Hasbi Assidiq
(Wakil Koordinator Divisi Litbang dan Advokasi Media LPMH-UH Periode 2017-2018)
Setiap malam ketika kita melewati gerbang Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, selalu saja hadir peristiwa yang menggetarkan rasa kemanusiaan kita. Kita akan menemui seorang anak, berusia sekitar 10 tahun yang mungkin jika ia bersekolah saat ini duduk di sekolah dasar (SD). Namun nyatanya, karena desakan ekonomi mengharuskan ia meluangkan waktunya pada malam hari untuk berjualan buah tala, buah khas Kabupaten Jeneponto. Padahal wajib bersekolah telah dijamin dan dilindungi oleh pemerintah.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membantu anak ini, salah satunya dengan melakukan laporan kepada pihak kepolisian yakni Polsek Tamalanrea untuk melakukan upaya perlindungan terhadap anak ini. Tujuannya agar diamankan untuk dikembalikan kepada keluarganya. Namun, pada waktu itu ketika kami bersama kepolisian hendak untuk melakukan upaya tersebut, keluarga dari anak ini yang mengaku sebagai tante dan sepupunya kemudian mengamankan anak ini.
Ternyata, berdasarkan informasi dari kepolisian, anak ini telah berulang kali diamankan, namun karena desakan ekonomi sehingga dia harus tetap berjualan buah tala pada malam hari. Semua itu ia lakukan untuk bisa makan dan memenuhi kebutuhannya. Ia pun harus memupuskan impiannya untuk bersekolah dan menggapai cita-citanya. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang dilematis dan kompleks karena tidak cukup dengan mengamankam anak ini untuk dikembalikan ke keluarganya, karena yang akan terjadi adalah peristiwa perulangan tersebut yang membuat dia kembali berjualan.
Apabila memutuskan untuk memidanakan keluarganya karena telah melakukan eksploitasi terhadap anak dengan menyuruhnya berjualan pada malam hari, justru hal ini lebih menyengsarakan anak tersebut karena kehilangan sosok keluarga yang bisa memberikannya kasih sayang. Apalagi dengan solusi jangka pendek dengan membeli jualan anak ini justru semakin memperpanjang barisan anak yang disuruh berjualan pada malam hari dengan memanfaatkan belas kasihan masyarakat yang lewat. Sehingga permasalahan ini perlu upaya bersama dari seluruh pihak terkait, terkhusus pada Dinas Sosial (Dinsos) Kota Makassar untuk segera mengidentifikasi masalah tersebut dan memberikan kehidupan yang layak terhadap anak kecil ini karena inilah yang dijamin oleh negara.
Perlu refleksi bersama terkait permasalahan ini, Kota Makassar yang terus mengampanyekan sebagai kota layak anak, bagaimana mungkin membiarkan seorang anak kecil berjualan di malam hari sambil menangis dengan rasa kedinginan. Hal ini bisa terjadi pada diri kita, keluarga kita dan anak cucu kita ke depannya. Jika kita tidak ingin memulai dari sekarang untuk melakukan upaya bersama guna menghapuskan eksploitasi terhadap anak agar Kota Makassar layak dikatakan sebagai kota layak anak dan kepedulian terhadap hal inilah yang membuat kita menjadi manusia. Pembiaran terhadap ini merupakan refleksi, masih pantaskah kita disebut manusia dengan segala gelar pendidikan yang kita miliki?