Sejarah telah menunjukkan sejumlah peristiwa bahwa sistem pemerintahan otoriter akan berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, hingga berakhir dengan perlawanan kaum tertindas. Kita dapat berkaca pada abad ke-15, ketika muncul gerakan renaissance (pencerahan) akibat pengekangan kebebasan individu oleh pemerintahan otoriter, bahkan mengatasnamakan tuhan.
Oleh: Ramli
|
Di Indonesia sendiri, corak kepemimpinan orde baru dapat menjadi contohnya. Pada saat itu, terjadi sejumlah pelanggaran HAM karena kontrol terhadap pemimpin sangat lemah, bahkan sengaja dilemahkan. Akibatnya, muncul gerakan menuntut reformasi.
Perasaaan trauma masa lalu akhirnya melahirkan konsep untuk menempatkan kekuasaan tidak lagi bersumber dan dimonopoli oleh kalangan tertentu saja, tetapi sumber kekuasaan dan legitimasinya melekat dan menjadi hak setiap individu. Hak tersebutlah yang tergolong hak politik dalam suatu komunitas demokratis, yaitu hak untuk memilih dan dipilih. Sebagai pengejawantahan hak individual sebagai kehendak umum dalam penentuan pemimpin, maka diciptakanlah suatu mekanisme pemilihan umum (pemilu). Proses tersebut menyatarakan individu, dalam bentuk memiliki hak suara yang sama, tanpa memandang status sosial dan ekonomi.
Peneguhan demokrasi sebagai asas kehidupan berbangsa telah diejawantahkan dalam UUD NRI Tahun 1945: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Implikasinya adalah kepemimpinan tidak boleh dilegitimasi oleh kekuasaan, tetapi dilegitimasi oleh kehendak umum rakyat. Wujud legitimasi kepemimpinan dari rakyat selanjutnya menjelma dalam bentuk kewenangan yang dilaksanakan berdasarkan aturan hukum.
Mengkaji relasi antara demokrasi dan kualitas kepemimpinan sebaiknya berangkat dari pemahaman tentang demokrasi. Demokrasi pada umumnya terbagi menjadi demokrasi prosedural yang menitikberatkan pada proses dan demokrasi subtantif yang menitikberatkan pada tujuan yang ingin dicapai dari proses demokrasi tersebut.
Jika dicermati fenomena dalam masyarakat, maka persepsi bahwa demokrasi hanya sebatas prosedur dalam bentuk pemilihan umum masih mendominasi. Keadaan tersebut akhirnya menimbulkan kekuasaan sewenang-wenang, karena dianggap kedaulatan rakyat berdasarkan asas demokrasi telah dilimpahkan setelah pemilu berlangsung. Padahal, tak ada jaminan bahwa pemilu akan menghasilkan pemimpin amanah, karena masih sebatas kuantitas suara. Selain itu, menganggap demokrasi semata pemilu akan menimbulkan euphoria pada tahapan proses-misalnya kampanye-tanpa menyertakan prinsip demokrasi kesudahannya. Akibatnya, black campange menjadi trik jitu para pendamba kekuasaan untuk mendapatkan suara sebagai melegitimasi kekuasaannya.
Faktor Gagalnya Kepemimpinan
Sejumlah faktor dapat menjadi penyebab terciptanya kepemimpinan yang gagal. Pertama adalah pemilih yang masih kategori pemilih tradisional, yaitu melihat faktor kepentingan pribadi atau kelompoknya sebagai dasar memilih pemimpin. Selain itu, persamaan unsur primordial dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) juga masih menjadi alasan kuat pemilih dalam memilih seseorang sebagai pemimpin.
Faktor kedua dapat dilihat dari aspek calon pemimpin yang masih pragmatis. Fenomena ini santer di media massa dengan muncul sejumlah calon pemimpin yang hanya bermodalkan uang atau popularitas. Motivasi untuk jadi pemimpin bukalah untuk mengabdi kepada masyarakat, melainkan untung-untungan untuk mendapat keuntungan pribadi atau kelompok kemudian.
Faktor ketiga adalah kuatnya anggapan bahwa demokrasi hanya sebatas proses semata. Akibatnya, setelah proses pemilu, tak ada lagi kontrol terhadap kebijakan pemimpin. Keadaan ini diperparah jika didukung faktor tidak kuatnya agen pengontrol dalam mengawal kebijakan pemimpin. Hal ini terjadi jika tawar-menawar kepentingan mampu membuat agen pengontrol tergiur dan akhirnya menjadi kroni kepemimpinan gagal.
Mewujudkan Kepemimpinan yang Berhasil
Demokrasi merupakan konsep perumusan kebijakan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jika dikaitkan dengan pemilu, maka unsur yang terpenuhi masih sebatas aspek “dari rakyat”, yaitu rakyat menyalurkan hak suaranya dalam memilih pemimpin. Terkait aspek “oleh rakyat”, menginginkan adanya partisipasi rakyat untuk berpartisipasi dalam jalannya kepemimpinan. Sedangkan aspek “untuk rakyat” berarti demokrasi menegaskan prinsip bahwa rakyat berhak mendapatkan manfaat selayaknya dari sebuah kepemimpinan, serta berhak menuntut haknya.
Berangkat dari argumentasi di atas, maka keberhasilan sebuah kepemimpinan membutuhkan peran setiap individu. Pada tahapan proses demokrasi untuk menghasilkan pemimpin, maka keterliban setiap individu untuk menyalurkan haknya secara sama dan setara sangat dibutuhkan. Kuantitas keterlibatan individu dalam pemilu menentukan kekuatan legitimasi sebuah kepemimpinan. Meskipun terkesan hanya menonjol pada aspek kuantitas, tapi inilah jalan terbaik untuk menghindari kegaduhan dan kongkalikong jika memilih pemimpin dengan cara negosiasi dan penuh kompromi berdasarkan kepentingan.
Sebagai penopang, diperlukan pendidikan politik untuk mencerdaskan individu agar memilih calon pemimpin berkualitas. Kecerdasan dalam memilih dapat dikatakan terbentuk jika alasan memilih calon pemimpin adalah dengan melihat apakah program yang ia tawarkan realistis dan bermanfaat atau tidak. Selanjutnya, masalah realisasi dari program tersebut ketika terpilih, sangat membutuhkan kontrol dari setiap individu sebagai sumber legitimasi dan pemberi mandat. Singkat kata, demokrasi tidak hanya persoalan memilih pemimpin, tetapi juga mengawal jalannya kepemimpinan. Upaya tersebut harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, karena hukumlah yang menjadi tameng rakyat terhadap pemimpin dalam menuntut haknya, begitu juga sebaliknya, tameng pemimpin untuk mempertahankan kedudukannya.
–