Mohammad Supri (Dewan Pers LPMH-UH)
Akhirnya kerinduannya akan kampung halaman terobati. Setelah enam tahun lamanya di negeri perantauan, Jeani kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Cukup banyak hal yang berubah. Mulai dari gedung-gedung bertingkat, tempat hiburan dan prostitusi sampai rumah api yang membuat orang-orang terdongak. Terakhir, terlihat di salah satu stasiun televisi sebagai rumah api termahsyur seantero negeri.
Dari anjungan kapal yang ditumpangi, Jeani menyapu pandangan, memperhatikan lampu-lampu Pulau kelahiran yang gerlap gemilang melawan langit gelap. Sorotan lampu mercusuar mahsyur tersebut menembus pertikel debu langit, membuat pulau terlihat hidup dan tengah menampilkan hiburan sirkus.
Tiupan angin laut membelai rambutnya, terbungkus Jaket dan shal tampaknya tak cukup membendung sejuknya angin malam yang meniup dari mulut langit malam. Perasaannya tengah bercampur aduk saat ini, sedih namun bahagia sedang berkecamuk dalam batinnya. Segala kebanggaan sebagai seorang Mahasiswi, juga dirinya di labeli sebagai aktivis perempuan oleh rekan seperjuangannya, harus segera ia tanggalkan menyusul alam yang nyata, dunia kerja. Berkat aktivitas tersebutlah, dirinya harus sedikit terlambat menyelesaikan studi. Meski rasa bersalah terhadap kedua orang tuanya terobati, dengan titel kebanggaan bersanding di ujung namanya. Nama orang tuanya akan terkenang di kalangan penduduk desa, sebagai orang tua pertama yang sukses menguliahkan anak Perempuan di desanya. Kromo tentang perempuan yang tak akan sukses jika merantau, telah dipatahkan oleh orang tua Jeani.
Malam pekat dengan sedikit sinar rembulan, membuat bintang-bintang riang meramaikan cakrawala. Jeani merenung. Tatapannya kosong membelah laut cina selatan. Terkenanglah dia dengan dosa yang ia perbuat pada kedua orang tuanya. Tak terhitung berapa banyak kebohongan yang telah ia perbuat pada ibu dan ayahnya. Kepingan-kepingan ingatan mulai berkelebat dalam pikirannya.
*****
Suara perempuan tua tersedak-sedak pada talian seberang. Dari speaker telepon genggam, terdengar samar-samar suara tangisan. Sebuah percakapan penuh kesedihan antara seorang Ibu dan anak perempuannya.
“Cepatlah pulang Jen, sudah berapa tahun ini mamak tak lihat wajahmu,”
“Tunggulah sebentar lagi Mak. Akan ku usahakan bulan ini bisa pulang.”
“ Tengoklah si bungsu, hanya namamu saja dia tau. Pulanglah Nak, ingat-ingat juga keluargamu.”
Di tengah percakapan, terdengar suara seorang anak laki-laki menyela, menyebut-nyebut namanya. Jeani tersenyum pahit. Adik bungsunya berumur 4 tahun, tak pernah bertemu langsung dengannya. Hanya bertukar suara lewat telepon, tak cukup melepas kerinduan. Demi bertemu si Bungsu, inilah yang memotivasi dirinya untuk segera menyelesaikan studi.
Talian terputus tanpa salam dan dengan tergesa-gesa. Jeani memutus talian karena seorang suara seorang laki-laki memanggilnya. Dialah Fatih. Jeani dan dirinya merupakan sepasang kekasih yang tengah menjalani hubungan. Eksepresi Fatih tampak tak bersahabat, tangannya menggenggam, siap menampar Jeani. Sekali ayun, tangan kerempeng itu mendarat di pipi kirinya, membuat Jeani tersungkur. Matanya merah, nafas tersengal-sengal. Dia meraih telepon genggam dari kantong celananya, dan mengarahkan tepat di hadapan Jeani, hampir menempel diwajahnya. Dari layar telepon itu, tampak foto seorang laki-laki bergamit mesra dengan Jeani.
