web analytics
header

Tapi Itu Dulu…

Oleh: Ramli

(Div. Litbang  LPMH-UH)
Jauh pandanganku melihat susunan bukit, penasaran tentang kehidupan di sana, ada apakah di balik bukit itu? Menikmati nyanyian burung yang tampak di antara langit dan bukit, sesekali menghilang dalam kabut atau rindangnya pepohonan, membuatku berkhayal menari bersama mereka. Dengan balutan selimut dan secangkir teh hangat di pagi hari, aku menghirup nafas alam. Betapa indahnya harmoni alam yang terbentang, sungguh damainya bersahabat dengannya.
Tapi itu delapan tahun yang lalu, ketika kesejukan beserta limpahan kebutuhan masih dipersembahkan alam, dan aku masih mengetahui nama-nama tetanggaku. Tapi terasa dunia sekarang menggerahkan, sejalan dengan  melimpahnya tembok bersusun nan kokoh yang menutupi pemandanganku. Hanya menjadi kenangan, saat keasrian desaku dengan warga yang saling menyapa ramah, kini saling terisolasi oleh pagar besi menjulang. Semua memang berubah, luntur sudah kepedulian terhadap alam dan sesama manusia. Beginikah kota modern yang diharapkan?
“Tolong…tolong…!” teriak Ibu Nisa, tetanggaku.
Aku dan Ayah langsung bergegas kerumahnya, sampai bersamaan dengan datangnya beberapa warga sekitar, hingga si maling terkepung dan tertangkap.
“Ternyata kamu, Arjo!” heran warga mengetahui bahwa pelakunya adalah anak yang putus sekolah sejak kelas dua SMP itu.
“Kita apakan anak ini, Pak Gaffar?” Tanya seorang warga.
“Saya rasa, kita selesaikan saja secara kekeluargaan,” jawab ayahku selaku ketua RT.
Kami bertiga pun berangkat ke rumah Arjo, kebetulan nampak berjarak sekitar seratus meter saja, namun jauh karena lorong yang harus dilalui panjang dan berliku. Setelah sampai di rumah yang dikelilingi karungan botol bekas, kami mengucap salam, hingga nampak seorang wanita tua di balik pintu seraya menjawab salam. Sambil tersenyum dengan wajah gelapnya, ia langsung mempersilahkan kami masuk. Duduk di atas tikar bersambung-sambung dan bersandar di  dinding rumah yang tersusun seng dan tripleks, membuatku merasa berbeda. Mungkin bagi Pak Lurah, rumah ini tak lebih besar dengan ukuran satu kamarnya.
“Ada apa, Pak RT? Kok datangnya bisa sama Arjo?” Tanya Ibu Ida sambil menyodorkan air putih.
“Ini, anak  ibu tadi memasuki rumah orang tanpa permisi,” jawab ayahku sambil mengelus punggung Arjo.
“Maksudnya dia nyolong? Kamu nyolong, Jo?“
Dengan tertunduk takut, Arjo menjawab sambil terbata-bata, “ta..ta..pi, saya hanya..?”
“Sudahlah, akui saja! Ibu sadar kita orang tidak punya, terlebih ketika ayahmu sudah meninggal, tanah peninggalannya untuk hidup kita pun telah raip dicaplok para pengembang perumahan, tapi setidaknya kamu dapat menjaga harta yang paling berharga, harga diri kita, nak!” nasihatnya sambil menyeka air matanya.
Aku begitu targugah, menyaksikan betapa kemiskinan memaksa orang berdosa. Kemiskinan memang dipaksakan secara terstruktur, merampas hak orang lemah dengan kekuatan regulasi dan birokrasi yang menindas. Keadilan berarti melipatgandakan dosa para penjajah oleh-Nya, yang tertawa dengan keserakahan, dan tak acuh terhadap penderitaan orang karenanya.
Berlalu pelajaran semalam, Sabtu pagi yang indah berseri. Bunyi klakson kendaraan berisik di samping rumah, terlihat orang berbondong-bondong menuju pusat kota terhalang kemacetan akibat tumbangnya pohon oleh angin kencang semalam. Keadaan ini sering terjadi, kemacetan selalu dihadapi dan tidak pernah dihindari. Ruas jalan tidak lagi mampu memuat seluruh kendaraan yang terus bertambah, terlebih ketika alam dan manusia lagi ganas, pasti banyak penghadang penyebab kemacetan di tengah jalan.
Tawa ceria anak bermain layangan di depan rumahku, masih terdengar meski samar-samar. Mereka hanya berdua, Aji dan Rian, ditinggal temannya ke kota tapi mereka tetap seru. Sesekali mereka harus susah payah melepaskan layangannya ketika tersangkut di kabel listrik. Kejadian yang sering terulang tapi mereka mempedulikan bahaya, tetap saja mereka berusaha membungbungkannya kembali. Kesempitanlah yang memaksa mereka, tidak ada tempat lapang untuk bermain, berbeda saat lapangan belum terisi ruko-ruko. Bumi terasa kejam buat aku yang telah menyadarinya, tapi mereka berdua belum menyadari bahwa mereka dizalimi.
