Sumber : backpackology.me
Oleh : Fitriani
Pemimpin Umum LPMH-UH periode 2018-2019
Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mampu memanfaatkan kekayaan negaranya sendiri demi kesejahteraan rakyatnya. Namun, banyaknya kasus privatisasi menjadi bukti ketidakhadiran pemerintah dalam mengawal pembangunan suatu Negara. Hanya pembatasan melalui regulasi menjadi solusi ketika lahan konservasi berubah menjadi ladang investasi.
Indonesia sendiri merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 16.056 pulau yang telah bernama. Banyaknya pulau di Indonesia menunjukkan banyaknya kekayaan sumber daya alam baik hayati dan non hayati di dalamnya. Kekayaan tersebut tentunya harus dimanfaatkan secara maksimal, namun sesuai dengan rambu yang ada.
Salah satu upaya pemanfaatannya dapat melalui tindakan pemerintah. Pemerintah dapat menjadikan beberapa pulau sebagai kawasan konservasi, dengan tujuan menjaga dan mempertahankan satwa dan flora langka Indonesia.
Salah satu kawasan konservasi tersebut yakni Taman Nasional (TN) Komodo. TN Komodo disahkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1980 dengan tujuan menjaga habitat Varanus Komodoensus atau Komodo yang merupakan binatang langka yang terancam punah.
Taman nasional ini terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Terdiri atas tiga pulau besar yakni, Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar serta beberapa pulau kecil lainnya. Selain sebagai kawasan perlindungan komodo, TN Komodo ini juga memiliki paronama yang sangat indah. Sehingga tak heran jika tempat ini juga dijadikan sebagai tempat wisata bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sebagai kawasan konservasi dengan berbagai keunikan, Pulau Komodo tentunya menjadi sasaran dalam privatisasi dengan dalih pengembangan konservasi. Terlebih lagi banyaknya fenomena bahwa pulau-pulau di Indonesia saat ini telah dikelola oleh pihak swasta. Salah satu contoh Kepulauan Seribu. Saat ini 60 pulau di Kepulauan Seribu telah dikuasai oleh swasta demi pembangunan penginapan. Data ini disampaikan oleh Bupati Kepulauan Seribu dan dilansir di Jakarta.bisnis.com pada 29/8/18.
Kenyataan tersebut tentunya membuat sebuah kekhawatiran karena TN Komodo sudah mulai diprivatisasi. Sebagai buktinya, saat ini Pulau Mawang yang merupakan salah satu pulau kecil di kawasan TN Komodo dan termasuk dalam zona rimba, telah diklaim kepemilikannya oleh Perusahaan Alam Kulkul. Bahkan, pihak tersebut memasang plang di kawasan ini karena mengklaim telah memiliki sertifikat tanah atas pulau tersebut.
Padahal jika merujuk pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal PHKA No. 65/Kpts/Dj-V/2001 membagi Taman Nasional Komodo dalam sembilan zona. Kesembilan zona tersebut yakni Zona Inti, Zona Rimba, Zona Bahari, Zona Pemanfaatan Wisata Daratan, Zona Pemanfaatan Wisata Bahari, Zona Tradisional Daratan, Zona Pemanfaatan Tradisional Bahari, Zona Pemukiman Tradisional Masyarakat, dan Zona khusus Pelagis.
Zona Rimba sendiri merupakan zona pada daratan yang di dalamnya tidak boleh dilakukan kegiatan yang menghasilkan perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kecuali berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan, penelitian serta kegiatan wisata alam terbatas.
Hal ini bertolakbelakang jika melihat fakta saat ini bahwa, Pulau Mawang yang diklaim oleh Perusahaan Alam Kulkul serta berada di dalam Zona Rimba, mulai melakukan aktivitas lain kecuali yang telah diatur dalam peraturan diatas. Bahkan, sudah bermunculan berbagai rencana untuk memprivatisasi beberapa lahan besar di TN Komodo lainnya.
Tentunya aktivitas dan rencana aktivitas tersebut akan memunculkan berbagai dampak terhadap pihak-pihak yang terdapat di kawasan tersebut. Khususnya bagi masyarakat lokal yang berada di kawasan Taman Nasional. Dampak tersebut tentunya akan mempengaruhi bidang sosial dan ekonomi lokal, seperti hilangnya mata pencarian mereka.
Seperti diketahui izin usaha yang diberikan kepada pihak swasta adalah izin usaha jasa dan sarana pariwisata alam. Dengan maksud pihak swasta akan merealisasikan proyek fisik seperti pengadaan villa, penyediaan jasa pramuwisata dan juga akses fisik terhadap jalur-jalur wisata.
