web analytics
header

Perempuan-Perempuan Yang Menghabiskan Gelapnya

Sumber: Klikkabar.com

Sumber: Klikkabar.com
Sumber: Klikkabar.com

Fathul Khair Tabri

(Mahasiswa Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya Unhas)

Acap kali perempuan menempati kelas kedua di masyarakat setelah kaum lelaki. Berbagai aspek, lelaki mendominasikan dirinya sebagai ‘hero’ yang menduduki segala jabatan dan fungsi. Perempuan diasumsikan sebagai pendamping hidup yang hanya terpaku atas tiga hal yaitu dapur, sumur, dan kasur.

Era modern seakan memaksa perempuan untuk terus berpikir maju, menerobos logika-logika yang telah mengakar kuat di benak perempuan bahwa ia adalah makhluk yang lemah. Tidak memiliki kapasitas dalam bersanding dengan lelaki, baik fisik maupun otak.

Menangkap persepsi  pemikiran peradaban lalu dalam menempatkan seorang wanita, semisal Romawi dan Yunani di mana perempuan tak lebih dari barang yang dapat dijual di pasaran. Kedua peradaban besar tersebut telah melahirkan doktrin bahwa perempuan memiliki derajat yang rendah selama bertahun-tahun lamanya.

Islam sebagai agama samawi seakan menjadi napas segar bagi keberadaan seorang perempuan. Agama yang diemban oleh Rasulullah SAW. ini telah memberikan konsep yang baru dengan memanusiakan manusia. Perempuan dipandang sebagai sesuatu hal yang harus dirangkul dan ditempatkan pada derajat yang ideal. Tokoh pertama yang paling berpengaruh di dunia itu telah mengaplikasikan ajaran kasih Islam dalam kesehariannya, seperti ketika seseorang bertanya kepada Beliau perihal siapa yang harus dihormati terlebih dahulu, maka Rasulullah menyebutkan ibu sebanyak tiga kali, barulah seorang ayah. Hal ini mengindikasikan bahwa ibu atau seorang perempuan adalah makhluk yang mulia, tidak dapat diperjualbelikan ataupun dipandang sebelah mata.

Kodrat seorang perempuan seakan menjadi perbincangan hangat di era ini. Emansipasi yang diteriakkan oleh perempuan-perempuan hampir di berbagai belahan dunia telah mampu menarik simpati di berbagai kalangan masyarakat. Pro dan kontra pun menjadi intrik dalam setiap topik pembahasan. Salah satunya adalah kepemimpinan.

Ketabuan bagi seorang perempuan yang menempati posisi sebagai seorang pemimpin telah memudar. Bukti dari eksistensinya teriakan ‘emansipasi’ adalah lahirnya pemimpin perempuan di berbagai kalangan, bahkan pemerintahan. Termasuk Indonesia. Hal tersebut tentu mulai menggeser paradigma kita tentang perempuan bukan hanya  pada tiga hal yaitu dapur, sumur, dan kasur.

Melihat kepiawaian seorang perempuan dalam mengolah masalah, tentu kita memberikan apresiasi yang begitu besar, terlebih dalam ketenangannya yang mampu memilih cara yang tepat dalam menuntaskan setiap hambatan. Tak heran banyak orang yang memilih perempuan sebagai seorang pemimpin.

Di dunia sekali pun, perempuan kini telah berevolusi menjadi ‘kupu-kupu’ yang bebas. Menentukan nasibnya sendiri. Kecerdasan dan kepekaan yang dimiliki seorang perempuan seakan menjadi jurus pamungkas dalam menduduki jabatan posisi tertinggi di berbagai sektor. Dalam contoh yang dekat, setiap kelas baik di sekolah menengah atas  maupun perguruan tinggi perempuan mampu meraih nilai yang cukup tinggi bahkan mengalahkan kaum lelaki.

Persoalan pun muncul. Menjadikan emansipasi sebagai tameng dalam membentengi dirinya, perempuan tidaklah lagi memijaki bumi. Langit telah membumbung tinggi di atas kepalanya. Perempuan telah mengartikan emansipasi sebagai kebebasan yang penuh. Tanpa sekat.

Anomali tersebut telah terjawab oleh banyaknya permasalahan keluarga yang terjadi. Anak-anak tidak mendapatkan lagi kasih sayang. Perempuan yang telah mendapatkan gelar ‘pemimpin’ seakan telah lupa tugas mulianya sebagai seorang ibu. Madrasah pertama bagi anak telah memudar. Nakhoda rumah tangga telah tenggelam oleh pekerjaan dan popularitas. Namun, tidak banyak juga seorang perempuan tetap menomorsatukan keluarganya, memberikan kasihnya pada anak dan sang suami.

Pergerakan perempuan dalam membangkitkan harkatnya telah menunjukkan kepada kita bahwa perempuan mampu bersinergi dengan kaum lelaki. Posisi kepemimpinan tidaklah harus ditujukan pada jabatan atau  posisi utama, semisal rumah tangga pun adalah bahtera dalam kepempinan. Perempuan boleh menentukan masa depan, namun di tangannya masih digariskan untuk melahirkan pahlawan masa depan.

Menghabiskan gelap dan menerbitkan terang, seakan telah menjadi ajimat keramat bagi seorang perempuan. Kalimat tersebut terus dilapalkan. Memegangnya erat hingga ke nadi. Merambah ke darah. Kartini telah hidup di jiwanya. Kini perempuan-perempuan masih mencoba untuk menghabiskan gelapnya.

Juara Pertama Lomba Opini Anniversary LPMH-UH ke-21 dengan Tema “Perempuan dan Kepemimpinan”

Related posts: