yang ingin dicapai adalah masyarakat mampu mengelola sampah yang banyaknya 500 ton/hari di kota Makassar dengan konsep 3R,” ungkapnya, Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Alam Walhi Sulsel.
Mengenai upaya pemerintah kota untuk menjadikan Makassar sebagai kota dunia, Dewi menilai hal itu masih jauh dari kenyataan. Salah satu alasannya adalah ketidakjelasan mengenai konsep Makassar sebagai Kota Dunia. “Haruskah kita mengembangkan industri dan teknologi demi predikat kota dunia dengan mengabaikan kelestarian lingkungan? Seharusnya pemerintah membuat regulasi dan melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan, tidak memberikan kebebasan kepada kapitalis untuk mengembangkan usahanya yang merusak lingkungan,” tegas Dewi. (RTW)