Oleh: Muhammad Anshar
T
|
anah merupakan hal yang sangat urgen dan utama dalam hidup ini, karena diatasnyalah kita bertempat tinggal dan mencari sumber kehidupan. Tak dapat dipungkiri, belakangan ini santer terjadi konflik agraria atau pertanahan, seperti yang terjadi di Mesuji, Jambi dan daerah-daerah lain. Tak lain dan tak bukan, konflik yang timbul dipicu oleh pengusaan atas tanah. Secara yuridis, negara telah mengatur hak penguasaan atas tanah di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang berbunyi, ”Bumi,air dan yang terkadung didalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Hal inipun diperkuat oleh hadirnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
Saya ingin mengatakan bahwa sering kita melihat di media, hal-hal yang sangat mengerikan terkait dengan konflik pertanahan. Ketika pemerintah memilih langkah represif dalam menyelesaikan konflik pertanahan. Bahkan seperti yang terjadi di Bima belum lama ini, saat pihak kepolisian memilih menembak masyarakat setempat yang berujung kematian.
Pemerintah secara substansial harus bisa menjadi pelayan bagi masyarakat, bukan justru menjadi penindas bagi rakyat. Sebagai negara demokrasi yang selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sudah seharusnya pemerintah memerhatikan hal-hal yang berkaitan dengan semua itu, kapan, dimana dan dalam kondisi apapun itu, begitupun dalam persoalan tanah tanpa harus ada nyawa yang melayang. Yang terpenting adalah pihak kepolisian harus betul-betul memahami tugas mereka sebagai pengayom masyarakat bukan menjadi alat negara yang kapan saja siap untuk menembak rakyatnya sendiri demi kepentingan pribadi para penguasa yang mengatasnamakan sistem.
Telah sangat jelas, bagaimana konstitusi (Pasal 33 UUD NRI 1945) dalam menata segala kekayaan alam yang terkandung dalam bumi pertiwi ini diperuntukan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan yang lain. Lantas, bagaimana realitasnya? Meskipun negara mempunyai kewenangan untuk memberikan izin kepada para pemodal asing untuk mengelola tanah rakyat, namun sangat penting untuk diperhatikan yakni regulasi yang bisa saling menguntungkan antara rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah dan pihak asing. Selain itu, regulasi yang ada harus tetap menjadikan UUD NRI 1945 sebagai pedoman dalam pembuatan sebuah regulasi atau kebijakan. Bukan hanya sekadar regulasi yang bersifat sepihak, yang hanya menguntungkan pihak asing yang notabenenya pendatang di bangsa ini.
Namun, kalau ditelaah lebih dalam regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah saat ini masih sangat jauh dari harapan. Masih banyak kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi negara kita yaitu UUD NRI 1945. Selama ini, dalam hal pembuatan regulasi, pemerintah tidak menjadikan UUD NRI 1945 sebagai landasan atau pedoman. Mereka hanya mengikuti nafsu jahatnya dalam pembuatan Undang-undang (UU) untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau kelompoknya. Sebagai konsekuensi dari hal ini, pahit atau manisnya kehadiran UU nantinya akan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Hal yang dapat dijadikan sebagai sebuah hipotesa, mungkin hal inilah yang menjadi pemicu semua permasalahan yang terjadi di bangsa ini. Masalah seperti kemiskinan di bidang ekonomi, memudarnya budaya-budaya lokal, dan terjadinya premanisme, penulis sendiri berpendapat bahwa hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya peristiwa-peristiwa mengerikan ini. Peristiwa yang sudah sekian lama terjadi pada bangsa ini, maka sudah seharusnya pemerintah hari ini harus lebih mengintrospeksi diri dalam mempertahankan keutuhan bangsa ini. Bukan sekadar mencari kesalahan-kesalahan rakyat untuk membenarkan kesalahan yang pernah mereka lakukan serta lebih memahami substansi dari hukum yaitu, memberikan kemanfaatan, keadilan, dan kepastian.
Berawal dari realita yang sedang berlangsung pada bangsa ini, maka simbiosis mutualisme antara penguasa dan yang dikuasai harus dikonstruksi kembali dalam menciptakan suhu yang bisa membawa pada hal-hal positif dan meminimalisir hal-hal yang berbau negatif, serta kembali pada cita-cita awal bangsa ini. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh salah seorang founding father Indonesia, Ir. Soekarno bahwa ’’Kita harus mandiri di bidang ekonomi, berkedaulataan di bidang politik, dan berkepribadian dalam budaya.’’ Hal ini dilakukan untuk lebih memaknai bentuk kemerdekaan kita yang telah dideklarasikan pada 17 Agustus 1945 silam. Senada dengan hal tersebut, Ibrahim Datuk Tan Malaka mengatakan bahwa, “Sejengkal saja tanah kita masih dikuasai oleh bangsa asing maka kita belumlah merdeka.” Berangkat dari pernyataan Tan Malaka inilah, maka sudah seharusnya pemerintah menjadi garda terdepan untuk mengusir bangsa lain yang sudah lebih dulu menancapkan dalam-dalam kuku mereka di bangsa ini. Tanpa peduli akan kepentingan pribadi bangsa lain demi kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Untuk menciptakan kemerdekaan yang sesungguhnya dan mengembalikan tanah-tanah rakyat yang telah dikuasai sebelumnya karena kelalaian pemerintah dahulu serta tidak lagi memberikan pilihan pada rakyat, ” miskin atau mati” atau ” tunduk tertindas atau bangkit melawan.”