Aroma udara segar di pagi hari, terkontaminasi racun dari orang egois di jalan sana, mereka yang tidak akan merasakan suasana yang mereka ciptakan, mereka memang tidak merasakan panas, bising, ataupun menghirup udara kotor dari corong istana mereka yang tertutup kaca dan ber-AC. Di zaman modern, hilanglah saling pengertian, kita adalah penindas atau tertindas. Gerah kurasa menjalani hari libur, hanya layangan yang kupandangi, berimajinasi tentang burung yang dulu beterbangan di langit yang megah.
Aku berjalan menghapiri mereka.“Aji, tidak niat main gameatau robot-robotan di kota?”
“Nda kak, mending main layangan, murah pula,” jawab Aji dengan lugu.
Bersahabat dengan alam sungguh menyenangkan, menyediakan kebutuhan yang cukup untuk hidup, serta menciptakan kondisi yang layak untuk kita hidup. Tapi itu dulu, saat alam masih hidup. Hujan kini tidak lagi berkah, bahasa alam bahwa ia sedang menangis, tapi biarlah, tangisan terkadang memberikan keseimbangan dan ketentraman. Aku benci hujan deras malam ini, pasti besok pagi teras rumah tempatku menghirup udara pagi tergenang lumpur. Sirna sudah daerah resapan terganti tembok dan aspal, tidakkah terpikirkan ke mana air akan menuju? Air selokan pun meluap karena mandek, mungkin uang tak cair, hingga pelaksana program pemerintah melalaikan kewajibannya. Kebiasaan kerja bakti sabtu pagi menjadi sejarah, hanya menghapkan kerja orang yang digerakkan oleh uang untuk membersihkan sampah mereka, tanpa sedikitpun kepedulian.
“Yuda, kok bengong? Ayo bersihkan!” Perintah ayahku saat kantuk masih sangat di pagi ini.
“Tapi besok pasti tergenang lagi kan?” Tanyaku balik.
Ayah mengernyitkan dahinya. ”Semoga saja tidak. Gunung di atas memang sudah gundul, sudah saya laporkan ke kelurahan, tapi tidak ada tindakan.”
“Kok bisa?” tanyaku penasaran.
“Bisa jadi karena pengemban perumahan kan saudaranya,”  Tegasnya sambil menyengir.
Lelah terasa di hari Minggu, kuisi hari untuk hanya bersih-bersih. Matahari terus meninggi, sedang pakaian kotorku masih bertumpuk, terlalu menyebalkan untuk membayangkannya dan masih malas untuk beranjak dari tempat teduh ini. Terik sekali hari ini, tapi tetap saja Ibunda Aji, Marti, melaksanakan rutinitasnya, dengan bekal karung dan besi pengait untuk memilah tumpukan sampah warga di pinggir lapangan, ia seperti mati rasa terhadap teriknya matahari yang membakar punggungnya. Kulit hitam nan kumalnya seperti jaket kulit pelindung dari terik, tidak seperti ibu yang menor dan modis di sana yang harus dipayungi, menolak pinggang sambil memantau pengukuran sisa lapangan di depan rumahku. Kelompok ibu Marti memang dipandang sebelah mata dengan wibawa minusnya, terkadang mereka dianggap juga sampah masyarakat, tapi kenapa keadaan itu terjadi? Hina memang, tapi tanpa disadari, betapa ibu Marti punya andil terhadap kebersihan lingkungan di saat orang hidup dengan budaya mengotori.
Malam ini kujalani, Senin esok, tugas Hukum Lingkungan harus dipresentasikan. Pemadaman PLTA tatap terjadi di musim hujan, aku berjibaku di ruang gelap, tangan untuk mengetik pun sesekali harus menepuk nyamuk di punggungku, ini jelas mempercepat kantukku. Sesekali kupandangi langit-langit kamar, mencari kerlip kunang-kunang untuk sekadar mencerahkan mataku, tapi entah ke mana mereka berimigrasi mencari suasana yang baik untuk hidupnya, hanya kerlap-kerlip lampu kendaraan yang ada. Beginilah kehidupan sekarang, ’Tapi itu dulu,’ kalimat yang pantas menggambarkan keresahanku atas segala perubahan, tapi apa yang telah kuperbuat untuk kebaikan alam ini?

Related posts:

Koridor Lima

Penulis: El “Dek…” Pria dengan jaket parasut hijau berlogo aplikasi transportasi online itu menggoyangkan pelan bahu perempuan di sampingnya, lebih

Sumber: Claudio Schwars di Unsplash

“So? What About Us?”

“Michael, I could handle it, I could fight for it, there’s only one question left, do you want to fight for us or not?”