Jika semua proyek fisik tersebut telah terrealisasikan maka, ragam usaha masyarakat setempat seperti penginapan, kapal wisata dan naturalis guide akan tersingkir dengan sendirinya. Hal tersebut dikarenakan fasilitas pariwisata milik swasta tentunya lebih berkualitas dan dekat dengan habitat komodo jika dibandingkan dengan milik masyarakat setempat.
Kenyataan tersebutlah yang menjadi dampak jika Taman Nasional yang seharusnya menjadi kawasan konservasi, beralih menjadi lahan investasi dengan alih-alih peningkatan devisa melalui sektor pariwisata.
Kebakaran Savana di Pulau Gili Lawa
Peningkatan pembangunan demi pariwisata juga menimbulkan akibat untuk TN Komodo di bidang lain. Sebagai contoh, pada awal bulan Agustus lalu, telah terjadi Kebakaran savana di Gili Lawa kawasan TN Komodo, Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kejadian ini memberikan kerugian terhadap Pemerintah Daerah NTT. Terlebih lagi, kawasan Gili Lawa merupakan salah satu tempat favorit para wisatawan saat berkunjung ke Pulau Komodo. Sebab di lokasi ini, wisatawan bisa menikmati pantai dan keindahan padang savana Gili Lawa setelah menyelam.
Namun saat ini, kawasan savana seluas 10 hektare tersebut telah hangus terbakar. Dan berdasarkan dugaan sementara, puntung rokok menjadi penyebab kebakaran tersebut. Pemerintah tentunya perlu memperbaiki kondisi Pulau Gili Lawa setelah kebakaran.
Rencana Pembangunan di Pulau Padar dan Rinca
Sangat disayangkan, pasca kebakaran di Pulau Gili Lawa pemerintah justru memberikan izin proyek untuk pembangunan fasilitas wisata di Pulau Rinca dan Pulau Padar.
Memang benar jika, pembangunan fasilitas wisata akan mempengaruhi jumlah wisatawan suatu daerah. Hal itu juga terjadi di TN Komodo. Sejak Januari-April 2018 terjadi peningkatan wisatawan yang dipaparkan oleh Balai Taman Nasional Komodo yang mencatat jumlah pengunjung wisatawan mencapai 45.630 orang. Kunjungan wisatawan pada periode tersebut didominasi oleh wisatawan asing yakni 27.550 wisatawan. Kenaikan tersebut berpengaruh juga terhadap devisa dan pendapatan negara dari sektor pariwisata.
Pembangunan pada Pulau Rinca sendiri akan dilakukan oleh PT. Segara Komodo Lestari. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 tanggal 17 Desember 2015 tentang Pemberian Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam pada Zona Pemanfaatan Taman Nasional Komodo.
Jika berdasarkan pada peta zonasi Taman Nasional Komodo terbitan 24 Februari 2015, area Pulau Rinca masuk pada zona inti taman nasional. Sementara Pulau Padar terdiri atas zona rimba dan zona pemanfaatan wisata daratan. Sedangkan untuk Pulau Komodo sendiri, masuk kedalam empat zona yaitu zona inti, zona pemanfaatan wisata daratan, zona pemanfaatan wisata bahari, dan zona pemanfaatan tradisional.
Selain itu, perlu diketahui Pulau Rinca juga merupakan salah satu pulau yang menjadi habitat dari hewan komodo. Pulau Rinca juga merupakan salah satu obyek wisata yang sangat diminati oleh wisatawan.
Peningkatan sektor pariwisata menjadi alasan untuk melakukan pembangunan fasilitas pariwisata. Namun dari sisi lain, hal tersebut justru dapat mengancam habitat Komodo serta masyarakat lokal di Taman Nasional Komodo. Adanya rencana pembangunan tersebut membuat masyarakat bergerak untuk mengadakan petisi demi pembatalan proyek.
Bagaimanapun proyek tersebut, ketika berjalan tentunya belum memberikan kepastian akan kompensasi yang diberikan kepada masyarakat lokal. Terlebih lagi konsep ganti kerugian terhadap masyarakat yang memiliki hak-hak tradisional atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka akan kehilangan hak-hak tradisional rakyat yang seharusnya dinikmati secara turun temurun (just saving principle). Sebab, dengan pemberian ganti kerugian, maka hak tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat penerima ganti rugi semata.
Pembangunan fasilitas pariwisata maupun tempat publik lainnya dalam kawasan Taman Nasional Komodo akan membawa dampak buruk pada keberlanjutan alamiah kawasan Taman Nasional Komodo. Habitat komodo sebagai satwa langka dan endemik akan terganggu. Siklus dan rantai eksosistem alamiah akan rusak dan suasana alam yang liar dan natural akan menjadi bising.
Oleh karena itu, penulis menganggap seharusnya perlu pertimbangan yang sangat matang dari sudut pandang yang luas jika ingin melakukan pembangunan fasilitas publik di Taman Nasional Komodo.