“Apa Ini!” bentak Fatih
“Cuma kawan dari fakultas sebelah,” jelas Jeani masih menahan perih di pipinya.
“Hah? Kawan? Lantas mesra begini?”
“Betul. Cuma kawan.”
“Begitu. Maaf saja, Jen. Sudahlah.
“Sebentar. Saya bisa jelaskan semuanya.”
“ Tak Perlu. Terus berbanggalah dengan kebesaranmu, Jen. Cukuplah dengan kita!”
Tampaknya kemarahan Fatih tak terbendung. Kesabarannya telah habis diperlakukan demikian oleh perempuan yang sangat dicintainya. Menjalin hubungan dengan penggiat gerakan, nampaknya adalah pilihan yang salah. Baginya cukup, selama ini desas-desus bahwa Jeani adalah seorang Player, Istilah bagi seorang yang sering bertukar-tukar pasangan, bukanlah bualan belaka. Lima tahun bertahan dalam kebiasaan buruk pasangannya, tentu hal tersulit. Baginya hari ini terang semua persoalannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang mereka bangun bersama, sejak keduanya menginjak bangku kuliah.
Demikian pula dengan Jeani, Ia menyesal telah memperlakukan seorang laki-laki seperti Fatih. Memang dirinya adalah seorang Player. Namun perasaannya pada Fatih adalah nyata, tak semu seperti pada laki-laki lain yang bersamanya. Baginya, perempuan juga punya kemampuan memiliki lebih dari satu pasangan. Seperti halnya laki-laki. Postulat superioritas laki-laki ia patahkan dengan membuktikannya secara nyata. Dari kejauhan, ia memandangi punggung kurus Fatih. Langkah laki-laki itu lesu, dengan kepalanya menunduk. Pemandangan terakhir kalinya bagi kisah mereka. Jeani menangis sejadi-jadinya, nyeri di dinding hatinya tak dapat ia lukiskan.
*****
Jeritan terompet kapal memekakkan telinga, isyarat bahwa kapal akan segera berlabuh. Jeani terbangun dari lamunannya. Angin menyeka air matanya, sedang tangannya meraba matanya yang sembab. Kisah yang paling membekas dalam ingatannya tersebut diakui menguras sebagian besar perhatiannya. Tak ia pungkiri, laki-laki tersebut lebih ia cintai dibanding keluarganya sendiri. Perhatian dan waktunya, banyak tersita pada romantika kehidupan kampus, dan tetek bengek kisah percintaan. Cinta dan kasih pada orang tua hanya terkadang terlintas di pikirannya. Sebuah realita kekinian dalam kehidupan mahasiswa.
Bibir kapal telah mencium daratan pulau kelahiran. Diiringi munajat pada Yang Maha Kuasa, Jeani menghentakkan kakinya pada lantai dermaga. Sebuah prosesi penyambutan kembali untuk dirinya sendiri. Semacam ritual kecil, yang sempat diajarkan bapaknya saat keberangkatannya beberapa waktu silam.
Jeani menghela nafas panjang, pandangannya menyapu daratan. Tampak baginya pemandangan yang tak lagi dikenalnya. Segala ingatan tentang lima tahun lalu sama sekali berubah. Dermaga ini dulunya reot. Dengan jembatan kayu tempat berlabuh kapal-kapal yang berderit-derit saat ditunggangi truk bermuatan. Pohon-pohon Akasia berjejeran di sepanjang halaman. Ruang tunggu hanya beratapkan seng karatan, dengan dinding kusam, bocor di sana-sini. Kini semua berubah drastis. Jembatan dan ruang tunggu terbangun dari beton, tampak megah dan beratapkan genteng berwarna biru laut. Tak ada lagi pohon Akasia yang sering digunakan para pedagang eceran sebagai lapak, raib bersama pedagang beserta jualannya.
Terlalu banyak yang berubah, demikian kesan pertama Jeani memperhatikan daratan tersebut. Sekarang, tubuh-tubuh bangunan berhimpit-himpitan bak jamur kuping. Puncaknya berlomba-lomba meraih langit. Dalam hati, Jeani panasaran, seperti apa tampak rumah dan desanya kini.
Taksi dermaga memecut, membawa Jeani dan pikirannya yang masih terkagum-kagum dengan pesat pembangunan, kekuatan sempurna makhluk bernama waktu. Sepanjang jalan, ia terus mengingat keluarga dan rengekan si bungsu. Ia tersenyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana rupa dari suara melengking adiknya.
Masuk ke wilayah desa, taksi melambat. Jalanan tampak rusak, borok pembangunan mulai kelihatan. Jalanan seolah tak terbalut aspal, karena sebagian telah rusak dijamah kendaraan konstruksi. Sawah-sawah kering tak terurus, tanah tandus. Tempat pembuangan sampah menggunung, terlihat beberapa ternak mengais-ngais di tengah bukit sampah. Kampungnya kini berubah menjadi tempat sampah dari segala pembangunan kota. Begitu kontras antara tampilan dengan isi.
Sampai di depan halaman rumah, Jeani kembali dijamu dengan rasa takjub. Rumahnya kini berdiri megah ditengah seok-seok wilayah tandus. Dirinya masih terperangah. Namun anehnya tak seorangpun menyambutnya, baik Ibu, ayah maupun si bungsu. Seorang pembantu rumah tangga menghampiri Jeani yang mematung.
“Cari siapa dek?”
“Ini benar kediaman Bu Ratih?”
“ Oh, dulunya dek. Sekarang, milik seorang kontraktor terkenal. Kabarnya rumah ini dijual buat pembiayaan kuliah anaknya”
Jeani tak bergeming. Dirinya seperti disambar petir. Pijakannya goyah, sedikit saja tersenggol, pasti ia ambruk. Jeani berusaha membangun kekuatan kembali. Mencari tahu di mana nian keluarganya saat ini. Setelah bertanya beberapa informasi pada pembantu tersebut, akhirnya ia menemukan alamat baru keluarganya. Hanya beberapa meter dari gunungan sampah yang baru saja ia lewati tadi.
Jeanie menyeret langkahnya yang semakin berat. Rasanya terpukul mendengar pernyataan tersebut. pikirannya mulai mengandaikan hal-hal negatif. Baru kali ini ia takut berhadapan dengan kebenaran, namun perasaannya tak tenang pula untuk segera mengetahui kondisi keluarganya. Dari kejauhan tampak gubuk reot yang dipenuhi rongsokan, tempat alamat yang ditunjuk pembantu tadi.
Jeanie menyapu matanya yang mulai sembab tergenang. Tak ia kehendaki, butir air tumpah sendirinya, tanpa ada perintah. Perlahan-lahan ia mendekati pintu gubuk yang setengah menganga. Dari balik pintu, keluar seorang bocah laki-laki. Anak berusia kurang lebih empat tahun, bertelanjang dada dan mengenakan celana kain pendek. Sontak Jeani langsung memeluknya erat-erat, badannya gemetaran karena tangisan yang tertahan di ujung tenggorokan. Anak laki-laki itu juga ikut menangis memanggil-manggil ibu dan ayahnya, karena mengira dirinya akan disakiti oleh perempuan yang tak dikenal. Beberapa saat kemudian, Ibu dan ayahnya muncul dari balik halaman belakang. Jeanie langsung jatuh, menyembah Ibu dan Ayahnya yang mulai beruban. Suasana sesak dengan tangisan, bersamaan dengan turun hujan, langit yang menangis. Tanah kering, bau sampah. Hujan dan Tuhan jadi saksi penyatuan kembali Jeanie dan keluarga yang jatuh miskin karenanya.
~Fin~