Oleh: Muhammad Farit Ode Kamaru
Ku paksa otakku untuk berfikir. Bagaimana caranya untuk merobohkan tembok yang kokoh ini, susunan batu yang didesain sekuat-kuatnya, serapat-rapatnya, bahkan akar alampun tak mampu mencungkilnya dan membuatnya retak. Entah bagaimana lagi aku menjelaskan ini semua, dalam kitab-kitab yang ku baca, diperkirakan ada beberapa sosok yang sudah ditakdirkan untuk merobohkannya, yang pasti bukan aku yang dimaksud kitab itu.
Tapi rasanya, ingin sekali diriku merobohkannya, meskipun kekuatanku belum siap untuk tembok sekuat ini. Keyakinanku ini mempunyai dasar, dari semua orang yang kumintai pendapatnya, semuanya merasa muak dengan tembok yang berdiri ini. Katanya itu sudah terlalu lama, tembok itulah yang membuat kakek nenekku menjadi miskin, tembok itulah penyebab gelandangan bertaburan di-kota-kota ini, tembok itulah yang membuat saudara-saudaraku saling hujat dan membunuh.
Aku harus membuatnya luluh lantah, aku membutuhkan energi yang besar untuk ini, tak peduli dengan hukum energi saat ini, tak peduli walaupun cahaya melewatiku dengan kecepatannya, tak peduli bila harus menempuh jarak jutaan tahun, pokoknya aku harus merobohkannya. Aku tahu bahkan alampun tahu, bahwa matahari telah bosan menyinari bumi ini, aku butuh Tuhanku untuk ini, aku butuh Tuhanmu untuk ini, aku butuh Tuhan mereka untuk ini, walaupun semua tuhan masih primitif di otak-otak para pecandu dunia, tapi aku butuh Tuhan-Tuhan itu.
Rasanya melelahkan sekali, bahkan membahas hatipun sudah bikin makan hati. Ahh, persetan dengan hatimu. Aku tidak percaya denganmu, aku tak peduli dengan anggapanmu, aku tak mau mengerti dengan kerendahanmu. Lakumu tak masuk akal lagi bagiku, aku tak mau percaya lagi katamu, kecuali, kecuali hal itu sesuai dengan alasan dan jalan pikiranku. Budha melarangku untuk percaya padamu lagi.
Ya. Mungkin aku harus menjadi pohon bambu dulu, mungkin aku harus menari gemulai pada saat angin meniupku, mungkin aku harus mengikuti arahmu sementara yang lain tumbang karenamu. Sudah barang tentu ada kebenaran absolut di planet ini, ketika pikiran mudah di permainkan tetapi perasan tak mampu dibodohi. Fana.