Gempa berkekuatan 7,7 skala richter yang mengguncang Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu, meninggalkan dampak parah di tiga kabupaten/kota yakni Palu, Sigi dan Donggala (PASIGALA). Gempa tersebut juga disusul dengan tsunami yang turut meluluhlantahkan wilayah ini.
Tak menyerah dengan keadaan itu beberapa pemuda, relawan dan masyarakat setempat kemudian membentuk Kampung Literasi Sigi (KLS). KLS menjadi upaya nyata mereka untuk membangkitkan kembali harapan masyarakat dari trauma akibat bencana. Sampai saat ini, KLS telah memiliki empat pojok literasi di dua desa. Keempatnya terletak di Desa Walatana dan Desa Balause serta dikelola oleh suatu komunitas kepemudaan setempat.
Mahadin Hamran merupakan salah satu tokoh pemuda penggerak komunitas tersebut. Menurutnya, komunitas terbentuk pada satu bulan pasca bencana yakni 28 Oktober 2018. Benih dari komunitas ini muncul pada saat kunjungan ke lokasi terdampak bencana. Saat itu kala saat senja dirinya dan teman-teman relawan melihat banyak anak yang berkeliaran dibekas reruntuhan bangunan, tanpa memiliki kegiatan yang jelas. Mulai dari situlah Mahadin dan para relawan melakukan pendataan terhadap anak korban bencana. Pendataan dan identifikasi tersebut menjadi langkah awal bagi mereka. Setelah itu, mereka berinisiatif untuk membuat sekolah darurat, sebelum membuat KLS.
“Terdapat sekitar 120 anak yang terdata pada pendataan awal di Desa Walatana. Pendataan awal ditujukan untuk membuat sekolah darurat,” ujar Mahadin saat ditemui kru eksepsi.
Sekolah darurat bertujuan untuk memastikan pendidikan anak-anak korban bencana tetap berjalan dengan baik. Pada sekolah darurat relawan juga melakukan trauma healing untuk masyarakat di beberapa kampung. Berjalannya waktu kondisi mulai membaik. Sekolah formal juga sudah mulai aktif kembali, maka sekolah darurat ini diselesaikan.
Setelah tertutupnya sekolah darurat, para pemuda, relawan yang mayoritas mahasiswa bersama Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Walatana, kemudian secara bersama-sama masyarakat membentuk KLS. KLS ini bertujuan untuk pengembangan program-program literasi dan edukasi seperti membaca, menulis, mengaji, klinik Pekerjaan Rumah (PR) dan trauma healing. Salah satu kegiatan edukasi yang dilakukan KLS ini adalah klinik PR. Kegiatan itu program dikhususkan bagi anak-anak yang memiliki PR dari sekolah dan bagi anak-anak yang hendak mengetahui sesuatu yang ingin mereka ketahui.
Di usianya yang masih belia, komunitas ini telah sukses menyelenggarakan kemah literasi di akhir tahun 2018 lalu. Kemah literasi ini berlangsung selama tiga hari sejak 29-31 Desember dengan dibantu oleh Dinas Perpustaakaan Kabupaten Sigi dan Organiasasi Kepemudaan di Kecamatan Dolo Selatan. Dalam kegiatan ini juga terdapat beberapa lomba yang memeriahkan seperti menghapal surah pendek, lomba adzan, lomba puisi dan pidato.
Saat ini KLS memiliki 1600 eksemplar buku yang tersebar di empat pojok baca di dua desa. Di desa Walatana terdapat Pojok Baca Asy-Syifa, Mutiara, dan Sidio Indah. Di Desa Baluase terdapat pojok baca yang keempat, yakni Pojok Baca Banua Madamba Usman, yang bermakna rumah cita-cita Pak Usman. Usman adalah salah satu warga di Desa Baluase yang menghibahkan rumahnya untuk dijadikan sebagai pojok baca KLS.
Buku-buku tersebut merupakan bantuan dari Dana Mustad’afin, organisasi kemasyarakatan yang turut mendampingin KLS serta masyarakat umum. Selama ini menurut Mahadin, Dinas Perpustakaan Kabupaten Sigi dikarenakan tidak ada regulasi terkait, maka belum bisa menyumbangkan buku kepada KLS. “Kami berharap semakin banyak orang yang ingin menyumbangkan buku kepada kami, dimana pun mereka berada. Semoga mereka berkenan untuk berbagi buku bacaan untuk para pegiat literasi disini,” ujar Mahadin.
KLS ini dalam mewujudkan kegiatan literasinya menjalankan beberapa program kegiatan yang mulai berbasis pada harian, seperti membuka perpustakaan, membaca dan mengkaji Al-Quran, dan kelas motivasi. Adapun program mingguan seperti, evaluasi pendamping program, kajian, bedah buku, dan pagelaran buku ke kampung tertentu. KLS juga memiliki program kelas penulisan bagi pengurus dan pendamping program. Hal ini bertujuan untuk peningkatan kemampuan menulis dan motivasi membaca. “Sebab mustahil bisa menulis tanpa membaca, maka kami membuat forum khusus untuk bedah buku dan kajian. Maka secara otomatis mereka pasti membaca untuk membahas buku yang telah dibahas,” tambah Mahadin.
Di akhir pertemuan, Mahadin mengatakan bahwa untuk membantu membangun peradaban pasca bencana merupakan suatu perkejaan yang sulit dan serius. Terlebih jika minat baca masyarakat sangat rendah. Sehingga menurutnya, pemerintah harus dapat mengelola program pengembagan dengan dana desa secara serius, terkhusus pada sektor pendidikan. Misal dengan mendirikan perpustakaan desa yang menarik, katanya.
Sebab menurutnya, saat ini perpustakaan menjadi program terakhir yang dibuat oleh pemerintah, pemerintah lebih mendahulukan pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, irigasi, dan sebagainya. “Infrastruktur itu penting tapi lebih penting adalah pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah harus mengalokasikan dana khusus untuk pengembangan pojok baca untuk meningkatkan minat baca masyarakat,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, KLS ini semakin berkembang. Saat ini telah terdapat 33 orang mahasiswa yang bergabung dalam kampung literasi ini. Selain itu setelah berjalan beberapa bulan, semakin banyak orang yang mau bergabung seoertu guru mengaji desa dan masyarakat setempat. (H2a)