Reporter: Muh. Farit Ode Kamaru & Ainil Ma’syura
Peraturan Universitas Hasanuddin Nomor 845/H4/O/2010 tentang Tata Cara Pengususlan Guru Besar huruf (a) dan (b) menjelaskan, bahwa untuk pengusulan guru besar merupakan hak bagi Dosen dalam lingkup Universitas Hasanuddin untuk memperoleh pengakuan masyarakat pada umumnya, dan khususnya bagi masyarakat ilmuwan. Upaya pengusulan Guru Besar menunjukan suatu profesiolnalisme di bidang keilmuan dan mampu mengintregasikan dengan ilmu lain secara komprehensif untuk memangku pangkat akademik Guru Besar.
Terkait soal gelar Guru Besar, Prof. Dr. Ir. Muslimin Mustafa M.Sc, selaku Ketua Dewan Guru Besar Universitas Hasanuddin menjelaskan, “Guru besar itu adalah jabatan akademi pada seorang dosen, yang sudah melalui tahapan sehingga memperoleh jabatan tertinggi dalam program pendidikan.”
Sedikitnya tercatat ada 311 jumlah Guru Besar di Universitas Hasanuddin, khususnya Fakultas Hukum yang memiliki banyak Guru Besar, maka akan memberikan efek yang positif terhadap suatu institusi tersebut. Semakin banyak Guru Besarnya maka semakin bagus pula untuk universitas atau fakultas tersebut, karena dengan banyaknya Guru Besar maka makin banyak pula tulisan-tulisan, semakin banyak riset yang dilakukan, dan menemukan pendapat-pendapat baru, tentunya akan meningkatkan mutu suatu universitas.
Pada Bab II Pasal 4 ayat (1) Peraturan Universitas Hasanuddin Nomor 845/H4/O/2010, menjelaskan bahwasanya untuk memangku jabatan sebagai Guru Besar, seorang Dosen wajib memenuhi syarat-syarat umum seperti memiliki kompetensi pada lingkup bidang ilmunya dan memperoleh pengakuan di lingkungannya. Selain syarat umum sebagaimana dimaksud ayat (1), pada ayat (2) huruf (f) menjelaskan bahwa seorang dosen yang memangku jabatan sebagai Guru Besar wajib pula memiliki karya ilmiah yang sesuai bidang ilmunya, dipublikasikan pada 3 (tiga) jurnal nasional yang terakreditasi, yang salah satunya dalam bahasa inggris.
Merujuk pada beberapa aturan di atas, Ketua Dewan Guru Besar Unhas kembali menegaskan perlunya karya yang harus dihasilkan oleh dosen-dosen yang memiliki gelar Guru Besar tersebut. “Untuk menjadi Guru Besar, syarat yang harus di tempuh yaitu, mampu memberi pelajaran dan mampu menghasilkan penulisan-penulisan ilmiah, termasuk buku dan karya-karya lainnya,” jelasnya.
Ia pun berharap agar dosen yang menyandang gelar guru besar, dapat menyebarkan aspirasinya lewat buah karyanya. Karena hal tersebut merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan bagi seorang Guru Besar. Apalagi dalam mempublikasikan karyanya, terutama mengenai kealisan karya.
Pengelolaan jurnal pun terbengkalai
Berkaitan dengan itu, terkait publikasi jurnal ilmiah milik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Zulkifli Aspan, selaku pengelola Jurnal Ilmiah Hukum Amanna Gappa, mengeluhkan atas keterlambatan penerbitan jurnal tersebut. “Kita terbit berkala per triwulan, berarti dalam satu tahun terbit empat kali. Namun yang menjadi kendala selama ini, karena minimnya tulisan yang berakibat pada molornya jadwal penerbitan kita.” Lebih lanjut, Ketua Penyunting jurnal Amanna Gappa, yang juga Dosen FH-UH, menambahkan, ”Sebelumnya, jurnal kita itu terakreditasi, namun pada agustus 2010, kita sudah tidak terakreditasi lagi, tetapi sekarang, dengan struktur kepengurusan yang baru, kita berupaya untuk membuat jurnal kita terakreditasi lagi. Jadi untuk jurnal Amanna Gappa ini, rencananya akan diajukan kembali pada bulan Maret untuk memperoleh akreditasi,” ungkapnya.
Kurangnya sumbangsi terhadap penerbitan jurnal sangat dirasakan oleh pihak pengelola, bapak yang akrab disapa Pak Zul ini menuturkan, kendala besar yang membuat beberapa jurnal terbengkalai adalah sumber tulisan dan tingkat partisipasi yang rendah dari segenap elemen yang terkait dalam mempublikasikan karyanya.
Hal berbeda dituturkan oleh dosen FH-UH, Mustafa Bola. Ia justru melihat pembuatan karya ilmiah ini sebagai sebuah tantangan untuk pemangku jabatan Guru Besar. “Berbicara tentang karya ilmiah dari Guru Besar yang kita miliki, itu memang menjadi salah satu tantangan, tapi saya percaya bahwa ke depan, itu akan memberikan konstribusi positif dengan karya-karyanya, karena tidak ada alasan bagi seorang Guru Besar untuk tidak menghasilkan karya-karya ilmiah,” pandangnya.
Seperti yang dikemukankan oleh Bapak Mustafa Bola, Moh. Yuda Sudawan, mahasiswa Fakultas Hukum Unhas angkatan 2008, membeberkan beberapa fakta yang menjadi tantangan untuk dosen pemangku Guru Besar. “Persentase karya yang dihasilkan oleh guru besar kita, sebenarnya masih jauh dari kata cukup. Dimana dari puluhan Guru Besar yang kita miliki, namun ketika kita melihat di toko-toko buku, bahkan di toko buku yang ada di Fakultas Hukum sendiri, buku yang dihasilkan oleh Guru Besar kita masih sangat minim,” ungkap Yoda, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut, mahasiswa yang juga Ketua HMI Komisariat Hukum Unhas ini mengisahkan, saat ia dan teman-temannya melakukan diskusi hukum, mereka pada umumnya banyak mengutip dari guru-guru besar yang ada di UI UGM, dan lain sebagainya tanpa dapat mengandalkan sumber yang berasal dari dosen Fakultas Hukum Unhas sendiri.
Melihat fenomena guru besar yang memang dari segi kuantitas terbilang banyak, tentu diharapkan dapat dibarengi dengan publikasi karya-karya yang dihasilkan oleh Guru Besar, sehingga ke depannya kelak menjadi salah satu sumber referensi bagi mahasiswa khususnya dan pemerhati penegakan hukum pada umumnya.
Semoga.