web analytics
header

Bagaimana Seksualitas Dibicarakan Dalam Sastra

kerja
Aslan Abidin saat menjadi pemantik pada diskusi Bagaimana Seksualitas Dibicarakan dalam Sastra, Sabtu (20/4). Sumber: dokumentasi pribadi.

Makassar, Eksepsi Online – Sabtu (20/4), sastrawan Aslan Abidin membahas tema Bagaimana Seksualitas Dibicarakan dalam Sastra, pada kegiatan diskusi mingguan yang diadakan oleh Katakerja, bertempat di Perpustakaan Katakerja. Aslan hadir sebagai pemantik.

Pada kegiatan, Aslan memaparkan bahwa tema seksualitas merupakan tema yang telah banyak diangkat dalam karya sastra, bahkan sejak berabad-abad lalu. Seksualitas, kata Aslan, merupakan basic instinct yang kemudian menjadi ramai dibahas karena memiliki daya tarik bagi semua manusia.

“Karena menjadi daya tarik sedemikian rupa sehingga pada era komoditi seperti sekarang, seksualitas menjadi komoditi yang penting dan dipelihara dalam berbagai bentuk, termasuk dalam karya sastra,” katanya.  

Dalam pemaparan materinya, penulis buku Orkestra Pemakaman ini juga mengatakan tema seksualitas sama halnya dengan tema-tema yang lain. Diangkatnya tema seksualitas kedalam karya sastra bertujuan untuk membuat kita menjadi lebih dewasa dan lebih berani melihat realitas yang berkaitan dengan seksualitas, tambah Aslan.

“Karya sastra menjadi suatu representasi yang lebih jujur. Terkadang karya sastra juga dapat mendekonstruksi kehidupan dengan menampilkan kehidupan yang rusak. Kemudian diserahkan kepada kita (pembaca, red) untuk dibangun kembali. Jadi ada satu fungsi mendistorsi kehidupan dengan maksud agar kita kemudian membangunnya dengan lebih baik,” tambah Aslan.

Dalam bentuk tulisan, telah banyak penulis yang turut menjadikan seksualitas menjadi bahasan dalam karya-karya mereka. Si Parasit Lajang, Larung dan Saman karya Ayu Utami, Puncak Bukit Kemesraan karya Enny Arrow dan Macao karya Nick Carter menjadi beberapa karya sastra populer yang mengangkat tema seksualitas.

Hanya saja menurut Aslan, terdapat persoalan penting ketika mengangkat tema seksualitas dalam karya sastra. Sastrawan tersebut, kata Aslan, mempunyai beban untuk dapat menyampaikan pesannya dengan cara yang indah dan penuh estetika, sebab jika tidak karya sastra dengan tema seksualitas akan mudah terjebak menjadi vulgar.

“Kalau tidak estetik, karya bisa menjadi vulgar. Lantas akan menjadi persoalan terkait penafsiran. Akan muncul berbagai penafsiran, sebagian golongan akan menafsirkannya dari sisi moralitas yang mereka punya. Termasuk pula dalam menafsirkan hal-hal yang bersifat seksual,” kata Aslan yang juga merupakan Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra UNM.

Di sela-sela diskusi, Aslan juga menyinggung penafsiran karya sastra pada kasus suspensi website suarausu.co milik Pers Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU), SUARA USU, pada Maret lalu oleh pihak Rektorat USU karena telah memposting cerpen seksualitas kaum LGBT yang dianggap vulgar.

“Seperti Rektor USU itu, dengan kekuasaan yang dia punya, dia bisa memberi penafsiran secara sewenang-wenang terhadap karya. Hanya memiliki kata sperma misalnya, padahal karya itu merupakan karya yang sama seperti kebanyakan karya sastra lain, berpihak kepada yang lemah,” ungkap Aslan menyambung persoalan penafsiran.

Menurut Aslan, kaum LGBT yang dibahas dalam cerpen yang dimuat pada suarausu.co itu adalah kaum minoritas, kaum yang lemah dan ditindas karena kita menganggap diri kita ini normal dan mereka tidak normal. Sehingga karya sastra dapat hadir untuk berpihak kepada mereka.

Diskusi yang berjalan sekitar dua jam ini terbuka untuk umum dan diikuti oleh sejumlah peserta dari berbagai latar belakang. Salah satu peserta, Aditya Permana, menuturkan tanggapannya terkait diskusi ini. “Seksualitas sering dianggap tabu dan tidak sesuai dengan moral masyarakat. Ternyata dari diskusi ini saya mengetahui bahwa ada sisi lain dari seksualitas yang harus kita tembus dan ketahui nilai-nilainya,” tutur mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar saat diwawancarai (20/4). (Nurhaliza Bachril/Anggota Magang)

 

Related posts: